Islam dan Realitas Kehidupan: Menemukan Kebahagiaan Sejati
Majalahnabawi.com – Yang perlu kita tanyakan pada diri kita sendiri sesekali sebagai pengingat bagi diri kita sendiri adalah “mengapa kita memilih Islam sebagai jalan hidup”. Tentu saja, kita akan menjawab bahwa kita percaya akan kebenaran Islam, percaya bahwa hanya Islam yang merupakan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam adalah sebuah risalah tentang kemanusiaan secara keseluruhan, yang dilihat dari sudut pandang kemanusiaan secara keseluruhan. Islam bukanlah risalah untuk akal tanpa jiwa, bukan untuk ruh tanpa jasad, bukan untuk pikiran tanpa emosi, dan bukan pula sebaliknya. Islam adalah risalah tentang kemanusiaan secara keseluruhan, yaitu jiwa, akal, ruh, tubuh, hati nurani, kehendak, dan emosi. Memang, Islam tidak membagi manusia menjadi dua bagian seperti agama-agama lain. Pertama, bagian spiritual yang dikendalikan oleh agama dan diarahkan ke tempat-tempat ibadah. Bagian ini adalah spesialisasi kelompok-kelompok agama dan tempat bermain para pendeta dan pastor untuk mengarahkan dan mengeksploitasi manusia dan celah-celah mereka, sebagaimana sejarah telah mencatat. Bagian kedua adalah bagian yang tidak memiliki kekuatan bagi agama-agama dan kelompok-kelompok agama, bahkan tidak menjadi ladang bagi Allah Ta’ala. Bagian ini adalah bidang kehidupan, dunia, politik, masyarakat dan negara. Dan ini adalah bagian terbesar dari kehidupan manusia.
Islam adalah Jalan Hidup
Namun mengapa banyak orang yang beragama Islam terperosok dalam kemelaratan, kemiskinan, dalam kehidupan duniawi, bahkan dalam beragama pun tidak sedikit orang yang menghalalkan kejahatan untuk keluar dari zona kesengsaraan? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sedang terjadi pada umat Islam? Jika memang Islam adalah jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat, mengapa masih banyak hal seperti itu terjadi? Jawabannya adalah karena umat Islam tidak benar-benar memeluk Islam. Identitas Islam sejati yang seharusnya tercermin dalam diri setiap Muslim tidak hanya pada pakaian dan penampilannya, tetapi juga pada etika pribadinya.
Kita harus ingat bahwa Islam adalah sebuah jalan hidup. Ajaran Islam sangat komprehensif, bukan hanya tentang ritual, bukan hanya tentang pakaian, bukan hanya tentang tradisi keagamaan, tetapi juga cara hidup. Kita sering melihat dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang mengaku beragama Islam, tapi dia pemarah, tapi dia berani korupsi, minum khamr, tapi ketika diajak makan daging babi, dia menolak dan pada saat yang sama dia akan mengatakan bahwa dia adalah seorang Muslim. Benarkah demikian? Tentu kita tidak bisa menghakimi seseorang begitu saja, paling tidak kita masih bisa melihat bahwa masih ada keimanan di dalam dirinya walaupun kita tidak tahu seberapa tebal keimanannya. Yang disoroti di sini adalah seberapa banyak kita menerapkan Islam dalam hidup kita sebagai jalan hidup, sebanyak itu pula kebahagiaan yang akan kita dapatkan.
Moralitas Orang Islam
Moralitas Islam bukanlah apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai “hak-hak agama”, yang tercermin dalam melakukan upacara keagamaan, tidak makan daging babi, minum alkohol dan sejenisnya, atau tidak lebih dari itu. Jadi, siapa pun yang berpuasa, salat, beribadah, tidak minum alkohol, dia adalah orang yang baik dan saleh, bahkan jika dia menindas orang miskin, menindas orang tua, memakan harta orang dengan cara yang tidak benar, memakan harta anak yatim, itu adalah kerusakan dalam menegakkan hak asasi manusia di masyarakat. Kita tidak bisa mengatakan orang yang sering melakukan tahajud adalah orang yang saleh sementara dia memakan harta anak yatim.
Apakah kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu menjadi teka-teki bagi banyak orang yang belum terpecahkan. Dari raja hingga rakyat jelata, mereka selalu mencari arti kebahagiaan. Ada yang melihat kebahagiaan dalam kekayaan, ada yang melihat kebahagiaan dalam popularitas, dan lain sebagainya. Namun, kebahagiaan sejati terletak pada iman, memang ada kesenangan saat kita berhasil membeli barang kesukaan kita, tapi apa kenyataannya? Kenyataannya adalah kita akan dimabukkan oleh nilai kebaikan jika kita terlalu kaya, sampai lupa diri. Terkadang kekayaan membawa kekuasaan dan kesombongan yang, jika tidak diimbangi dengan iman pada waktu yang tepat, cepat atau lambat akan menghancurkan kita. Bahkan, Swedia, negara yang pernah tercatat sebagai surga dunia, karena kemakmurannya saat itu, tingkat ekonominya yang tinggi, nyaris tinggal mimpi. Singkatnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal kesulitan materi. Namun, mereka mengalami tingkat depresi yang sangat tinggi, orang-orang masih menjalani kehidupan yang sulit, mengeluh, mengeluh dan kesal, dan bahkan ada yang putus asa. Akibatnya, banyak yang melarikan diri dari kehidupan yang mereka rasakan penuh dengan kesulitan dan penderitaan dengan cara bunuh diri.
Sehingga dapat dijadikan alasan dan kenyataan, bahwa harta yang banyak bukanlah sebuah kebahagiaan dan bukan unsur pertama untuk dapat hidup bahagia. Bahkan, harta yang banyak juga bisa menjadi bencana dan malapetaka bagi yang memilikinya. Kita perlu ingat bahwa semakin banyak harta yang kita kumpulkan, semakin banyak pula usaha yang harus kita lakukan untuk menjaga, merawat, dan memeliharanya. Namun, bagaimanapun juga, kita juga perlu mencari kekayaan untuk bertahan hidup di dunia ini.
Dan kita juga harus ingat bahwa iman yang benar tidak melarang kita untuk melupakan kehidupan duniawi. Kita diperintahkan untuk bekerja, agar kita dapat terus mempertahankan hidup kita dan terus beribadah kepada Allah. Dan seperti yang telah kita bahas sebelumnya, Islam juga memberikan dasar-dasar untuk melakukan hal tersebut, namun penting untuk diingat bahwa Islam tidak menjadikan hal tersebut sebagai tujuan utama hidup kita di dunia ini. Agar kita tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan, tidak selalu ingin sukses tanpa berusaha, dan tidak puas atau bangga hidup dalam kemiskinan.
“Seperti yang disebutkan dalam buku saya, La Tansa: Jangan Lupa, ‘Kesuksesan finansial membawa kekuasaan, dan kekuasaan adalah hal yang berbahaya bagi mereka yang belum belajar bagaimana menggunakannya dengan baik dan bijak.” (La Tansa: Jangan Lupa, hal. 5). Terkadang Anda harus terluka untuk mengetahui, jatuh untuk tumbuh, kehilangan untuk mendapatkan karena pelajaran terbesar dalam hidup dipelajari melalui rasa sakit. Kesuksesan harus ditebus dengan kegigihan, ketekunan, fokus, ketelitian, dan kerja keras yang terus menerus.
Dan iman membantu mengatasi semua masalah ini, orang yang beriman akan menaruh kepercayaan dan terus berusaha, tidak berkhayal tentang kemenangan semu dalam mimpi tanpa pernah mencoba. Mampu bertahan dengan kesabaran yang kuat, pantang menyerah, iman tidak membuat segala sesuatunya menjadi mudah. Tapi pasti bisa diwujudkan. Kita bukanlah umat Nabi Musa ‘alaihis salam, yang ketika meminta sesuatu akan langsung diturunkan dari langit,” seperti yang disebutkan dalam buku saya, La Tansa: Jangan Lupa’, hal terpenting kedua setelah visi adalah tindakan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Memiliki visi yang hebat saja tidak cukup, tetapi jika didukung dengan tindakan nyata dan kerja keras, maka visi tersebut dapat menjadi kenyataan dan bukan hanya sekedar mimpi.” (La Tansa: Jangan Lupa, hal. 89).
Kekuatan Iman
Dengan kekuatan iman ia menghadapi masa depan tanpa keraguan, tidak akan khawatir dengan rezeki, ia tawakal sepenuhnya. Bahkan jika ia memikirkan bayang-bayang masalah atau musibah yang akan terjadi di masa depan, ia akan dengan lantang menjawabnya,
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ
Katakanlah, “Tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal”. At-Taubah 9: 51.
Dan ketika ia mendapat masalah, melakukan kebodohan, ia tidak termakan oleh egonya sendiri, ia mau mengakui kesalahan, mau terus belajar, dan terus memperbaiki diri. Hal ini tidak dapat dicapai kecuali oleh seorang mukmin, karena dibutuhkan kerendahan hati yang besar bagi seseorang untuk terus belajar. Seperti yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i,
العلمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى المُتَعَالِى # كالسَّيْلِ حرب لِلْمَكانِ العَالِى
“Ilmu adalah musuh bagi pemuda yang sombong, seperti halnya banjir yang merupakan musuh bagi dataran tinggi.”
Ketika mencapai puncak kejayaan, ia sadar kehebatannya berasal dari Allah. Iman mengontrol ekstrem, mencegah kesedihan berlebihan dan kesombongan. Kendalikan diri untuk membangun, bukan meruntuhkan. Seimbang dengan Antusiasme dan Pengendalian Diri. Kesedihan karena kurang kontrol diri. Agama anjurkan kendalikan diri. Menjadi pemimpin, kendalikan diri terlebih dahulu. Hidup penuh tantangan, serahkan pada Yang Maha Kuasa. Bersabarlah dan ikhlaskan ketentuan-Nya. Ketenangan hati kunci kebahagiaan. Meski roda kehidupan berputar, hadapi dengan penuh keikhlasan.
Kesulitan justru akan menguatkan hati, menghapus dosa, menghancurkan kesombongan, dan mengubur keangkuhan. Kesulitan akan melarutkan kelalaian, menyalakan lentera zikir, menarik empati orang lain, dan menjadi doa orang-orang yang bertakwa. Jiwa manusia hanya ada dalam dua keadaan, tidak ada keadaan ketiga, yaitu keadaan bahagia dan keadaan sengsara.