Ismu Ruh dalam Prespektif Al-Quran dan Hadis

Majalahnabawi.com – Beberapa bulan lalu santer di media sosial isu ismu ruh (nama roh) yang muncul dari kajian ustaz yang akrab dipanggil Buya (BAH).

Beberapa kawan bertanya kepada penulis terkait isu di atas. Karena itu dan demi amanah ilmiah serta demi mengharap ridha Allah dan Rasulullah, maka menjadi penting isu tersebut untuk dijelaskan kepada umat.

Jamak diketahui jika terjadi polemik di tengah-tengah umat, maka solusinya dikembalikan kepada standar kebenaran absolut yaitu al-Quran dan Hadis. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu bersilang pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Hadis), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisa [3]: 59)

Makna Ruh dalam al-Quran

Karena itu, apabila kita merujuk kepada al-Quran dan Hadis maka tidak akan kita temukan term ismu ruh. Adapun kata ruh sendiri dalam al-Quran disebutkan 21 kali, di antaranya menunjuk kepada Malaikat Jibril (QS. al-Syu’ara’ [26]: 193), ada yang bermakna al-Quran (QS. al-Syura [62]: 52), ada juga yang bermakna jiwa/roh (QS. al-Isra’ [17]: 85). Demikian juga dalam al-Kutub al-Sittah (Enam kitab induk hadis) tidak kita temukan istilah ismu ruh secara eksplisit maupun implisit.

Kalimat Ruh dalam Hadis

Sedangkan kata ruh sendiri disebutkan secara eksplisit di antaranya dalam Sahih al-Bukhari nomor 125 dan 4721; Abdullah bin Mas’ud RA (w. 32 H) meriwayatkan sedang jalan-jalan dengan Rasulullah di kota Madinah. Berpapasan dengan orang-orang Yahudi. Sebagian mereka berkata ke yang lain agar mengetes Nabi tentang ruh. Segolongan yang lain berkomentar agar jangan mengetesnya sehingga nantinya ia akan mendatangkan sesuatu yang mereka benci (bisa menjawab yang berarti ia memang seorang Nabi). Tapi sebagian yang lain ngotot mau mengetes Rasulullah. Berdirilah salah satu dari mereka sembari bertanya: “Wahai Aba al-Qasim (Muhammad), apa itu ruh?” Nabi diam. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata “Tampaknya akan turun wahyu kepadanya (sebagai jawaban)”. Lalu wahyu (QS. al-Isra’ [17]: 85) turun, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah (Muhammad)! Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Tafsir Ruh Menurut Ulama

Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M) dalam Fathul Bari, 8/468-471 menjelaskan hadis di atas bahwa tafsir tentang ruh sangat variatif hingga konon mencapai 100 pendapat, tetapi yang paling sahih hanya Allah yang tahu (mimma ista’tsara Allahu bi ’ilmihi) tidak ada yang tahu/diberi tahu hakikat ruh hatta para Rasul dan para wali-Nya. Inilah pendapat yang dipegang Salafussaleh.

Hikmahnya menurut Ibnu Baththal (w. 449 H/1057 M) sebagai ujian bagi makhluk bahwa mereka lemah, ada sesuatu yang tidak mereka ketahui secara pasti yang mau tidak mau harus dikembalikan hakikatnya kepada Yang Maha Mengetahui.

Sementara menurut al-Qurthubi (w. 671 H) hikmahnya untuk menampakkan kepada manusia bahwa sejatinya mereka makhluk yang lemah, karena jika mereka tidak tahu hakikat dirinya sendiri maka apalagi hakikat Tuhannya.

Kedua, jika kajian ismu ruh memang ada dan bagian syariat Islam yang seyogyanya dipelajari dan diketahui umat, maka sudah semestinya Rasulullah mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya. Realitanya, ketika Nabi mempunyai anak, tidak satu pun dari mereka yang diberikan ismu ruhnya. Seperti Sayyidah Fathimah semenjak dia lahir hingga Nabi menjelang wafat tidak diajarkan nama ruh. Demikian pula para Sahabat. Tidak diketahui dalam sirah nabawiyah maupun tarikh sahabi ajaran ismu ruh.

Dalil Hadis Tentang Ruh

Yang tercatat dalam sirah nabawiyah hanya pemberian ismu jasad (nama jasad), seperti hadis riwayat Imam Muslim no. 2315 Nabi bersabda: “Tadi malam telah lahir anak lanang saya. Lalu saya beri nama dengan nama ayahku (leluhur), (Nabi) Ibrahim”. Dalam Syarah Sahih Muslim dijelaskan hadis ini menunjukkan dibolehkannya dua hal, pertama pemberian nama bayi di hari pertama ia lahir, kedua dibolehkannya memberi nama bayi dengan nama para nabi. Sementara menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H/1350 M), sunnah pemberian nama (jasad) bayi di hari ketujuh.

Nah, di sini jelas Nabi tidak memberi nama ruh kepada anaknya yang baru lahir semalam, hanya memberi nama jasadnya dengan nama Ibrahim. Ketiga, BAH mendasarkan kajian ismu ruh kepada kitab al-Ghunyah 2/270 karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M). Sayangnya, dalam teks tersebut tidak disebutkan ismu ruh, teksnya hanya berbunyi bi asma’ (nama-nama) tanpa ada mudhaf ilaihi (imbuhan) kata ruh.

Teks Asli al-Gunyah

Sejatinya teks al-Ghunyah tersebut berbicara tentang orang yang sudah mencapai level/maqom murad (yang dikehendaki menjadi waliyullah/kekasih Allah) maka Allah akan memberinya alqab (gelar) dan asma’ spesial yang tidak diketahui kecuali oleh Allah (wa yulaqqabu bi alqabin… wa yusamma bi asma’ la ya’lamuha illallah, teks lengkap). Sejurus kemudian BAH mentakwil (interpretasi) teks tersebut dengan berargumen bahwa bukan hanya Allah saja yang mengetahuinya tetapi para nabi dan para waliyullah juga bisa tahu jika diberi tahu oleh Allah. Masalahnya, Allah berkehendak untuk tidak memberitahu siapa pun, baknya hari Kiamat tak satu pun yang mengetahui dan diberitahu Allah kapan terjadinya.

Ruh dalam KajianTafsir al-Jilani

Sementara itu di dalam kitabTafsir al-Jilani karya Syekh Abdul Qadir yang sudah ditahqiq/disunting dan diterbitkan beberapa tahun silam ketika menafsiri QS. al-Isra’ [17]: 85 ia sama sekali tidak menyinggung ismu ruh justru ia menegaskan, “Adapun mengenai kuantitas ketetapan dan kualitas eksistensinya (ruh), maka itu merupakan perkara yang sepenuhnya ada di tangan Allah dalam kegaiban-Nya tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Itulah sebabnya Allah berfirman, “Dan kalian tidak diberi [Wahai keturunan Adam] sebagian pengetahuan yang berhubungan dengan roh [hanya sedikit], yaitu hanya sebatas tujuan dan eksistensinya tanpa mengetahui esensi dan hakikatnya”.”

Penjelasan Ismu Ruh oleh Keturunan Syekh Abdul Qodir

Di kesempatan lain, Prof. Fadhil al-Jilani yang merupakan keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani ke-25 sekaligus pentahqiq kitab-kitab kakeknya termasuk kitab al-Ghunyah saat diwawancari via telpon menegaskan bahwa Syekh Abdul Qadir tidak pernah mengajarkan ismu ruh atau dalam narasi lain tidak ada ismu ruh dalam ajaran tarekat Al-Qadiriyah. Bahkan ia menyatakan orang tersebut telah berdusta atas nama Syekh al-Jilani dan atas nama Rasulullah.

Asma’ dalam Perspektif Kitab Tasawuf

Dari perspektif tasawuf sendiri jika kita membuka kitab al-Futuhat al-Makkiyah 3/12 dan ‘Anqa’u Maghrib 3/277 karya sufi agung Andalusia, Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M) maka ia menegaskan bahwa al-asma’ di sana bukan ismu ruh tetapi ismu shifat (nama sifat atau nama gelar dan kehormatan), “wa lahum min al-asma’i asma’ush shifat; faminhum Abdul Hayy, Abdul Halim, Abdul Wadud, Abdul Qadir”, mereka (wali autad atau wali pasak) diberi (oleh Allah) nama sifat atau nama kehormatan seperti Abdul Hayy (hamba Zat Yang Maha Hidup), Abdul
Halim (hamba Zat Yang Maha Penyantun), Abdul Wadud (hamba Zat Yang Maha Pengasih), Abdul Qadir (hambanya Zat Yang Maha Kuasa).

Di samping itu, untuk menverifikasi kesahihan suatu ajaran tarekat misalnya ismu ruh maka sebagaimana disampaikan oleh guru kami Prof. Ali Mustafa Yaqub ada dua aspek yang perlu diteliti yaitu, substansi (matan) dan sanad (silsilah keguruan yang tersambung sampai Rasulullah).

Secara substansi tidak dibenarkan ajaran yang menyatakan dengan memiliki/mengetahui ismu ruh seseorang akan semakin shaleh dan mendapatkan syafaat Rasulullah. Ini jelas menyalahi dua parameter di atas bahwa kesalehan seseorang diukur dari ketakwaannya bukan karena memiliki atau tidak memiliki ismu ruh.

Salah Sandaran dan Pemahaman

Sementara secara sanad BAH tersambung ke atas dengan seseorang yang kerap dipanggil dengan Maulana (AAB) yang sosoknya dianggap oleh BAH sebagai wali Malamatiyah yang maqamnya sudah al-Ghouts, yaitu wali yang tertinggi di seluruh dunia di jaman sekarang, yang kini sosok tersebut tinggal di daerah Jakarta Timur.

Sedangkan menurut kesaksian para tokoh dan ulama yang tak berkenan disebut namanya, sosok Maulana tersebut adalah sosok yang tidak tsiqah (tidak adil dan tidak terpercaya) dan tidak memiliki sanad keguruan sampai Rasulullah.

Untuk menyikapi ini, maka dikenal dalam ulumul hadis satu kaidah, jika terjadi al-jarh wat ta’dil (antara yang mencela dan yang membela) maka didahulukan yang mencela dengan syarat dijelaskan letak cacat dan aibnya. Jika tidak dijelaskan cacatnya maka ta’dil diunggulkan.

Walhasil, setelah ditimbang dengan dua sumber syariat Islam, al-Quran dan Hadis dan dari prespektif tasawuf sendiri maka kajian ismu ruh adalah kajian yang dipaksakan ada.

Menurut Gus Qoyyum kajian ismu ruh adalah paralogisme yaitu kondisi sesat berpikir tapi tidak sadar kalau pikirannya salah dan sesat karena berbicara mistik.

Gus Baha’ mengingatkan “kesalehan” atau tarekat yang tidak kuat syariatnya akan melahirkan “fantasi-fantasi subjektif” yang menyimpang, jika dibiarkan akan melahirkan tragedi-tragedi syariat. Seperti aqiqah ruh, kafarat ruh, tanazul ruh, muallimi dll. Wallahu a’lam bis showab.

Similar Posts