|

Istihalah: Ketika Sesuatu Berubah, Apakah Hukumnya Juga Berubah?

Majalahnabawi.comIstihalah adalah konsep penting dalam fikih membahas perubahan hakikat suatu benda dan implikasinya terhadap hukum suci atau najisnya. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak bahan yang mengalami perubahan, seperti khamar berubah menjadi cuka atau benda najis yang mengalami transformasi fisik dan kimiawi. Perdebatan mengenai status hukum hasil perubahan ini telah lama menjadi bahasan para ulama dari berbagai mazhab.

Pengertian Istilah

Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam karyanya “Ma’ayir al-Halal wa al-Haram” menjelaskan bahwa istihalah memiliki beberapa pengertian. Menurut Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, Istihalah adalah perubahan hakikat suatu benda. Ibnu ‘Abidin membaginya menjadi dua: perubahan sifat dan perubahan hakikat. Al-‘Allamah Ibnu Qasim al-Ghazi mendefinisikannya sebagai perubahan sifat. Secara umum, Istihalah mencakup dua bentuk: perubahan sifat dan perubahan hakikat suatu benda.

Contoh perubahan sifat adalah khamar yang memabukkan menjadi cuka. Sedangkan perubahan hakikat terjadi ketika anjing yang jatuh ke tempat pembuatan garam berubah menjadi garam, atau terbakar menjadi abu. Sewaktu masih seekor anjing berlaku hukum anjing. Berubah menjadi garam atau abu, maka berubah pula hukumnya. Hukumnya pun ikut berubah sesuai wujud barunya. Jika kita mencermati proses perubahan ini, kita dapat mengklasifikasikan istilah menjadi dua jenis: Istihalah alami yang berlangsung secara spontan tanpa campur tangan manusia, dan Istihalah yang terjadi karna intervensi atau tindakan manusia.

Pendapat Ulama Seputar Istilah

Para ulama sepakat bahwa khamar yang berubah sendiri menjadi cuka tanpa campuran zat kimia apa pun dianggap suci. Namun, jika perubahan itu terjadi karena campur tangan manusia atau penambahan zat tertentu dalam proses istihalah, maka para ulama berbeda pendapat mengenai status kesucianya.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ketika khamar berubah menjadi cuka, baik secara alami maupun karna penambahan bahan tertentu, maka proses tersebut menghasilkan cuka yang halal . Adapun mengubah khamar menjadi cuka dengan cara menambahkan bahan lain (garam, cuka, ikan, roti panas, atau bawang) atau dengan menyalakan api di sekitarnya hingga rasanya menjadi asam, juga diperbolehkan menurut Mazhab Hanafi yang menganggap cuka hasil proses tersebut halal untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena tindakan tersebut dianggap sebagai upaya memperbaiki sesuatu menjadi lebih baik, yang dalam pandangan mereka diperbolehkan. Ini dikuatkan lagi berdasarkan sabda Rasulullah Saw.

نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ

Sebaik-baiknya lauk-pauk adalah cuka. Sebaik-baiknya lauk-pauk adalah cuka” (HR. Muslim, No. 2052)

Alasan lainnya, perubahan khamar menjadi cuka menghilangkan unsur berbahaya, menyisakan manfaat seperti membersihkan hempedu dan meningkatkan selera makan. Karena hanya manfaat yang tersisa, ia pun menjadi halal. Cuka hasil perubahan ini juga dapat menyucikan bejana, karena zat khamarnya telah hilang sepenuhnya.

Berbeda dengan mazhab Syafi’i, mereka menganggap bahwa khamar tetap tidak suci meskipun seseorang mengubahnya menjadi cuka. Jika khamar dijadikan cuka dengan manambahkan sesuatu, maka khamar itu tetap najis dan semua yang dimasukkan ke dalamnya juga najis. Cuka tersebut tidak akan suci dengan bantuan proses apa pun.

Status Hukum Cuka dari Khamar dalam Mazhab Syafi’i

Imam an-Nawawi (676 H) dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab”, mengatakan, “Dari Umar ra. berkata, tidak halal cuka dari khamar yang rusak (khamar berubah menjadi cuka), sampai Allah Swt. yang memulai kerusakannya, yaitu ketika khamar tersebut menjadi baik. Orang yang mendapatkan cuka yang terbuat dari khamar dari ahli kitab boleh menjualnya, selama ia tidak tahu bahwa mereka sengaja merusaknya”. Sayyidina Umar menjelaskan bahwa “sampai Allah Swt. yang memulai kerusakannya” merujuk pada khamar yang berubah sendiri menjadi cuka tanpa proses campur tangan manusia. Menurut Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam al-Muhadzdzab, apabila seseorang mencampur cuka dengan khamar, maka cuka tersebut menjadi najis. Jika khamarnya hilang, maka cukanya tersebut tetap najis, tidak menjadi suci.

Dalam Fikih “Islam Wa Adillatuhu”, mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa tidak ada barang najis yang dapat menjadi suci disebabkan oleh perubahan sifatnya kecuali tiga jenis:

  1. Khamar dan juga tempatnya apabila berubah menjadi cuka dengan sendirinya.
  2. Kulit, selain kulit anjing dan babi, menjadi suci lahir dan batinnya setelah seseorang menyamaknya.
  3. Sesuatu yang berubah menjadi binatang, seperti bangkai apabila menjadi ulat, karena terjadi kehidupan baru.

Istihalah merupakan konsep yang menegaskan bahwa perubahan hakikat suatu benda dapat mengubah status hukumnya. Mazhab Hanafi cenderung lebih fleksibel dalam menerima hasil Istihalah sebagai sesuatu yang suci dan halal, sementara Mazhab Syafi’i lebih ketat dengan tetap menganggap najis hasil perubahan yang melibatkan campur tangan manusia. Pemahaman terhadap konsep ini sangat penting dalam konteks modern, terutama dalam industri makanan dan farmasi yang sering mengalami perubahan zat dalam proses produksinya. Oleh karena itu, memahami Istihalah tidak hanya relevan dalam diskusi fikih klasik, tetapi juga dalam menjawab tantangan hukum Islam di era modern.

Similar Posts