Ja’far bin Abi Thalib; Sepupu yang Paling Mirip Nabi

Majalahnabawi.com – Di antara para sahabat yang tinggal di sekitar nabi adalah sepupunya sendiri yaitu Ja’far bin Abi Thalib. Beliau adalah sepupu yang memiliki akhlak dan wajah yang paling mirip dengan Baginda Nabi Muhammad Saw. Tidak hanya itu, beliau juga terkenal dengan nama panggilan al-Thayyâr karena dijanjikan akan memiliki sayap di surga dan terbang bersama malaikat. Terdapat banyak kisah menarik antara interaksi beliau dengan baginda Nabi Muhammad Saw. Dari mulai kepergiannya ke Habasyah yang meninggalkan banyak kerinduan di hati Baginda Nabi hingga keberaniannya di medan perang.

Mengenal Ja’far bin Abi Thalib

Ja’far bin Abi Thalib adalah saudara kandung dari khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib. Kebanyakan muslim saat ini tentunya lebih mengenal Ali bin Abi Thalib dari pada dengan Ja’far. Hal ini bisa jadi karena Ja’far bin Abi Thalib tidak menduduki kursi kekhalifahan, atau karena kematian beliau yang lebih dulu dari saudaranya itu.

Ayahnya Abu Thalib atau yang bernama asli Abdu Manaf bin Abdul Muthalib mempunyai 5 orang anak. Kelimanya yaitu Ja’far, Ali, Uqail, dan Fakhitah.[1] Beliau adalah kakak Sayyidina Ali karramallahu wajhah wa radhiyallahu ʻanhu. Sejarah mencatat bahwa Ja’far bin Abi Thalib masuk Islam pada usia kurang dari 20 tahun dan merupakan orang ke-32 menjadi muslim.[2]

Interaksi beliau dengan Rasulullah Saw. telah berlangsung sejak kecil. Bahkan setelah keislamannya, beliau pernah salat bersama Baginda Nabi Muhammad Saw. Sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Abu Thalib melihat Baginda Nabi Muhammad Saw. bersama ‘Ali sedang salat, beliau mengatakan kepada Ja’far, “salatlah bersama sepupumu di sebelah kiri”. Kemudian Sayyidina Ja’far salat di sebelah kiri dan Sayyidina ‘Ali di sebelah kanan.

Hijrah ke Habasyah hingga Perjumpaan dengan Sepupu Tercinta

Sayyidina Ja’far memimpin umat muslim dalam hijrah kedua ke Habasyah, pada tahun ke tujuh setelah kenabian. Hijrah pertamanyatidak berjalan begitu lancar karena sedikitnya kaum muslim yang ikut serta. Beliau memimpin 82 muslim yang 11 di antaranya adalah perempuan termasuk istri beliau Asma binti ‘Umais. Di Habasyah kedua putra beliau lahir yaitu Abdullah dan Muhammad.[1]

Setelah lama Sayyidina Ja’far terpisah dari sepupunya Baginda Nabi Muhammad Saw. beliau pun akhirnya hijrah ke Madinah pada tahun 7 Hijriyah. Pertemuan beliau dengan Baginda Nabi Muhammad Saw. bertepatan dengan kemenangan yang diraih kaum muslimin pada Perang Khaibar. Ketika Baginda Nabi Muhammad Saw. melihat saudara tercintanya yang telah lama tak ia jumpai, beliau meluapkan kerinduannya dengan mencium kening Sayyidina Ja’far dan mengatakan “Aku tidak tahu apakah kemenangan atas Khaibar yang membuatku bahagia atau perjumpaanku denganmu”[2] Ucapan ini menunjukkan bahwa pertemuan dengan Sayyidina Ja’far membuat Baginda Nabi Muhammad Saw., sangat bahagia hingga setara dengan kebahagian atas kemenangan pada Perang Khaibar bahkan lebih besar.

Pernyataan Nabi akan Kemiripan Beliau dengan Sayyidina Ja’far

“Adapun engkau wahai Ja’far, maka engkau adalah orang yang wajah dan akhlaknya paling mirip denganku.” Begitulah ungkapan Baginda Nabi Muhammad Saw. kepada Sayyidina Ja’far yang terabadikan dalam hadis. Hadis ini terdapat dalam banyak kitab termasuk Al-Jāmi’ al-Musnad al-Sahīh al-Mukhtaṣar min Umūri Rasulillah Saw. wa sunanihi wa ayyāmihi atau Shahih al-Bukhari. Imam al-Bukhari bahkan membuat bab tersendiri tentang keistimewaan Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib dalam kitabnya itu.

 وَقَالَ لِجَعْفَرٍ: ‌أَشْبَهْتَ ‌خَلْقِي وَخُلُقِي[1]

“Baginda Nabi mengatakan kepada Ja’far: kau sangat mirip denganku dari penampilan dan akhlak.” (H.R al-Bukhari)

Seperti itulah redaksi hadis yang menggambarkan kemiripan antara Baginda Nabi Muhammad Saw. dan Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib.

Kisah Keberanian yang Mengorbankan Kedua Tangan

Baginda Nabi Muhammad Saw. tak lama setelah itu mengajak Sayyidina Ja’far untuk ikut berjihad pada Perang Mu’tah pada tahun 8 Hijriyah. Kisah keberanian beliau pada perang ini sangat memukau. Beliau dengan gagah berani mengayunkan pedangnya tanpa rasa takut terhadap musuh. 

Perang Mu’tah yang berkecamuk diiringi hantaman pedang antara kaum muslimin dan pasukan Bizantium menjadi saksi sejarah atas keberanian Sayyidina Ja’far. Dengan tangan yang lihai membela kaum muslim membuat pasukan musuh mewaspadainya hingga membuat beliau harus kehilangan kedua tangannya. Tangan yang telah terpotong oleh pedang musuh tidak membuatnya menjadi gentar bahkan beliau tetap mengobarkan api semangat dalam berjihad hingga titik darah terakhir yang menempatkannya pada harumnya kematian yang syahid. Pada saat tubuhnya ditemukan terdapat lebih dari 70 luka sayatan pedang dan tusukan tombak[2] yang berada di bagian depan tubuhnya sekaligus menandakan keberaniannya dalam menghadapi musuh tanpa berbalik ke belakang.


[1] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Al-Jāmi’ al-Musnad al-Sahīh al-Mukhtaṣar min Umūri Rasulillah wa sunanihi, (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1993) jilid 4, 1551.

[2] ʻAli bin Abū al-Karam al-Jazarī, ʻizzuddin bin ’aṡīr, Usud al-Ghābah Fī Maʻrifat al-Ṣahabah, Jilid 1, 541.


[1] Muhammad bin Saʻd al-Zuhri, Ṭabaqāt al-Kubrā,(Kairo: Maktabah al-Khazinī, 2001), Jilid 4, 31.

[2] Al-Zuhri, 32.


[1] Ali al-Andalusi, Jamharatu Ansab al-ʻArab, (Mesir: Darul Ma’arif, 1962 ), 37.

[2] ʻAli bin Abū al-Karam al-Jazarī, ʻizzuddin bin ’aṡīr, Usud al-Ghābah Fī Maʻrifat al-Ṣahabah, (Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), Jilid 1, 541.

Similar Posts