KEASYIKAN MENGGUMULI HADIS RIWAYAT BILMA’NA
Majalah Nabawi – Salah satu keasyikan membaca Kutubussittah adalah mendapatkan keragaman riwayat hadis. Meskipun hadis tersebut membicarakan hal yang sama. Di titik ini, kita akan merasakan “keindahan” hadis yang saling tertaut. Saling menafsirkan. Saling melengkapi. Terjalin interkoneksi antar teks. Karena itu, dengan membandingkan keragaman tersebut, kita menjadi lebih mudah untuk memahami hadis. Baik matan ataupun sanadnya. Lantas, mengapa keragaman riwayat tersebut bisa terjadi? Tentu banyak sekali sebab dan argumentasinya. Tulisan ini hanya ingin fokus pada satu hal; riwayat bilma’na.
Jika al-Qur’an diturunkan dalam 7 versi bacaan (sab’ata ahruf), maka demikian halnya hadis. Boleh diriwatkan dengan lafadl yang beragam. Dengan catatan tidak mengubah arti. Demikian tegas Imam al-Syafi’i (150-204 H) dalam kitab al-Risalah. “Saya khawatir akan memberatkan jika riwayat hadis harus seragam lafadlnya. Lafadl boleh berbeda, tetapi maknanya satu. Sebagaimana al-Qur’an dengan 7 qiraat.” Demikian pandangan Imam Yahya bin Sa’id al-Qathan (120-198 H). Secara tegas Ibnu Syihab al-Zuhri (49-124 H) menandaskan bahwa jika maknanya tepat dan tidak berubah, maka riwayat bil ma’na tidak ada masalah (la ba’sa).
Praktik Periwayatan Hadist Bilma’na
Syaikh Dr. Rif’at Fauzi dalam karyanya yang berjudul al-Madkhal Ila Manahij al-Muhaditsin (2015) menyatakan bahwah jumhur salaf dan khalaf (mayoritas) ulama memperbolehkan periwayatan bilma’na. Di kalangan sahabat, terdapat Sayidina Abdullah bin Mas’ud (32 H), Sayidina Anas bin Malik (93 H), Sayidina Watsilah bin al-Asqa’ (83 H), dan lainnya. Demikian juga mayoritas generasi tabi’in. Di antaranya adalah Imam Hasan al-Bashri (21-110 H), Imam al-Sya’bi (21-100 H), Imam Ibnu ‘Aun (46-151 H), dan lainnya. Semuanya tidak hanya sekedar membolehkan, tetapi juga terbiasa mempraktikan.
Pandangan ini juga diamini oleh ulama besar di generasi berikutnya. Termasuk di dalamnya adalah Imam Abu Hanifah (80-150 H), Imam Sufyan al-Tsauri (97-161 H), Imam Malik bin Anas (92-179 H), dan Imam Sufyan Ibnu ‘Uyainah (107-198 H). Dapat kita bayangkan, nama-nama ulama di atas adalah poros (madar) dalam banyak jalur riwayat. Konsekuensinya, perawi generasi berikutnya mendapatkan keragaman lafadl matan hadis. Ujungnya, sampai ke kita sebagai pembaca kutubussittah, dengan keragaman yang tertaut.
Sebagai misal yang jelas adalah keragaman sanad dan matan yang ada di kitab Shahih Muslim. Dalam satu bab, Imam Muslim mencantumkan banyak jalur riwayat. Sekaligus beliau menuliskan keragaman matannya. Tentu, akan tambah asyik lagi jika kita bandingkan dengan lintas kitab hadis. Semisal dikomparasikan dengan Shahih al-Bukhari, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Akan lebih indah tautan dan jalinannya. Karena itu, dengan keluasan bahan bacaan, kita dapat lebih baik dan lebih mudah memahami hadis. Sebaliknya, tentu kurang baik jika kita terburu-buru memahami hadis hanya dari satu riwayat. Bukan berarti tidak boleh. Tetapi untuk menangkap keutuhan makna hadis, baik sekali keragaman riwayat hadis tersebut saling didialogkan. Saling ditautkan.
Lantas tertarikah anda?