Kebolehan Menikahi Putri Kandung Menurut Imam Syafi’i dan Konteksnya

majalahnabawi.com – Beberapa hari yang lalu ada sebuah akun berinisial @F di aplikasi X mengomentari sebuah tulisan saudara Ibnu Fadil dengan judul tulisan “Imam Syafi’i Membolehkan Laki-laki Menikahi Putri Kandungnya” yang dipost sebelumnya. Tulisan tersebut mendapat lumayan banyak komentar dari masyarakat, baik yang ambigu dengan judul tulisannya atau pun tidak tahu akan maksud isinya. Dalam komentarnya, ia menyebutkan bahwa pendapat ini sinting serta menyerupai ‘binatang’ dengan tiga tanda seru di akhir katanya.

Entah saudara yang berinisial f tersebut telah membaca isi tulisan tersebut dan mengetahui maksudnya atau tidak atau bagaimana. Yang jelas, sepertinya perlu penjabaran lebih mengenai pendapat Imam Syafi’i terkait kebolehan seorang ayah menikahi putri kandungnya dalam tulisan saudara Ibnu Fadil.

Saya beri disclaimer terlebih dahulu bahwa Imam Syafi’i itu sangat tau moral dan memang beliau orang yang sangat hati-hati dalan berfatwa. Beliau juga terkenal akan manhaj ihtiyatnya di kalangan ulama terkait ijtihad yang beliau lakukan. Terlebih Imam besar yang memiliki qaul qadim dan jadid ini juga terkenal dengan sifat waro’nya atau sangat menjaga diri dari segala hal yang merusak moral dan melanggar perintah-perintah dari agamanya. Atas kesalehannya tersebut pula lah namanya harum di berbagai penjuru dunia.

Patriarkis Menjadi Budaya Zaman

Seperti yang kita ketahui di zaman sekarang, ajaran feminisme sedang memunculkan taringnya. Sehingga, pendapat akan kebolehan menikahi putri kandung itu seakan sesuatu yang keluar dari nilai moralitas dan bahkan melebihi ‘binatang’. Akan tetapi, apakah benar demikian? Perlu diketahui, hasil ijtihad yang berlaku di zaman sekarang seringkali sudah ada pembaharuan secara pengaplikasian. Mengapa demikian? Hal itu juga menjadi pegangan para ulama fikih juga Imam Syafi’i yang semuanya melarang para pengikutnya bertaklid buta terhadap suatu ijtihadnya. Karena para mujtahid memiliki kesadaran penuh akan perubahan zaman yang kian waktu memunculkan stratifikasi keadaan sosial dan kondisi yang berbeda serta beragam, berbeda pada zaman mereka. Terlebih Imam Syafi’i merupakan ulama yang lahir di kurun abad ke dua hijriah atau sekitar 12 abad yang lalu. Tentu banyak perubahan yang ada di masyarakat sekarang dan mengenai hukum yang berlaku pun akan disesuaikan zamannya.

Standarisasi Moral Zaman Tersebut Berbeda

Imam Syafi’i hidup di zaman yang bisa dibilang budaya patriarkis masih kuat. Sehingga ketika dihubungkan dengan perempuan, perempuan hanyalah bagaikan hiasan bagi laki-laki, membantu dan menghiburnya, tidak lebih dari itu. Adapun konteks pendapat ini adalah “anak perempuan di luar nikah”. Bila dikatakan menikahinya adalah sebuah hal yang di luar moral, tentu menikah di luar nikah pun suatu hal yang di luar nilai moral dan merupakan sifat kebinatangan. Ketika ada fenomena anak di luar nikah tentu itu juga menunjukan akan standarisasi moral daerah tersebut tidaklah baik. Lalu dengan kesimpulan atas dasar bahwa anak di luar nikah itu tidak mendapatkan hak waris dan tidak dinasabkan kepada ayahnya maka tentu itu menunjukan bahwa sudah tidak ada kaitan darah kepada ayahnya secara agama. Dengan hal ini, kemudian Imam Syafi’i berkesimpulan anak perempuan tersebut bukanlah mahram si ayah tersebut sehingga boleh dinikahi.

Bila dikatakan pendapat itu tidak sesuai moral manusia, tentu melakukan hubungan di luar pernikahan lebih dari itu. Karena kepekaan moral akan bagaimana menyikapi wanita pada zaman Imam Syafi’i tidak seperti sekarang yang sadar akan eksistensi perempuan untuk lebih bisa memiliki peran, tentu pada zaman yang patriarkis tersebut menikahi anak di luar pernikahan sah sebuah hal yang wajar tak menyalahi adat moral.

Perlu Mengaji tentang Moral Hukum untuk Memahami Substansi Sebuah Hukum

Di sinilah titik letak memahami, moral hukum sesuai kondisi dan zamannya. Bila pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak sesuai dengan kondisi zaman kita, maka silahkan ditinggalkan dan memilih pendapat yang lain. Terlebih, sudah ada badan hukum yang sah yang mengurusi itu semua. Mari cerdas dalam memahami teks dan konteks teks ketika kita membacanya agar ketika menyampaikannya kembali tidak menimbulkan kesalahan yang lebih fatal hingga mempersalahkan seorang Imam Mujtahid besar yang diakui seluruh dunia.

Wallahu A’lam

Similar Posts