Kedudukan Istri Kelima dalam Perspektif Syariat Islam
Majalahnabawi.com – Dalam satu dekade ini, masifnya berita mengenai poligami sudah tidak terbendung lagi. Maraknya pelaku poligami yang terjadi dewasa ini bukan lagi semata-mata mengikuti ajaran Rasulullah Saw., melainkan sebab yang mendominasi adalah tingginya antusiasme pria dalam menyalurkan kebutuhan seksnya.
Sebagaimana berita yang beredar, bahwa seorang pria hanya memiliki legalitas pernikahan dengan empat perempuan saja. Meskipun dekrit mengenai hal tersebut telah banyak beredar, tidak menutup kemungkinan adanya oknum yang melanggar ketentuan tersebut.
Fatwa MUI Perihal Istri Kelima
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 17 tahun 2013 tentang “Beristri Lebih Dari Empat Dalam Waktu Bersamaan” telah memutuskan bahwa “Jika pernikahan dengan istri pertama hingga keempat dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya, maka ia sah sebagai istri dan memiliki akibat hukum pernikahan. Sedang wanita yang kelima dan seterusnya, meski secara faktual sudah digauli, statusnya bukan menjadi istri yang sah.”
Fatwa MUI di atas berdasarkan salah satu kajian nash Al-Quran yang berbunyi;
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS. An-Nisa’ ayat 3)
Pada ayat di atas, banyak penafsiran ulama yang berbeda-beda. Pembahasan utamanya adalah sebagaimana terdapat pada lafaz wawu dan au. MUI dalam fatwanya sebagaimana mengutip Pendapat Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi dalam kitab “al-Hawi al-Kabir Fi Fiqh as-Syafi’i”, bahwa makna “wa” dalam ayat di atas tidaklah seperti “wawu jama’” yang bermakna menambahkan (sehingga pemahamannya adalah dua tambah tiga tambah empat), tapi “wa” tersebut bermakna “wawu takhyir” yang bermakna “atau”, sehingga pemahamannya: dua, atau tiga, atau empat.”
Kedudukan Istri Kelima
Secara sosiologis, seorang pria dan wanita yang saling mencintai dan menyayangi tidak mungkin bisa terpisahkan kecuali dengan ajal. Namun dalam tinjauan yuridis, MUI menyatakan bahwa “Wanita yang kelima dan seterusnya wajib dipisahkan karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah.” Hal ini tentu menimbulkan banyak kontroversial. Di antaranya bagi kalangan yang tidak sependapat dengan fatwa MUI sebagaimana penulis tuliskan di atas.
Menyikapi hal tersebut, penulis berspekulasi bahwa adanya pertentangan mengenai hukum berpoligami ini hanyalah nafsu seks semata. Apabila kita telaah kembali secara historis, dapat kita temukan tentang beberapa faktor Rasulullah SAW melakukan poligami yang bahkan melebihi empat istri. Di antaranya adalah hifdzu al-nafsi (menjaga jiwa). Tidak satu pun istri Rasulullah Saw. yang perawan selain Sayyidah Aisyah ra. Alasannya karena istri-istri Rasulullah Saw. yang lain adalah para wanita yang terlantar setelah terjadinya perang. Dari sinilah kemudian inisiatif Rasulullah Saw. menikahi mereka guna menjaga jiwa-jiwa wanita tersebut.