Kehidupan Umat Terdahulu dalam Al-Quran
Majalahnabawi.com – Al-Quran merupakan obyek yang selalu menarik untuk dikaji dari segala sisinya, baik secara universal maupun parsial. Selain itu, Al-Quran juga menggambarkan bagaimana kehidupan umat-umat terdahulu, mulai dari Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad Saw. Hal ini merupakan pembuktian kemukjizatan Al-Quran dan pembuktian kebenaran Nubuwwah Rasulullah Saw.
Dari Al-Quran kita banyak mengambil ilmu pengetahuan, misalnya kewajiban salat, puasa, zakat dan lainnya. Lebih dari itu, kita juga dapat mengambil banyak pelajaran dan hikmah dari kehidupan umat-umat terdahulu. Melalui Al-Quran, kita dapat mengikuti jejak kebaikan dan meninggalkan keburukannya. Begitu banyak Al-Quran yang mengisahkan umat-umat terdahulu. Dan tulisan ini akan mengingat kembali kehidupan itu melalui kajian tafsir para ulama terkemuka.
Golongan Umat-umat Terdahulu
Imam Ibnu Jarir at-Thabari, ulama pakar tafsir, dalam karya monumentalnya Jami al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran atau lebih dikenal dengan Tafsir at-Tabari menggambarkan kehidupan umat terdahulu menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan orang kafir, terdapat pada QS. Al-Baqarah, ayat 200:
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِى الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
“Maka, di antara manusia ada orang yang berdoa: “Tuhan kami, berilah kami di dunia”, dan tiadalah baginya bagian di akhirat.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sebab turunnya ayat ini adalah: “Dahulu orang-orang badui datang ke suatu tempat dan berdoa, “ Wahai tuhan kami, jadikanlah tahun ini tahun hujan, tahun kesuburan, dan tahun kelahiran anak yang baik”, tanpa menyebutkan apapun tentang urusan akhirat.”
Ayat di atas menggambarkan kegilaan umat dahulu terhadap dunia. Ia hanya sibuk meminta kesejahteraan duniawi dengan tujuan kenyamanan dan kenikmatan yang bersifat sementara. Mereka senantiasa melupakan keselamatan di akhirat. Makna ini dipahami karena mereka tidak memohon untuk dunianya sesuatu yang bersifat hasanah, dan tidak pula sesuatu yang menyangkut akhirat. Syekh Sya’rawi dalam tafsirnya mengatakan: “Seorang hamba terkadang ketika berdoa kepada Allah Swt. hanya menginginkan dunia semata, oleh karenanya ia tidak akan mendapatkan bagian apapun kelak di akhirat. Hamba seperti ini adalah hamba yang tidak mempunyai semangat dalam kehidupan, karena ia hanya mencari sesuatu yang fana’ (akan binasa).”
Kedua, golongan orang mukmin terdapat pada QS. Al-Baqarah, ayat 201:
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Tuhan kami, anugerahilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Menyandarkan segala urusan kepada Allah Swt, baik urusan dunia atau akhirat, merupakan bentuk ketidakberdayaan seorang hamba. Ia masih butuh pertolongan Allah Swt. Oleh karenanya, ia selalu berdoa agar diberi kebaikan dunia dan akhirat. Memohon kepada Allah Swt, di dunia bukan berarti semua kenyamanan dan kenikmatan, melainkan yang bersifat Hasanah saja. Begitu juga Hasanah di akhirat. Dan ayat ini turun sebagai teguran bagi mereka yang hanya berambisi pada urusan dunia.
Penafsiran Kata Hasanah dalam Doa
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsiran lafaz Hasanah, di dunia maupun di akhirat. Tetapi, menurut pakar tafsir kontemporer, Syekh Sya’rawi, bahwa yang dimaksud Hasanah di dunia adalah istri shaleha, sementara Hasanah di akhirat adalah surga. Sedangkan menurut Quraish Shihab: “Adalah bijaksana jika memahaminya secara umum, bukan hanya dalam arti iman yang kokoh, kesehatan, afiat, dan rezeki yang memuaskan, pasangan yang ideal, dan anak-anak yang shaleh. Tetapi segala yang menyenangkan di dunia dan berakibat menyenangkan pula di hari kemudian. Serta, bukan pula hanya keterbebasan dari rasa takut di akhirat, hisab (perhitungan) yang mudah, masuk ke surga dan mendapatkan ridha-Nya, tetapi lebih dari itu, karena anugerah Allah tidak terbatas.”
Ketiga, golongan orang munafik, terdapat pada QS. Al-Baqarah, ayat 204:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِى الْحَيَوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ
“Dan di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hati kamu, dan dipersaksikan Allah atas isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras.”
Ciri-ciri Orang Munafik
Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan: “Yang pertama dilukiskan Allah dalam ayat ini adalah isi hati, ucapan, dan tindakan mereka, yakni bahwa tutur bahasa, analisis, atau dalih-dalih mereka mengagumkan karena sangat pandai mengemas niat buruknya dalam kemasan yang sangat indah sehingga melahirkan rasa kagum.”
Demikianlah umat-umat munafik terdahulu, ia menampakkan kebaikan melalui tutur katanya, perbuatannya, analisisnya. Ia bersikap seakan-akan ia adalah orang yang paling beriman, paling bagus Islamnya di antara yang lain. Padahal sebenarnya ia banyak menyembunyikan keburukan dalam hatinya. Dengan kemasan yang baik, bagus ,dan indah, membuat orang-orang terlena kepadanya. Sifat seperti ini tidak hanya pada umat terdahulu, melainkan sampai hari kiamat nanti akan tetap ada.
Adapun sebab turun ayat ini menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib adalah; “Suatu ketika orang-orang kafir Quraish datang kepada Rasulullah Saw. dan mengaku bahwa dirinya telah beriman. Kemudian mereka meminta kepada Nabi agar mengutus beberapa ulama ke negeri mereka untuk mengajarkan Al-Quran dan syariat Islam. Nabi pun mengirimkan beberapa sahabatnya. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Bathn al-Raji’ mereka beristirahat. Mendengar berita ini, tujuh puluh kafir Quraish penunggang kuda bergegas ke tempat istirahat itu dan membunuh serta menyalib mereka.”
Wallahu A’lam