Keistiqamahan Halaqah dan Muzakarah di Darus-Sunnah Institute
Halaqah adalah tradisi belajar yang sangat khas di Darus-Sunnah Institute for Hadith Sciences. Secara harfiah, halaqah berarti “lingkaran”, karena santri duduk melingkar mengelilingi ustaz untuk mengaji. Namun, maknanya lebih dalam daripada sekedar duduk melingkar. Halaqah juga berarti mata rantai ilmu, di mana para santri masuk ke dalam silsilah keilmuan dari sang ustaz yang bersambung hingga Rasulullah Saw.
Halaqah Subuh yang Sarat Makna
Halaqah di Darus-Sunnah berlangsung setiap hari setelah salat subuh. Biasanya berlangsung selama satu setengah jam, atau hingga pukul setengah tujuh pagi. Di sini, sekitar lima puluh santri dari dua angkatan berkumpul untuk belajar. Cara belajar dalam halaqah cukup sederhana, yaitu ustaz meminta beberapa santri membaca kitab, kemudian memberikan penjelasan. Terkadang ustaz akan mengajukan pertanyaan terkait materi yang sudah mereka pelajari pada malam sebelumnya, seperti kosakata atau penjelasan kitab. Sesekali ustaz akan membagi para santri menjadi dua kelompok untuk saling bertanya jawab tentang apa yang mereka pelajari.
Halaqah ini berlangsung dengan menggunakan Bahasa Arab sebagai bagian dari metode pembelajaran. Namun, halaqah ini tidak berdiri sendiri. Apa yang ustaz ajarkan pada pagi hari sebenarnya sudah mereka pelajari terlebih dahulu pada malam harinya melalui muzakarah.
Muzakarah sebelum Halaqah
Muzakarah adalah kegiatan belajar mandiri yang para santri lakukan setelah salat Isya berjamaah. Kegiatan ini berlangsung selama sekitar satu setengah jam tanpa kehadiran ustaz. Para santri belajar dalam kelompok kecil yang disebut usrah, yang berarti “keluarga”. Setiap usrah beranggotakan sekitar sepuluh orang dan masing-masing anggota bertanggung jawab mempelajari satu kitab untuk kemudian menjelaskannya kepada teman-teman dalam kelompok.
Dalam satu sesi muzakarah, para santri mendiskusikan dua kitab. Hal ini bertujuan agar saat halaqah pada keesokan paginya, santri sudah memiliki bekal untuk memahami penjelasan ustaz dengan lebih baik.
Kitab yang Dipelajari
Karena Darus-Sunnah adalah pesantren mahasiswa yang berfokus pada ilmu hadis, kitab-kitab yang mereka pelajari di halaqah dan muzakarah adalah kitab hadis utama. Setiap pekan, santri mempelajari enam kitab hadis primer:
- Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
- Ṣaḥīḥ Muslim
- Sunan Abū Dāwūd
- Sunan at-Tirmiżī
- Sunan an-Nasā’ī
- Sunan Ibnu Mājah
Selain enam kitab hadis primer tersebut, ada empat kitab tambahan yang para santri pelajari dalam dua sesi halaqah dan muzakarah lainnya:
- Tadrīburrāwī (ilmu hadis)
- Al-Mustaṣfā (usul fikih) atau Fawā’id al-Janiyyah (kaidah fikih)
- Bidāyat al-Mujtahid (perbandingan fikih)
- Uṣūl ad-Dīn (akidah)
Dengan pembagian ini, setiap pekan para santri mendalami sepuluh kitab dalam halaqah dan muzakarah.
Keistiqamahan atau konsistensi adalah tradisi kuat yang dijaga di Darus-Sunnah, terutama dalam halaqah dan muzakarah. Kegiatan ini tidak pernah libur. Kalaupun ada acara khusus, seperti haul atau peringatan lainnya, halaqah hanya dialihkan sementara dan tidak pernah benar-benar ditiadakan. Jika ustaz berhalangan hadir, musyrif akan menggantikan peran beliau , yaitu alumni yang pernah mengaji langsung dengan ustaz. Dengan demikian, mata rantai keilmuan tetap terjaga.
Pesan Sang Pendiri
Pendiri Darus-Sunnah, KH. Ali Mustafa Yakub (1952-2016), yang juga pernah menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, sangat menekankan pentingnya konsistensi dalam belajar. Beliau sering berpesan, “Istaqīmū fīddirāsah wa ṣalātil jamā‘ah”, yang berarti: “Istiqamahlah dalam belajar dan salat berjamaah.”
Pesan ini menjadi ruh dalam setiap kegiatan di Darus-Sunnah. Melalui halaqah dan muzakarah, tradisi ilmu terus menjadi warisan dengan penuh dedikasi, menghubungkan generasi demi generasi dalam mata rantai keilmuan yang tak terputus.