Kekerasan dalam Simpul-simpul Pernikahan

Majalahnabawi.com – Beberapa hari lalu, sebuah penggalan video pendek memenuhi jagat media. Seorang penceramah yang biasa disebut ustazah, sedang ramai menjadi sorotan netizen. Ia tengah menjelaskan kepada para jamaah perempuan tentang kiat-kiat menjadi istri salehah yang nantinya mendapatkan balasan surga.

Usut punya usut, ternyata video tersebut telah ada sejak 2 tahun yang lalu. Adapun yang tersebar di media, hanya potongan kecil dari ceramahnya. Entah apa motifnya, video itu mulai naik dan kembali menjadi perbincangan publik. Pasalnya ia ditengarai menormalisasikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan dalih menutupi aib sang suami.

Tentunya pernyataan tersebut dengan cepat menuai komentar, mulai dari netizen yang budiman, feminisme, kiai kondang, hingga intelektual. Sebab kekerasan dan perempuan menjadi pembahasan yang serius di dunia modern ini. Lalu bagaimana Islam menyikapinya?

Maraknya Kekerasan dalam Pernikahan

Sejatinya, Islam tidak pernah absen untuk membincangkan keharmonisan dalam rumah tangga. Islam menegaskan bahwa pernikahan harus berpijak di atas cinta dan kasih sayang antara pasangan (QS. al-Rum: 21). Islam juga mengajarkan kepada suami istri untuk saling menutupi aib masing-masing, (QS. al-Baqarah :187).

Keduanya harus saling melindungi, menutupi kekurangannya, menjaga kehormatannya, juga tidak menyebarkan suatu kecacatan yang terletak di antara satu sama lain, demikian hakIkat dari menjaga aib dalam rumah tangga.

Membongkar aib memang dilarang dalam agama Islam, akan tetapi KDRT bukanlah suatu aib yang seharusnya dirahasiakan, melainkan kejahatan yang selayaknya diselesaikan di hadapan pengadilan. Karena Islam tidak mengajarkan pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan. Hal tersebut merupakan bentuk anomali yang sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai universalitas Islam.

KOMNAS HAM perempuan mencatat terdapat 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang terjadi di tahun 2021. Sebanyak 79% terjadi dalam ranah personal atau KDRT, dan yang melapor hanya 1.404 kasus. Ironisnya, kekerasan ini semakin melunjak di tengah kondisi pandemi.

Data di atas tentunya sangat menyakiti hati kita. Bagaimana mungkin, pernikahan yang diharapkan menjadi tempat kasih sayang, seketika berubah menjadi tempat yang paling menyeramkan, penuh dengan kekerasan, hinaan dan makian.

Indonesia telah memberikan wadah bagi para pelapor, untuk memberikan pidana bagi para pelaku KDRT. Secara teknis tercatat dalam pasal 44 ayat 1 yang menetapkan hukuman penjara beserta denda bagi mereka yang melakukan kekerasan fisik dalam bentuk rumah tangga.

Dominasi Budaya Patriarki

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menjelaskan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Di antaranya adalah faktor indIvidu, pasangan, ekonomi, dan budaya. Tulisan ini akan lebih membahas faktor yang terakhir.

Dominasi laki-laki yang cenderung mengeksploitasi sifat maskulinitas, sering kali memandang perempuan sebatas manusia kelas dua (inferioritas). Saya tidak menafikan terjadinya kekerasan terhadap laki-laki, hanya saja, melihat realitas yang terjadi saat ini, saya kira kita semua sepakat -terpaksa atau tidak- perempuan lebih cenderung menjadi bulan-bulanan dari kekerasan tersebut.

Sikap patriarki yang sering kali dibungkus dengan postulat-postulat agama, dijadikan sebagai legitimasi untuk memperkuat argumentasi superioritas laki-laki. Dengan kata lain, tak jarang kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, terjadi disebabkan pelaku merasa mendapatkan legalitas dari agama. Dalam hal ini, surat al-Nisa ayat 34 yang membicarakan tentang nusyuz kerap menjadi dalih bagi mereka yang melakukan kekerasan.  

Maka tak ayal, jika ungkapan ustazah dalam vidio tersebut dengan cepat mendapatkan respon dari publik. Mungkin yang dikhawatirkan bagi sebagian orang ialah terjadinya polarisasi pemahaman yang cenderung mendiskriminasi perempuan. Dalam artian lain, seolah-olah perempuan tidak akan sampai pada derajat saleh, ketika ia membicarakan perilaku kekerasan suaminya.

Menjunjung Tinggi Kesetaraan

Sejatinya kekerasan itu sendiri telah keluar dari nilai-nilai keislaman. Bahwa kekerasan bukanlah jalan yang dianjurkan oleh agama. Seharusnya nasehat mengenai kekerasan itu lebih tepat diungkapkan kepada laki-laki agar dapat memperlakukan perempuan dengan baik, memberikan kepada para istri hak-hak yang semestinya mereka dapatkan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi.

عَنْ جَدِّهِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَقُلْتُ مَا تَقُولُ فِي نِسَائِنَا قَالَ أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ وَلَا تَضْرِبُوهُنَّ وَلَا تُقَبِّحُوهُنَّ

Dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata; aku datang kepada Rasulullah ﷺ. Mu’awiyah berkata; kemudian aku katakan; bagaimana pendapat engkau mengenai istri-istri kami? Beliau bersabda, “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai, dan janganlah kalian memukul mereka serta menjelek-jelekkan mereka (dengan perkataan dan cacian).” HR. Abu Dawud, 1832.

Hadis di atas menceritakan keharmonisan sepasang suami istri. Menerapkan nilai egaliter dalam hubungan rumah tangga. Sehingga di antara keduanya, tidak merasa tersakiti secara batin maupun fisik.

Senada dengan itu, bahwa nabi sebagai pemimpin umat Islam pun tak pernah melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya, baik ketika Bersama Khadijah -monogami- ataupun dengan istri-istrinya yang lain.

Dengan demikian, dalam merajut bahtera pernikahan tidak cukup hanya mengandalkan keinginan, kemauan dan finiansial. Pernikahan merupakan sebuah ibadah yang memakan waktu panjang. Tentunya ibadah ini menuntut lelakunya untuk memiliki ilmu yang akan memandunya di lautan pernikahan, misalnya agama, sosial, dan parenting.

Sebagai penutup. Hemat saya, untuk mencegah terjadinya kekerasan yang kian meresahkan dan mengkhawatirkan perempuan, kiranya perlu membangkitkan jiwa kontemplatif dan kesadaran personal mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai manusia.

Nilai kesetaraanlah yang nantinya akan membantu hubungan kemitraan antara suami dan istri dalam hubungan rumah tangga. Perhelatan ini membutuhkan intervensi para kiai, serta guru yang mengajarkan nilai-nilai kesetaraan melalui sudut pandang agama dan juga sudut pandang sosial.

Wallahu A’lam.  

Similar Posts