Kemuliaan Muharram

Majalahnabawi – Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Islam (kalender Hijriah) yang memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri di dalamnya. Di antaranya adalah:

1. Bulan Mulia di Sisi Allah

Allah SWT berfirman:

إنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah Ta’âlâ adalah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah Ta’âlâ pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzalimi diri kalian (dalam bulan empat) itu.” (QS. al-Taûbah [9]: 36).

 Adapun keempat bulan yang dimaksud adalah: Dzu al-Qa’dah, Dzu al-Hijjah, al-Muharram, dan Rajab. Hal ini sebagaimana keterangan Hadis Shahih yang di riwayatkan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

 إنَّ الزَّمانَ قد استدار كهيئتِه يومَ خَلَق اللهُ السَّمواتِ والأرضَ، السَّنةُ اثنا عَشَرَ شَهرًا، منها أربعةٌ حُرُمٌ، ثلاثٌ متوالياتٌ: ذو القَعْدةِ، وذو الحِجَّةِ، والمحَرَّمُ، ورَجَبُ مُضَرَ الذي بين جُمادى وشَعبانَ

 “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana ketika Allah Ta’âlâ menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berurutan: Dzû al-Qa’dah, Dzû al-Hijjah, dan al-Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumâdâ (Jumâdâ al[1]Akhirah) dan Sya’bân.” (HR. al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu Dawud al-Sijistani, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban al-Busti, dan yang lainnya).

 2. Bulan Allah (Syahrullah)

Selain salah satu bulan yang dimuliakan dan diistimewakan, Muharram juga secara khusus dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai Syahrullâh, “Bulan Allah Subahânahû wa Ta’âlâ.” Hal ini sebagaimna keterangan riwayat Sha hih dari A bu Hura ira h radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam bersabda:

أفضلُ الصيامِ بعدَ رمضانَ شهرُ اللهِ المحرَّمُ, وأفضلُ الصلاةِ بعدَ الفريضةِ صلاةُ الليلِ

Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Ta’âlâ, bulan Muharram. Dan sebaik-baik salat setelah salat wajib l i m a w a k t u a d a l a h s a l a t malam.” (HR. Muslim bin al-Hajjaj, Abû Dawud al-Sijistani, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya).

Dalam riwayat lain, Abû Dzar al-Ghiffari radhiyallâhu ‘anhu pernah menanyakan beberapa hal kepada Rasulullah SAW terkait keutamaan-keutamaan dalam beramal. Beliau bertanya, “Wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam, (Memerdekakan) budak seperti a pa ka h ya ng lebih menyucikan (jiwa)? Bagian malam manakah yang paling baik? Dan bulan apakah yang paling utama?” Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam menjawab:

أزكى الرقاب أغلاها ثمنا،وخير الليل جوفه وأفضل الأشهر شهر الله الذي تدعونه المحرم

(Memerdekakan) budak yang lebih m e n y u c i k a n ( j i w a ) a d a l a h (memerdekakan) budak yang paling mahal harganya. Bagian malam yang paling baik adalah pertengahan akhir. Dan bulan yang paling utama adalah bulan Allah Ta’âlâ yang kalian sebut dengan bulan Muharram.” (HR. al-Nasa’i).

 Dalam Kitab Lathâ’if al-Ma’ârif, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bulan apa yang paling utama. Beliau mengatakan, “Dan para ulama telah berbeda pendapat mengenai bulan apa yang paling utama“. Imam Hasan al-Bashri dan para ulama yang lainnya mengatakan: ‘Bulan yang paling utama adalah bulan Allah Ta’âlâ Muharram. Pendapat ini dikuatkan oleh sekelompok ulama generasi setelahnya. Wahab bin Jarir meriwayatkan dari Qurrah bin Khalid dari Hasan al-Bashri, ia berkata:

Sesungguhnya Allah Ta’âlâ memulai tahun dengan bulan haram (al-Muharram), dan mengakhiri tahun tersebut juga dengan bulan haram (Dzû al-Hijjah). Maka di dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, tidak ada bulan yang lebih agung di sisi Alllah Ta’âlâ daripada Muharram. Sampai-sampai pada zaman dahulu dinamakan bulan Muharram yang tuli karena besarnya keharaman (melakukan m a k s i a t p a d a b u l a n tersebut).” (Lihat Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif, Bab Afdhalu al-Tathawwu’, juz 1, hal, 36).

Pada hakikatnya, semua bulan adalah bulan Allah Ta’âlâ dan milik-Nya . A rtinya Dia la h ya ng menciptakan dan mengaturnya. Hanya saja secara khusus, melalui lisan Rasul-Nya, Allah Ta’âlâ menyatakan Muharram sebagai bulan-Nya. Hal ini tidak lain sebagai bentuk pengagungan Allah Ta’âlâ terhadap bulan tersebut. Sama halnya ketika Allah Ta’âlâ memuliakan dan mengutamakan Ka’bah dengan menyebutnya sebagai “Rumah-Nya” (Baîtullâh). Meskipun semua masjid di muka bumi ini adalah “Rumah-Nya.” Juga memuliakan dan mengutamakan Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam di atas para utusan-Nya yang lain. M e n g u t a m a k a n d a n memuliakan utusan (al-rasûl) yang satu, dengan utusan-utusan (al[1]rusul) lainnya. Mengutamakan hari jumat di atas hari-hari yang lain. Mengutamakan dan memuliakan malam lailatul qadar di antara m a l a m – m a l a m y a n g l a i n. Mengutamakan amaliah yang satu dengan amaliah yang lain. Dan sebagainya

 Terkait penamaan Muharram sendiri, secara singkat Imam Jalal al-Din a l – S u y u t h i menjelaskan, “Berbeda dengan bulan-bulan lainnya; nama-nama bulan lain telah ada pada masa jahiliyah. Sementara (nama bulan Muharram) dahulu orang-orang jahiliyah menyebutnya dengan bulan Shafar al-Awwal dan bulan setelahnya dengan Shafar al-Tsânî. Namun, ketika Islam datang, Allah Ta’âlâ mengganti namanya dengan bulan al-Muharram, sehingga dengan nama bulan ini, Allah Ta’âlâ sandarka n kepada diri-Nya (Syahrullâh).” (Lihat Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Dibaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, juz 3, hal. 252).

 3. Anjuran Puasa dan Amal Saleh

Selain keutamaan-keutamaan di atas, keutamaan berikutnya adalah dianjurkannya kaum muslimin memperbanyak amal saleh pada bulan ini, terutama puasa. Sebagaimana disebut dalam Hadis di atas bahwa sebaik-baik puasa (sunnah) setelah puasa Ramadhan (wajib) adalah puasa Muharram. Imam al-Nawawi menjelaskan: Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling utama untuk melaksanakan puasa sunnah. Adapun terkait banyaknya Rasulullah SAW melakukan puasa pada bulan Sya’ban bukan pada bulan Muharram, b e l i a u menjawabnya dengan dua jawaban: Pertama: Bisa jadi, Rasulullah SAW baru mengetahui keutamaan Muharram di akhir-akhir hayatnya. Kedua: Bisa pula, Rasulullah SAW mendapati halangan untuk melaksanakannya, seperti perjalanan, sakit, dan sebagainya. (Lihat Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, Bab Fadl Shaûm al-Muharram, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al- ‘Arabiy, hal. 55).

Imam al- Qurthuby menambahkan sebagaimana dinukil oleh Imam al-Suyuthi dalam penjelasannya mengenai riwayat tersebut dan mengatakan: Puasa Muharram merupakan puasa (sunnah) yang paling utama, karena ia dilakukan pada awal tahun. Maka untuk membuka awal tahun tersebut, disunnahkanlah berpuasa, dan itulah seutama-utamanya beramal. (Lihat Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Dîbâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajjâj, juz 3, hal. 252). M e n g a p a d e m i k i a n, k a r e n a sebagaimana diketahui, puasa merupakan “milik khusus” Allah Ta’âlâ, yang secara terang-terangan ditunjukkan melalui sikap-Nya yang posesif dan panatik. Seakan Dia bermaksud “memonopoli” untuk diri -Nya sendiri. Hal ini telah sangat terang termaktub dalam Hadis Qudsi Shahih riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Allah Ta’âlâ berfirman:

Puasa itu khusus milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Nah, di saat amalan istimewa milik Allah Ta’âlâ ini dikerjakan pada bulan yang istimewa milik Allah Ta’âlâ juga, tidaklah mengherankan, apabila puasa sunnah pada bulan ini merupakan puasa sunnah yang paling utama, sebagaimana telah dijelaskan dalam Hadis Shahih di atas, “Seutama-utama puasa (sunnah) setelah puasa Ramadhan (wajib) adalah puasa di bulan Allah Ta’âlâ, yaitu puasa sunnah Muharram.”

 Selain itu, terdapat hari khusus di bulan ini, dimana kaum muslimin dianjurkan untuk berpuasa di dalamnya, yaitu pada hari kesepuluh dan atau yang dikenal dengan puasa ‘Asyûrâ’. Adapun keutamaan puasa pada hari tersebut (‘Asyûrâ’) dapat menghapus dosa (kecil) yang dilakukan satu tahun yang lalu. Abu Qatadah al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

سئل عن صوم عاشوراء فقال: يكفر الله به السنة التي قبله

“Dan Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam ditanya tentang puasa pada hari ‘Āsyûrâ’ (tgl 10 Muharram). Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam menjawab: ‘Puasa ‘Āsyûrâ’ akan menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR. Muslim, Ahmad bin Hanbal, al-Nasa’i).

Puasa ‘Āsyûrâ’ memiliki sejarahnya tersendiri. Ia telah dilakukan Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam sejak masa jahiliah, sebagaimana sebuah riwayat dari Imam al-Bukhârî yang bersumber kepada Ibunda ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha. Beliau menceritakan:

ان يومُ عاشوراءَ يومًا تصومه قُرَيشٌ في الجاهليَّةِ، وكان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يصومه ، فلما قَدِمَ المدينةَ صامه وأمَرَ بصيامِه، فلما نزل رمضانُ كان من شاء صامه، ومن شاء لا يصومه

”Hari Āsyûrâ’ adalah hari puasanya orang-orang Quraisy masa jahiliah, dan Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam pun (pada masa jahiliah itu) berpuasa ‘Āsyûrâ’. Namun, ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam tiba di Madinah dan berpuasa ‘Āsyûrâ’ dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa ‘Āsyurâ’ pula, maka turunlah ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan, lalu Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam mengatakan, siapa yang mau puasa ‘Āsyûrâ’ silahkan, dan yang tidak pun silahkan.” (HR. al-Bukhari, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al[1]Baihaqi, dan yang lainnya).

Da ri Ha d i s i ni da pa t  d i s i m p u l k a n b a h w a k e t i k a Rasulullah SAW berada di Makkah (sebelum hijrah) telah berpuasa ‘Āsyûrâ’ mengikuti kebiasaan baik orang-orang Quraisy. Sementara ketika di Madinah (setelah hijrah) dan setelah turunnya ayat puasa Ramadhan, Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam mengatakan, siapa yang mau berpuasa ‘Āsyûrâ’ silahkan dan yang tidak pun silahkan. Dari sini kemudian para ulama sepakat bahwa hukum puasa ‘Āsyûrâ’ adalah sunnah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya sebelum datang syari’at puasa Ramadhan. Imam Abu Hanifah mengatakan hukumnya wajib. Sementara menurut Ahshâb asy-Syafi’î, sebagian mereka mengatakan wajib, dan sebagiannya sunnah muakkadah saja hingga sekarang. (Lihat Muhammad Syams al-Haqq al-‘Adzim ‘Abadi, ‘Aûn al[1]Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Bab fî Yaûm ‘Āsyûrâ’, Beirut: Dâr al[1]Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H, juz 7, hal. 77).

Selain itu, puasa ‘Asyûrâ’ yang dilakukan Nabi shallallâhu ‘alaîhi wa sallam adalah wahyu dari Allah Ta’âlâ, bukan karena mengikuti syariat kaum Yahudi. Kendati kaum Yahudi sendiri b e r p u a s a ‘ Ā s y û r â ’ u n t u k mensyukuri hari bersejarah ini. Sebagaimana sebuah kisah dari sahabat Abdullâh bin ‘Abbâs r a d h i a l l a h u ‘ a n h u m a . B e l i a u menceritakan:

 لما قدم المدينة ، وجدهم يصومون يوما ، يعني عاشوراء ، فقالوا : هذا يوم عظيم ، وهو يوم نجى الله فيه موسى ، وأغرق آل فرعون ، فصام موسى شكرا لله ، فقال أنا أولى بموسى منهم فصامه وأمر بصيام

“ Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Āsyûrâ’. Mereka berkata: ‘Ini adalah hari agung, hari d i m a n a A l l a h T a ’ â l â menyelamatkan Mûsâ ‘alaîhi al[1]salâm dan menenggelamkan Fir’aun serta pengikutnya. Maka Musa ‘alaîhi al-salâm pun berpuasa (pada hari ini), sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’âlâ. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa ‘alaîhi al-salâm daripada mereka (orang-orang Yahudi).’ Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pula.” (HR. al-Bukhari).

Walaupun dalam kesempatan yang lain Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam senang mengikuti amaliah ahli kitab yang sesuai dengan ajaran Islam (yang tidak ada perintah dan larangan di dalamnya). Hanya saja hal ini menurut para ulama dilakukan Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam sebelum hijrah ke Madinah. (lihat ‘Athiyah Shaqr, Fatâwâ al-Azhar, Bab ‘Āsyûrâ’, juz 9, hal 256). Sebagai bukti bahwa hal ini bukan mengikuti syariat kaum Yahudi adalah perintahnya melakukan puasa sebelum ‘Āsyûrâ’.

Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam bersabda:

حين صام النبي صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمرنا بصيامه قالوا يا رسول اللهِ إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى فقال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم فإذا كان العام المقبل صمنا يوم التاسع فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم

“Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam melaksanakan puasa ‘Āsyûrâ’ dan memerintah para sahabat untuk melaksanakannnya, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam, hari tersebut (‘Āsyûrâ’) adalah hari yang diagung-agungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.’ Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa sallam bersabda, ‘Insya Allah jika sampai tahun yang akan datang aku a k a n b e r p u a s a p a d a h a r i kesembilannya.’ Ibnu Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ berkata, ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggal sebelum sampai tahun berikutnya.” (HR. Muslim).

 Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah shallallâhu ‘alaîhi wa salam bersabda:

صوموا يوم ‏عاشوراء وخالفوا فيه اليهود: صوموا قبله يوماً، وبعده يوماً”

“Puasalah kalian pada hari ‘Āsyûrâ’ dan janganlah sama dengan puasanya orang Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Baîhaqî, al-Bazzâr).

 4. Menjauhi Perbuatan Maksiat

Keutamaan berikutnya adalah keagungan khusus bagi bulan M u h a r r a m d e n g a n diperintahkannya kaum muslimin menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat di bulan ini. Allah Subahânahû wa Ta’âlâ berfirman: َ

فلا تظلموا فيهن أنفسكم

“Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian (dalam bulan empat) itu.” (QS. al-Taûbah [9]: 36).

Jumhur Mufassirin menyatakan makna ayat tersebut adalah janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri pada empat bulan haram tersebut. Makna dari menzalimi diri sendiri di sini adalah melakukan kemaksiatan dan kemungkaran. Lalu bagaimana dengan bulan-bulan yang lainnya, apakah kemudian boleh melakukan kemaksiatan? Tentu saja tidak. Ayat tersebut tidak lain sebagai bentuk penekanan akan agungnya bulan Muharram dan tiga bulan yang lainnya. Dan siapa saja yang melakukan perbuatan maksiat pada bula n-bu la n i ni, do sa da n siksaannya akan lebih besar di sisi Allah Ta’âlâ.

Hal tersebut sebagaimana keharaman mengucapkan kata-kata kotor dan melakukan kemaksiatan pada bulan apapun. Namun, keharamannya akan semakin kuat saat seorang muslim berada di tanah haram, Makkah, dalam rangka menunaikan haji.

Allah Subahânahu wa Ta’âlâ berfirman;

الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال في الحج

“(Musim) haji itu dikerjakan pada bulan-bulan yang telah diketahui (yaitu bulan Syawwâl, Dzû al[1]Qa’dah, dan Dzû al-Hijjah). Barangsiapa melaksanakan ibadah haji pada bulan-bulan tersebut, maka janganlah dia berkata jorok, jangan pula melakukan kefasikan, dan jangan pula bertengkar dalam melaksanakan ibadah haji.” (QS. al[1]Baqarah [2]: 197).

5. Keutamaan Dalam Keutamaan

Menurut para ulama, seperti halnya bulan-bulan yang lain, bulan Muharram memiliki keutamaan dalam keutamaannya sendiri. Seperti h a l n y a b u l a n R a m a d h a n , keutamaannya terletak pada sepuluh hari terakhirnya. Bulan Dzû al[1]Hijjah, keutamaannya terletak pada sepuluh hari pertamanya. Dan untuk bulan Muharram, menurut Abu ‘Usman al-Nahdi, sebagaimana pendapatnya dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali dalam karyanya Lathâ’if al-Ma’ârif mengatakan:

كَانُوا يُعَظِّمُونَ ثَلاثَ عَشَرَاتٍ: الْعَشْرَ الأخير من رمضان والعشر الأُوَلَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ، وَالْعَشْرَ الأول من محرم وقد وقع هذا في بعض نسخ كتاب فضائل العشر _ لابن أبي الدنيا عن أبي عثمان عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه كان يعظم هذه العشرات الثلاث

“Mereka (kaum Muslimin) mengagungkan tiga macam sepuluh hari, yaitu sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama dari bulan Dzû al-Hijjah, dan sepuluh hari pertama dari bulan Muharram. Pendapat ini terdapat dalam sebagian naskah kitab Fadhâ’il al-‘Asyr karya Ibnu Abî al-Dunyâ dari Abû ‘Usmân dari Abû Dzar al-Ghiffârî radhiyallâhu ‘anhu dari Nabi shallalâhu ‘alaîhi wa s a l l a m, b a h w a s a n y a b e l i a u mengagungkan ketiga macam sepuluh hari tersebut.” (Lihat Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’arif, Bab Afdhalu al-Tathawwu’, juz 1, hal, 36).

Demikian uraian singkat mengenai keutamaan Muharram. Semua keutamaan dan amaliah yang diperintahkan Allah Ta’ala pada bulan ini, dan juga bulan -bulan yang lainnya adalah agar kita selalu bertakwa kepada Allah Ta’âlâ. Karena tidak ada lagi bekal yang baik untuk menghadap-Nya selain takwa. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

Similar Posts