Kepalsuan Hadis Larangan Membaca Al-Quran dengan Irama Selain Arab
Sejak penampilan tilawah ala Jawa di istana kepresidenan di akhir bulan Rajab (27 Rajab 1436 H.) lalu, sangat banyak broadcast di Whatapps dan BBM yang menyebutkan ketidaksepakatan beberapa dai dengan kenyataan tersebut.
Ketidaksukaan tersebut hal yang normal dan biasa, terutama kalangan santri dan orang Indonesia yang tidak berasal dari Jawa. Di kalangan santri di pesantren salafiah, pembacaan kitab kuning dengan irama jawa sudah sangat biasa. Namun, pembacaan Alquran dengan irama jawa hampir tidak pernah terdengar.
Ini dikarenakan pembacaan Al-Quran pun mempunyai geneologi keguruan yang tidak sedikit. Jangankan dengan irama lokal Jawa, bahkan dengan irama nagham yang berasal dari Timur Tengah pun diharamkan sebagian ulama. Di Kudus Jawa Tengah, banyak pesantren tahfizh Al-Quran yang mengharamkan irama apa pun dalam membaca Al-Qur’an.
Terlepas dari itu, Hadis apakah yang sering dibroadcast tersebut? Di salah satu kalimat yang lalu lalang di medsos adalah:
Bacalah alquran dengan lagu dan suara orang arab. Jauhilah lagu/irama ahlul kitab dan orang-orang-orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku orang membaca alquran deperti menyanyi dan melenguh. Tidak melampaui tenggorokan mereka. hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi).
Di dalam teks arabnya disebutkan fa-qad rawa al-tirmidzi anna rasulullah shallahu ‘alaihi wa-sallam (Sungguh Imam al-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Nabi Saw). Ungkapan ini merupakan kebohongan terhadap Nabi Saw dan al-Tirmidzi.
Dalam redaksi lain, ada yang mengirimkan dengan redaksi, hadis riwayat Malik dan Nasa’i. Ini pun kebohongan atas dua imam tersebut. Di dalam tradisi ahli hadis, perilaku menisbatkan suatu hadis kepada ulama yang tsiqah (kredibel) adalah salah satu pemalsuan terhadap terhadap Nabi Saw.
Pelakunya disebut sebagai kadzdzab (pembohong) dan wadhdha’ (pemalsu). Ini sebagaimana dapat ditemukan dari penjelasan Imam al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal ketika mengomentari para pemalsu hadis.
Apabila demikian, maka pelakunya termasuk ke dalam golongan orang yang terancam neraka, sebagaimana terdapat dalam hadis, “Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ini merupakan salah satu hadis yang mutawatir (diriwayatkan oleh banyak sahabat dan periwayat hadis, sehingga mustahil terjadi pemalsuan).
Selain itu, Imam Ahmad bin Hanbal juga mencela ahli fiqih yang menggunakan hadis dha’if sebagai dalil dalam pengharaman atau penghalalan sesuatu. Ia berkata: “Jika kami meriwayatkan dalam masalah halal dan haram, maka kami akan memperketat standar periwayatan”. Pemakaian hadis lemah merupakan salah satu aib di kalangan ahli hadis.
Teks Hadis
Adapun teks hadis yang dijadikan pegangan adalah:
اقْرَؤُوا القُرْآنَ بِلُحُونِ العَرَبِ وأصْواتِها وإيَّاكُمْ ولُحُونَ أهْلِ الكِتابَيْنِ وأهْلِ الفِسقِ فإنّهُ سَيَجِيءُ بَعْدِي قَوْمٌ يُرجِّعُونَ بالقُرْآنِ تَرْجِيعَ الغِناءِ والرَّهْبانِيَةِ والنَّوْحِ لا يُجاوِزُ حَناجِرَهُمْ مَفْتُونَةً قُلُوبُهُمْ وقُلوبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُم.
Sumber Hadis
Sumber hadis tersebut tidak akan pernah ditemui di dalam kitab Sunan al-Tirmidzi, Muwaththa’ Malik dan Sunan al-Nasa’i, kecuali jika terjadi kesalahan dalam penerbitan.
Mungkin beberapa pendakwah pernah ditanya mengenai sumber hadis ini, lalu supaya terkesan sebagai “ahli hadis” atau “orang alim” maka lidahnya langsung menjawab “ini hadis riwayat Tarmidzi”. Sikap tersebut, sejak zaman dahulu memang menjadi salah satu penyebab pemalsuan hadis di kalangan para pendakwah, karena ingin terlihat meyakinkan dan menarik.
Namun, jika ingin memaksakan maka memang benar bahwa ada seorang imam yang berasal dari kota yang sama, yang bernama al-Hakim al-Tirmidzi. Ia mengarang kitab tasawuf yang berjudul Nawadir al-Ushul dengan menggunakan periwayatan hadis-hadis tertentu, lalu langsung memberikan syarh.
Hadis di atas disebutkan oleh al-Hakim al-Tirmidzi sebagai nukilan, bukan periwayatan dengan menggunakan sanad, sebagaimana tradisi ahli hadis..
Lalu, dimanakah hadis ini dapat ditemukan?
Hadis ini dapat ditemukan dalam riwayat Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath(no. 7223) dan Imam al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 2649). Imam al-Thabrani meriwayatkan dari Muhammad bin Jaban dari Muhammad bin Mihran dari Baqiyyah bin al-Walid dari Hushain bin Muhammad al-Fazari dari Abu Muhammad (?) dari Hudzaifah.
Adapun Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Husain bin Fadhl dari Abdullah bin Ja’far dari Ya’qub bin Sufyan dari Baqiyyah bin al-Walid dengan jalur yang sama.
Permasalahan dalam periwayatan ini terdapat minimal pada dua rawi, pertama Baqiyyah bin al-Walid yang dikenal sebagai periwayat yang lemah. Ini ditambah dengan sikapnya yang suka memanipulasi sanad, sehingga disebut sebagai mudallis.
Hadis mudallis dicurigai ada keterputusan geneologi periwayatan hadis. Oleh karena itu, Imam Ibn ‘Adi memasukkan Baqiyyah bin al-Walid ke dalam daftar perawi yang lemah di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhu’afa. Begitu juga, Imam al-Dzahabi menilai Baqiyyah juga tidak dikuatkan oleh periwayatn lain, sehingga hadisnya tergolong munkar.
Kedua, rawi yang bernama Abu Muhammad. Ia tidak dikenal sama sekali di kalangan ahli hadis. Apabila seorang rawi tidak dikenal maka ulama hadis biasa menyebutnya denganmajhul. Oleh karena itu, Imam Ibn al-Jauzi menilai hadis ini sangat lemah di dalam kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah. Penjelasan ini diperkuat oleh Imam al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id. Barangkali kepalsuan riwayat ini bersumber dari Abu Muhammad si majhul.
Kesimpulan
Pertama, Pengharaman tilawah dengan hadis di atas tidaklah tepat, karena Imam al-Tirmidzi, Malik dan al-Nasa’i tidak pernah meriwayatkannya dalam kitab-kitab mereka. Hadis tersebut adalah riwayat al-Thabrani dan al-Baihaqi dengan sanad yang sangat lemah (dha’if jiddan).
Kedua, sebenarnya kemakruhan atau keharaman membaca dengan irama lokal sudah jelas bagi ahli fiqih dan tajwid Alquran meskipun tidak ada hadis di atas. Ini dikarenakan irama lokal sering mengakibatkan takalluf (pemaksaan) dan bahayanya lagi jika keluar dari kaidah tajwid. Minimal tilawah tersebut berhukum makruh karena takalluf , dan dapat menjadi haram jika melanggar kaidah tajwid.
Ketiga, pengharaman dan penghalalan sesuatu harus berdasarkan dalil yang sahih.