Kerukunan Beragama Perspektif Ali Mustafa Ya’qub
Majalahnabawi.com – Indonesia adalah negara yang multikultural di mana masyarakatnya terdiri dari berbagai suku. Tercatat suku yang ada di Indonesia itu mencapai kurang lebih 300 suku, di mana ia juga mempunyai enam besar agama yang dianut yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong-Huchu. Dari warga yang multi kultural tersebut juga terdapat bermacam-macam pikiran yang meliputi mereka, sehingga untuk menyatukan pikiran dari setiap orang yang berbeda latar belakang itu sangatlah sulit. Sebut saja, baru-baru ini Indonesia digegerkan dengan berbagai macam bencana yang melanda moral dan keamanan masyarakat. Yaitu di Lampung, suatu keributan yang didasari oleh kesalahpahaman, begitu juga kejadian kerusuhan di Madura yang faktor utamanya berbeda sekte antar umat muslim.
Selain kejadian yang melanda akibat beda paham antar warga yang beda dalam keyakinan dalam satu agama, kerusuhan juga terjadi akibat ketidakselarasannya hubungan antar umat beragama, di mana salah satu sampel dari kejadian yang diakibatkan oleh tidak rukunnya umat beragama adalah peristiwa Ambon, Maluku. Berbeda dengan peristiwa di Madura, kerusuhan ini diakibatkan ketidakselarasannya antara umat Islam dan umat Kristen.
Konsep Kerukunan
Dalam menanggapi peristiwa di atas seorang ulama dari Jawa, memberikan suatu konsep yang dapat meredam kerusuhan antar umat beragama tersebut. Ulama yang tinggalnya di daerah Pisangan Barat ini, mencoba mengkomparasikan antara teks yang berada dalam al-Quran dan Hadis dengan konteks yang terjadi di masa kekinian. Walaupun konsep yang ditawarkan ini kiranya sudah diungkapkan pada waktu yang lalu, yaitu pada tahun 2000 dan 2002, tapi konsep tersebut masih sesuai dengan apa yang terjadi di kehidupan masyarakat Indonesia ini. Seorang alim tersebut adalah Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub. Dia adalah pengasuh Institut Internasional Ilmu Hadis Indonesia-Malaysia. Konsep pertama yang ditawarkan oleh Pak Kiai Ali adalah teori yang ada adalam al-Quran yang terambil dari surat al-Hujarat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujarat:13)
Dalam ayat di atas terdapat dua teori dalam menghadapi menanggapi perbedaan antar manusia. Pertama, teori persamaan. Dalam teori ini manusia adalah satu yaitu makhluk Tuhan, tidak ada yang membedakannya mulai dari warna kulit, suku, dan bangsa. Tidak ada yang unggul di antara makhluk yang satu itu kecuali ketakwaannya. Yang kedua adalah teori eksistensi, di mana Allah sendiri yang mengakui bahwa manusia itu adalah makhluk yang terkumpul secara berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan bernegara. Walaupun Allah mengakui akan hal tersebut, tapi Allah tidak pilih kasih dan memandang sama kecuali suatu kaum yang rakyatnya itu semuanya takwa.
Konsep yang kedua yang ditawarkan oleh Pak Kiai Ali adalah teladan Rasul. Dalam hal ini, Pak Kiai Ali memaparkan beberapa tindakan Rasul terhadap orang non-muslim di antaranya yaitu dengan orang Nashrani, Rasul mempunyai hubugan yang erat dengan orang yang beragama ini, di antaranya ia mempunyai paman yang bernama Waraqah bin Naufal, yang menjadi penerang ketika Nabi mendapat wahyu yang pertama, di mana Waraqah itu adalah seorang pendeta Nashrani. Selain Waraqah bin Naufal, orang Muslim juga dekat seorang raja Nashrani yang bernama raja Najasyi di mana ia telah menolong kaum muslim selama hampir 10 tahun.
Selanjutnya, selain dekat dengan orang Nashrani Rasul juga tidak pilih kalau berinteraksi dengan orang lain seperti dengan orang Yahudi. Teladan Rasul yang dapat kita ambil dalam masalah kerukunan umat beragama adalah Rasul pernah menikahai Shofiah binti Huyay bin Akhtab, ia adalah orang Yahudi yang masuk Islam dan orang tuanya tidak masuk Islam seperti anaknya sampai ia wafat. Selain itu, Nabi pernah menyebut bahwa orang Yahudi yang paling baik adalah Mukhairiq.
Dalam menghadapi keberagaman, Nabi menerapkan konsep muakhah, yaitu mempersaudarakan antara warga suku satu dengan warga suku lainnya. Seperti pada saat kaum muhajirin tiba di Madinah, Nabi mempersaudarakan Abdur Rahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Kemudian konsep yang lainnya yaitu konsep munakahah, Nabi menikahi wanita dari suku non-Quraisy. Yaitu dengan menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab dan Juwairiyyah binti al-Harits al-Hilaliyyah dari Bani Mustaliq.
Konsep ketiga yang ditawarkan Pak Kiai Ali adalah konsep Jizyah dan Dhimmah, di mana dalam konsep ini beliau menerangkan bahwa jizyah dan dhimmah adalah solusi untuk mengurangi perpecahan antara kaum mayoritas dan kaum minoritas, di mana kaum mayoritas yaitu kaum muslim melindungi kaum minoritas yaitu non-muslim. Selain itu juga Pak Kiai Ali menerangkan bahwa konsep makanan dan wanita ahli kitab adalah salah satu bentuk apresiasi Islam dalam menjaga keutuhan tatanan masyarakat. Dalam konteks ini sesembelihan dan wanita ahli kitab itu halal bagi umat Islam.
Sikap Toleran
Perilaku Rasul yang telah disebutkan dan ayat al-Quran yang telah kami haturkan merupakan bentuk apresiasi Islam dalam menanggapi perbedaan antar umat beragama dimana dalam hal ini Islam sangat toleran terhadap penganut agama lain. Sikap toleran tersebut hanya tertuju pada hubungan muamalah antara umat Islam dan umat lainnya, tidak pada masalah hubungan ibadah dan akidah. Sedang dalam masalah ini, Pak Kiai Ali cenderung tetap memegang teguh pendirian bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Tidak ada rukhsah dalam maslah akidah dan ibadah, hal tersebut dibuktikan dengan tulisan beliau dalam buku “Toleransi Antar Umat Beragama”.
Dalam buku itu Imam Besar Istiqlal menjelaskan pendapat yang melarang dan pendapat yang membolehkan mengikuti peribadatan umat non-Islam dan mengucapkan selamat pada perayaan agama umat lain. Kemudian ia berpendapat bahwa toleransi antar umat beragama itu perlu akan tetapi toleransi dalam hubungan akidah dan ibadah itu haram, pluralisme agama itu suatu hal yang salah, akan tetapi agama yang benar adalah agama Islam. Karena, Nabi di utus untuk menyebarkan Islam kepada orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi dan lainnya. Mengikuti serta merayakan perayaan agama lain merupakan simbol kebatilan dan kekafiran maka hal tersebut merupakan ketidak-bolehan umat islam untuk melakukan hal tersebut, sedang umat agama lain jika melakukan hal tersebut, itu bukan merupakan perkara yang dapat membolehkan larangan tersebut.