Kesetaraan Gender dalam Islam: Antara Keadilan dan Batasan Syariat
Majalahnabawi.com – Kesetaraan gender sering didefinisikan sebagai suatu konsep atau perilaku yang memandang laki-laki dan perempuan sebagai sesama makhluk Tuhan dengan status yang sejajar. Tidak ada pandangan yang kontroversial mengenai kesetaraan gender dalam Islam. Karena, Islam menempatkan keduanya dengan posisi yang sejajar.
Isu kesetaraan gender sering kali muncul sebagai respons atas kompleksitas persoalan individu. Persoalan yang kemudian digeneralisasi menjadi bagian dari isu hak asasi manusia, seperti ketidaksetaraan, penindasan, dan diskriminasi. Dalam hal ini, agama, budaya masyarakat, dan memori sejarah kerap menjadi rujukan dalam menilai peran serta posisi laki-laki dan perempuan.
Nilai-nilai yang dibawa oleh Islam pun tidak lepas dari perdebatan: sebagian dianggap sebagai sumber masalah—seperti dalam kasus poligami—sementara sebagian lainnya dilihat sebagai solusi. Padahal, Islam hadir di tengah tatanan budaya yang telah memiliki pandangan tertentu terhadap perempuan. Kultur patriarki yang telah mengakar inilah yang sering kali melahirkan penafsiran-penafsiran bias gender. Sehingga pada akhirnya memperkuat diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Jadi apa nilai yang dibawa oleh Islam mengenai kesetaraan gender ini? Apakah memandang kemanusiaannya dari berbagi aspek? atau satu ruang laki-laki harus juga bisa dimasuki oleh perempuan? Sebelum dijawab, mungkin perlu mengingat kembali pengertian gender.
Definisi Gender
Konsep gender mengacu pada sifat, peran, tanggung jawab, fisik, hak serta perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagai hasil konstruksi sosial dan budaya, yang terbentuk dari lingkungan tempat manusia itu tumbuh dan berkembang. Dalam ajaran Islam, memang terdapat unsur-unsur yang dipengaruhi oleh tradisi. Namun demikian, dasar dari syariat Islam tetap berlandaskan pada prinsip kemaslahatan umat (maslahah ummah). Oleh karena itu, meskipun suatu ajaran memiliki akar dalam tradisi—yang sifatnya dinamis dan dapat berubah seiring waktu—selama nilai kemaslahatannya masih relevan dan dibutuhkan, maka ajaran tersebut tetap dipertahankan.
Di sisi lain, sebagian aktivis feminis, karena semangat perjuangannya yang begitu tinggi, terkadang menafsirkan teks-teks agama secara serampangan sesuai dengan kepentingan pribadi atau pandangan subjektif mereka. Padahal, sering kali konteks dari ayat atau hadis tersebut memiliki objek dan subjek yang berbeda. Dalam memperjuangkan kesetaraan, penting untuk tetap berpijak pada pemahaman yang utuh dan tidak gegabah. Tujuannya agar tidak terjebak dalam kesalahan berpikir yang justru dapat menjadi bahan cemoohan. Setiap rujukan harus diambil secara hati-hati dan sesuai dengan ruang lingkupnya, tanpa keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan oleh prinsip-prinsip keilmuan dan keagamaan.
Kesetaraan dalam Islam
Pandangan Islam mengenai kesetaraan menegaskan bahwa Islam tidak menilai individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Laki-laki dan perempuan dipandang sebagai makhluk yang setara dalam nilai kemanusiaan. Islam menetapkan sejumlah aturan yang bertujuan untuk melindungi perempuan dari hal-hal yang dapat mencemarkan kehormatan serta merendahkan martabatnya. Dalam Islam, konsep emansipasi wanita sebagaimana dikenal dalam wacana modern tidak secara eksplisit disebutkan. Sebab, Islam sejak awal telah menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang terhormat dan memberikan keduanya hak serta tanggung jawab sesuai fitrah dan perannya masing-masing.
Islam memandang umat manusia berdasarkan ketakwaannya. Sehingga barang siapa yang bertakwa, baik laki-laki maupun perempuan, maka dia berhak mendapat keuntungan atau pahala dari Allah. Sebagaiman yang telah ditegaskan oleh firman-Nya:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya :”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S an-Nahl [16]: 97).
Setiap laki-laki maupun perempuan yang mengerjakan amal saleh beserta keimanan atas keesaan Allah dan kebenaran risalah Rasulullah, akan memperoleh kehidupan baik di dunia dan balasan mulia di akhirat. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Islam memandang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal tanggung jawab keimanan dan perolehan pahala.
Kesimpulan
Perlu dicermati bahwa dalam Islam, terdapat perbedaan antara tanggung jawab dan ketentuan khusus yang dibebankan kepada laki-laki atau perempuan , sesuai peran dan kapasitas masing-masing. Kesetaraan dalam nilai kemanusiaan tidak serta-merta berarti bahwa semua hal harus disamakan tanpa mempertimbangkan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat. Penting untuk dipahami bahwa perbedaan ruang lingkup atau perlakuan tidak selalu menunjukkan ketidakadilan. Melainkan merupakan bagian dari hikmah pensyariatan (ḥikmat at-tasyri’). Yang tentunya mempertimbangkan aspek sosial, individual, dan dinamika kehidupan secara menyeluruh.
Contohnya dapat dilihat dalam sistem kekeluargaan yang memiliki kompleksitas tersendiri, di mana Islam telah menetapkan aturan-aturan yang spesifik. Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang menafsirkan ayat atau hadis secara serampangan. Maksudnya tanpa memiliki kompetensi keilmuan sebagaimana yang dimiliki oleh para mufasir atau mujtahid. Penafsiran yang keliru berisiko menyesatkan dan justru menjadi bahan ejekan. Dalam membahas isu kesetaraan, rujukan terhadap pandangan ulama klasik dan salaf al-ṣāliḥ sangat penting untuk menjaga kedalaman dan ketepatan pemahaman terhadap maksud syariat. Memaksakan penafsiran pribadi tanpa landasan ilmiah yang kuat berisiko mengaburkan ruh atau esensi dari hukum yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya (khiṭāb al-syāri’).