Keteguhan Ulama: antara Keilmuan, Ijtihad dan Prinsip
Dalam sejarah Islam, keteguhan ulama dalam memegang pendapat mereka telah menjadi cerminan dari keilmuan yang mendalam, proses ijtihad yang matang, serta prinsip yang kuat. Para ulama bukan hanya sekadar penghafal ilmu, tetapi juga pemikir yang berani mengambil sikap berdasarkan dalil dan kaidah yang mereka yakini benar. Sikap ini sering kali membuat mereka menghadapi tantangan besar, baik dari penguasa, masyarakat, maupun sesama ulama yang berbeda pandangan.
Seorang ulama yang kokoh dalam pendapatnya tidaklah bersikap keras kepala tanpa dasar. Keteguhan mereka lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an, Hadis, serta metode istinbath hukum. Kyai Ali Mustafa Yaqub merupakan salah satu ulama Indonesia yang sangat kokoh dalam berargumen. Seperti yang penulis katakan sebelumnya, keteguhan ini tentunya lahir dari keilmuan yang mendalam, proses ijtihad yang matang, serta prinsip yang kuat.
Fenomena Penentuan Arah Kiblat
Pada tahun 2010 yang lalu, Indonesia digemparkan oleh penentuan arah kiblat yang dianggap tidak presisi ke ka’bah yang berada di Makkah. Kalangan ulama Indonesia pada masa itu mengeluarkan dua fatwa hasil diskusi panjang mengenai penentuan arah kiblat orang Indonesia.
Dari beberapa diskusi tersebut, Kyai Ali Mustafa Yaqub terlihat sangat kokoh dalam berprinsip dan berpendapat. Dari awal diskusi sampai beberapa diskusi lanjutannya, Kyai Ali Mustafa Yaqub senantiasa berpendapat bahwa penentuan arah kiblat bagi orang yang tidak bisa melihat ka’bah secara langsung, dapat ditentukan melalu arahnya saja (Jihat al-Ka’bah), karena jika penentuan arah kiblat ditentukan melalui ka’bah itu sendiri (‘Ain al-Ka’bah) akan dinilai terlalu memberatkan umat, sehingga kalau arahnya tidak presisi, maka akan batal salatnya.
Kegigihan dan Keberanian dalam Menegakkan Kebenaran
Keberanian Kyai Ali Mustafa Yaqub dalam mengambil sikap ini, menuai banyak kritikan dan tantangan dari kalangan ulama yang berbeda pendapat dengan beliau. Dalam diskusi yang sangat alot ketika itu, Kyai Ali Mustafa Yaqub bersikeras untuk menyadarkan para cendekiawan muslim pada saat itu untuk kembali kepada teks Al-Qur’an dan Hadis dalam pengambilan keputusan tentang arah kiblat ini. Apalagi penentuan arah kiblat ini merupakan hal yang sangat krusial dalam keabsahan salat seseorang.
Kegigihan Kyai Ali Mustafa Yaqub dalam prinsipnya pada masa itu agaknya belum bisa dipahami oleh kalangan ulama di masa tersebut, sehingga beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya di Majelis Ulama Indonesia pada tahun itu.
Beliau juga kemudian mengkritisi Fatwa MUI mengenai penentuan arah kiblat ini dalam sebuah buku yang berjudul al-Qiblah ‘alaa Dlau’ al-Kitab wa al-Sunnah. Dalam kitab tersebut, beliau berusaha memaparkan dalil-dalil syar’i yang berkaitan tentang penentuan arah kiblat di Indonesia dan juga memberikan gambaran-gambaran yang kemudian mampu membuka cakrawala keilmuan kita terhadap pendapat-pendapat ulama yang lahir dari dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu A’lam.