Keutamaan Orang yang Berilmu; Kabar Bahagia atau justru Bumerang bagi Mereka
Majalahnabawi.com – Kalangan pelajar Islam pasti mengetahui bahwa dalam literatur Islam banyak bertebaran teks-teks yang menjelaskan perihal keutamaan orang yang berilmu. Entah itu dalam Al-Quran, Hadis Nabi Muhammad Saw yang beliau riwayatkan kepada para sahabat, atau kitab-kitab ulama salaf.
Pertama
Dalam Al-Quran surah Al-Mujadilah ayat 11.
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Kedua
Dalam Hadis Nabi Muhammad Saw yang sering kali kita jumpai pada halaman pertama kitab-kitab fikih seperti Fathul Qarib, Nihayah az-Zain dan kitab fikih lainnya.
قال حميد بن عبد الرحمن سمعت معاوية خطيبا يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Humaid bin Abdu al-Rahman berkata: Saya mendengar seorang khatib Mu’awiyah berkata: Saya mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda: Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan memberinya pemahaman tentang agama.
Ketiga
Dalam kitab-kitab ulama salaf semisal kitab Muraqil Ubudiyyah Syarah Bidayatul Hidayah karya ulama nusantara Syaikh Nawawi al- Bantani. Beliau bahkan berpendapat ahli ilmu yang fasik masih lebih utama daripada ahli ibadah.
وحكي ,أن بعض الناس اختلف في شرف العالم الفاسق وشرف الجاهل العابد، فخرج أحد منهم، وذهب إلى صومعة العابد الجاهل فقال: يا عبدي قبلت دعوت ك، وغفرت لك ذنبك، فاترك العبادة واسترح. فقال العابد: إلهي إني أرجو منك هذا، وإني أحمدك وأشكرك وأعبدك من زمان كذا، فصار مخطئاً وكافراً بجهلهه، ثم ذهب أحد منهم إلى العالم الفاسق، فإذا هو يشرب الخمر فقال: يا عبدي اتق مني وأنا ربك أستر ذنبك وأنت لا تستحي مني، فإني أريد أهلكك، فسل العالم الفاسق سيفه، وخرج من مكانه فقال: يا ملعون أنت لا تعلم ربك، فإني أعلمك ربك الآن ففر ذلك القائل، فعلم بذلك شرف العلم وأهله
“Diceritakan, bahwasanya sebagian orang berselisih pendapat di dalam masalah kemuliaan orang alim yang fasik dan kemuliaan orang bodoh yang ahli ibadah. Maka salah seorang dari yang berselisih itu pergi ke tempat ibadahnya seorang ahli ibadah yang jahil dan berkata:” Wahai hambaku, Aku telah mengabulkan doamu, dan Aku telah mengampuni dosamu, maka tinggalkanlah ibadah dan beristirahatlah.
Ahli ibadah yang jahil tadi menjawab: ”Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengharapkan dariMu hal ini (pembebasan dari ibadah). Dan aku telah memujiMu dan menyembahMu dan bersyukur kepadaMu dari zaman dulu. maka jadilah ahli ibadah itu jatuh dalam kesalahan dan kekafiran karna kebodohannya.
Kemudian, seorang yang lain dari mereka ke orang alim yang fasik, ternyata orang alim tadi sedang meminum minuman keras. Lalu orang tadi berkata: ”Wahai hambaku takutlah kamu dariKu, dan Aku adalah Tuhanmu, Aku tutupi dosa-dosamu dan kamu tidak merasa malu kepadaKu. Sesungguhnya Aku akan memusnahkanmu maka orang alim fasik tadi menghunuskan pedangnya dan keluar dari tempatnya dan berkata kepada orang yang mengaku sebagai Tuhan: ”Wahai orang yang dilaknat, engkau tidak mengenal Tuhanmu? sesungguhnya aku akan mengenalkanmu kepadaTuhanmu sekarang (kalam Tuhan tidak sama dengan makhlukNya) maka orang yang berpura pura menjadi Tuhan tadi lari terbirit-birit (karena mau dibacok), maka dari sini diketahui kemuliaan ahli ilmu dan ahli ibadah.”
Kesimpulan
Penjelasan keutamaan ahli ilmu di atas sekilas suatu kabar bahagia untuk lebih semangat lagi menuntut ilmu. Hal ini bertujuan agar bisa masuk kategori ahli ilmu hingga mereka mendapat berbagai keutamaan.
Namun terkadang mereka lupa di sisi lain orang yang berilmu mendapat tanggung jawab untuk mengamalkan ilmu yang telah mereka dapatkan. Sehingga banyak dari kalangan berilmu hanya semangat mencari ilmu sebanyak-banyaknya namun tak pernah mengamalkan ilmunya.
Padahal banyak ancaman, peringatan, bahkan sanksi bagi para pencari ilmu yang tidak mengamalkan ilmu yang telah mereka dapatkan.
Salah satu sanksi bagi pencari ilmu yang tidak mengamalkan ilmunya adalah mendapat siksaan yang berlipat daripada orang yang tidak berilmu. Ketika mereka melakukan kemaksiatan sebab mereka ingkar dengan sengaja. Sebagaimana dawuh Imam Ghazali berikut:
قال الإمام الغزالي رحِمَهُ اللهُ في «الإحياء» : وإِنَّما يُضَاعَفُ عَذابُ العالم في معصية ؛ لأنه عصى عن علم ، ولذلك قال اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ ﴾ [النساء : ١٤٥] ؛ لأنهم جحدوا بعد العلم . وجُعِلَ اليهود شراً من النصارى مع أنهم ما جعلوا لله سبحانه ولداً ولا قالوا : إنه ثالث ثلاثة، إلا أنهم أنكروا بعد المعرفة ، إذ قال الله : ﴿ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ) البقرة: ١٤٦]، وقال تعالى : ﴿ فَلَمَّا جَاءَهُم مَّا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ، فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الكفرين ﴾ [البقرة : ٨٩]
“Imam al-Ghazali rahimahullah berkata dalam “al-Ihya”: Siksaan orang yang berilmu akan berlipat ganda karena melakukan kemaksiatan. Mengapa? Sebab ia ingkar dengan sengaja, dan oleh karena itu Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di tingkat neraka yang paling rendah” [An-Nisa: 145] Karena mereka mengingkari ilmu. Dan orang-orang Yahudi lebih buruk daripada orang-orang Nasrani, padahal mereka tidak menjadikan anak laki-laki kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan mereka juga tidak mengatakan: Dia adalah anak ketiga dari tiga, namun mereka mengingkari ilmu. Sebagaimana firman Tuhan: “Mereka mengenal dia sebagaimana mereka mengenalnya.” Anak-anak mereka sendiri” (Al-Baqarah: 146). Dan Allah SWT berfirman: “Tetapi ketika datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka kafir. Maka laknat Allah atas orang-orang kafir (Al-Baqarah: 89).” (Manhaj as-Sawi Syarah Ushul Thariqah Ba’alawy)
Bahkan terlintas dalam hati hal buruk sedikit saja sudah termasuk maksiat dan maksiat tersebut berpengaruh terhadap semangat rutinitas ibadah. Sebagaimana yang pernah Syekh al-Junaid Rahimahullah alami seperti berikut:
ورأى الجُنَيدُ رَحِمَهُ اللهُ فقيراً يسأل الناس، فقال في نفسه : لو اشتغل هذا بالكسب لكان أحسن له، فلما قام إلى وِرْدِهِ مِنَ الليل لم يجد نشاطاً ولا حلاوة، وغلبته عيناه، فرأى الفقير قد جيء به ممدوداً على خوان، فقيل له : كل لحمه ، فإنك قد اغتبته . فقال : سبحان الله ! إنّما كانت خطرة، فقيل له مِثْلُكَ لا يُسمح له بمثل هذا
“Suatu hari Syekh al-Junaid rahimahullah melihat seorang lelaki miskin meminta minta kepada orang-orang. Spontan Syekh al-Junaid berkata dalam hatinya: ”Jika orang ini menyibukkan diri dengan mencari uang, maka akan lebih baik baginya”. Setelah itu ketika Syekh al-Junaid bangun untuk qiyamul lail. Ia merasa tidak semangat seperti biasanya dan ia sulit untuk bangun dari tidur. Kemudian Syekh al-Junaid bermimpi orang miskin yang meminta minta tadi berbaring di atas tenda. Dan dia berkata: “Makanlah dagingnya. Sungguh engkau telah menggibahinya. Syekh al-Junaid berkata “Maha Suci Tuhan! Namun gibah itu hanya terlintas dalam hatiku”. Maka dikatakan orang sepertimu (orang yang berilmu) tidak sepantasnya melakukan itu.” (Manhaj as-Sawi Syarah Ushul Thariqah Ba’alawy)
Memang benar banyak penjelasan terkait keutamaan ahli ilmu. Namun hal yang terpenting juga, ada tanggung jawab besar bagi ahli ilmu yakni mengamalkan ilmu yang telah mereka dapatkan. Dalam posisi ini, ada kalanya ilmu menjadi pedang bermata dua, memberi manfaat atau justru mendatangkan mudarat. Menjadi kabar bahagia atau justru bumerang bagi pemiliknya.