Kiat-kiat Nabi Mendidik Agama Ramah Anak (Bagian I)

 

Kehidupan manusia telah dimulai sejak Nabi Adam diciptakan dan akan terus berlanjut hingga waktu yang Allah tentukan. Zaman pun terus berubah seiring dengan bergulirnya waktu, tidak terkecuali kehidupan manusia di dalamnya. Apa yang dirasakan dalam dua dekade terakhir ini-dengan derasnya arus teknologi -tidak lain merupakan bagian perubahan zaman itu sendiri.

Derasnya arus teknologi telah mengubah wajah masyarakat yang tadinya kesulitan mendapat informasi menjadi begitu mudah mendapatkannya. Setiap hari dan setiap waktu mereka bisa mengakses dan mendapatkannya melalui surat kabar, radio, televisi, ponsel pintar, internet, dan media lainnya.

Mereka mewujud menjadi ‘masyarakat informasi’ yang tergantung pada teknologi. Perubahan zaman yang memang tidak bisa dihindari. Bahkan seluruh aspek kehidupan mereka bisa dikatakan lebih banyak bersentuhan dengan hal-hal yang berbau teknologi-instant, termasuk dalam hal beragama misalnya. Dan tidak hanya masyarakat dewasa, anak-anak kini juga dengan mudahnya menjelma menjadi ‘masyarakat dewasa’ yang aktif dengan teknologi dan kemajuannya.

Fenomena demikian jelas terlihat bagaimana anak seusia dini sudah mahir dan akrab dengan benda yang Sebuah refleksi “Hari Perlindungan Anak se-dunia 8 Nabawi Media Keilmuan dan Keislaman bernama televisi, gadget, dan permainan elektronik lainnya. Yang dulu mungkin hanya anak-anak yang beranjak dewasa saja yang mengenal benda-benda tersebut.

Memiliki anak dengan kualitas emas merupakan idaman dan harapan semua orang tua. Tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi manusia yang tidak bernilai dan lemah dikemudian hari.

Mereka menyadari bahwa investi dan karya termahal yang dimiliki orang tua adalah kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangga mereka. Karena kehadiran anak sebagai penerus dan penyambung generasi berikutnya, selain sejatinya bahwa anak juga akan dapat penjadi penolong bagi kehidupan orang tuanya ketika di akhirat nanti.

Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seseorang anak Adam telah meninggal dunia maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim).

Kehadiran anak yang saleh dan bermutu tinggi tidaklah sulit, namun juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tabiat seorang anak yang cenderung akan meniru apa-apa yang ada disekitarnyalah yang menjadikan orang tua berkewajiban untuk menciptakan lingkungan yang baik. Dan ini menjadi sebuah teori kausalitas dalam rumah tangga. Keluarga sebagai sebuah ‘sistem’ haruslah menjadi contoh utama penerapan nilai-nilai yang baik. Diantaranya pendidikan agama dan akhlak menjadi prioritas yang paling ditonjolkan dalam pola pendidikkan di rumah.

Islam telah memberi perhatian besar terhadap pendidikkan anak. Ketika para pendidik yang dalam hal ini utamanya adalah para orang tua mengetahui bagaimana posisi agama sebagai pelajaran utama pendidikkan anak, maka hendaklah para orang tua merasa memiliki peran yang paling besar dalam mengemban amanat dan tanggung jawabnya terhadap kesuksesan anak-anaknya.

Apakah anaknya menjadi baik atau menjadi anak yang durhaka, semuanya ini lebih ditentukan oleh peran orang tuanya sendiri. Tergantung bagaimana kertas putih yang diibaratkan adalah kefitrahan sang anak diwarnai dan dicoret oleh sang penulis yakni orang tuanya.

Sebagaimana Rasulullah Saw sebagai suri tauladan dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia di jagat ini, juga banyak memberikan contoh bagaimana kita sebagai orang tua dalam mendidik sang anak yang sejatinya adalah amanat yang akan dipertanggung-jawabkan kelak Teringat bagaimana Rasulullah Saw memanjangkan sujudnya ketika sedang salat bersama para sahabat, yang ketika itu membuat para sahabat bertanya, apa yang sedang dipanjatkan oleh baginda Rasul sehingga sujudnya lebih panjang dari biasanya. Pertanyaan ini pun segera dijelaskan selepas salat bahwa sujudnya yang lebih panjang itu dikarenakan keberadaan Hasan bin Ali yang sedang menaiki punggung beliau ketika sujud.

Oleh karena itu, beliau menunggunya hingga ia turun sendiri, karena bila beliau langsung bangkit sang cucu Hasan akan terjatuh dan menyakitinya. Satu kisah sederhana, namun marilah kita lihat betapa Rasulullah Saw begitu mencintai cucunya, menjaga agar tidak terluka dan menyakitinya.

Kisah tersebut bisa dibayangkan dengan kondisi anak-anak di zaman sekarang, justru para orang tualah yang seringkali mengantarkan anak-anaknya berada dalam kondisi kekerasan yang secara tidak langsung dapat menyakitinya baik jasmani atau jiwanya. Kondisi yang umumnya tidak layak dihadirkan untuk mereka yang masih perlu contoh yang dapat mereka tauladani, bukan kondisi yang penuh amarah dan kebencian.

Allah Swt menganugerahkan seorang anak dengan kefitrahan yang suci dan daya ingat yang lebih baik dibanding ketika ia mulai memasuki usia akil balig. Pada masa keemasan ini atau yang biasa disebut dengan golden age sekiranya menjadi moment yang sangat tepat dalam menanamkan pendidikan agama yang lemah lembut sebagai awal ia mulai mengenal ilmu pengetahuan hakiki. Contoh lain berupa aktifitas badaniyah sebagai role model dalam beragama juga bisa diterapkan dengan cara membiasakan anak untuk salat lima waktu.

Hendaknya kita para orangtua sabar dan tidak pernah bosan mengingatkan sang buah hati untuk mendirikan salat yang merupakan tiang agama. Bagaimana suatu bangunan akan kokoh bila tidak memiliki tiang yang kokoh pula. Begitu halnya dengan salat, bagaimana seorang anak diharapkan menjadi saleh bila tidak dikuatkan pondasinya sejak usia dini.

Pendidikkan salat ini bisa dimulai dari diri orang tua dengan mendirikan salat di awal waktu dan mengajaknya untuk salat berjamaah dengan mereka. Dengan kondisi yang sudah terbiasa demikian, diharapkan dalam benak si anak akan tertanam kebiasaan dan perhatian yang mendalam tentang kewajiban yang sangat mulia ini. Rasulullah Saw bersabda:

“Suruhlah anak kalian salat ketika berumur 7 tahun, dan bila sudah berusia 10 tahun meninggalkan salat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak llaki-lakinya dan anak perempuan).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Similar Posts