Kiat Mendapatkan Kelezatan Iman

Majalahnabawi.com – Sebagai umat Islam yang mendambakan kemuliaan dari Allah Swt, kita semua tentu mengharapkan kualitas kehambaan kepada Allah Swt yang semakin membaik setiap harinya. Harapan kita tidak lain adalah lahirnya keimanan yang kokoh dan ketakwaan yang kuat dalam hati, sehingga beribadah tak lagi dianggap sebagai tuntutan kewajiban, melainkan sebuah keasyikan dan candu yang bisa kita nikmati setiap saat.

Iman yang kuat dan ketakwaan yang kokoh tak ayal merupakan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah Swt berfirman dalam al-Quran surat Yunus ayat 63-64

الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ (٦٣) لَهُمُ الۡبُشۡرَىٰ فِي الۡحَيَوٰةِ الدُّنۡيَا وَفِي الۡأٓخِرَةِۚ لَا تَبۡدِيلَ لِكَلِمَٰتِ اللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِيمُ (٦٤)

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat di atas bahwa, berdasarkan riwayat yang disandarkan kepada Ubadah ibn Shamit radiyallahu anhu, bahwa yang dimaksud dengan berita bahagia di dunia adalah seseorang mendapatkan al-Ru’ya al-Sālihah (mimpi yang baik) yang mana hal tersebut merupakan sepertujuhpuluh dari kenabian dan yang dimaksud dengan berita bahagia yang didapat di akhirat adalah surga dari Allah Swt. (Ibnu Katsīr, 7/106-107)

Manisnya Iman

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Swt, yakni, salah satunya, dengan menjadikan upaya tersebut sebagai hal yang mengasyikkan. Upaya yang dengan kita melakukan hal demikian kita mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan. Mengenai hal ini, Rasulullah Saw menyebutkan beberapa hal-hal yang membuat kita menemukan kelezatan dalam beribadah dan meningkatkan keimanan kepada Allah Swt.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, sabdanya: “Ada tiga perkara, barangsiapa yang tiga perkara itu ada di dalam diri seorang, maka orang itu dapat merasakan manisnya keimanan yaitu: jikalau Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada yang selain keduanya, jikalau seorang itu mencintai orang lain dan tidak ada sebab kecintaannya itu melainkan karena Allah, dan jikalau seorang itu membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran itu, sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke dalam api neraka.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan oleh al-Nasai dalam Sunan-nya, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, al-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath, Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Ya’la dalam Musnad-nya, al-Bazzar dalam Musnad-nya, dan al-Baihaqi dalam Syu’b al-Iman.

Penjelasan Hadis

Mengomentari hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqolani dalam Fath al-Bārī Syarh Shahīh al-Bukhāri mengutip ungkapan Syekh Abu Muhammad bin Abu Hamzah yang menjelaskan bahwa perumpamaan nikmatnya iman sebagai hal yang manis tersebut karena iman ditamsilkan dengan sebuah pohon. Sebagaimana firman Allah Swt  {مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ} (perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik) Maka kalimat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah laku keikhlasan, pohon yang dimaksudkan adalah akar keimanan dan rantingnya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah perhatian seorang beriman kepada kebaikan, dan buahnya adalah ketaataan seorang kepada Rabb-nya. Dan kelezatan buah tersebut ada saat dipetik dari pohonnya dan puncaknya adalah saat seseorang mencecap kenikmatan manisnya buah yang telah matang tersebut. (Fath al-Bārī, 01/60)

Jika demikian, mari kita ulas satu per satu hal-hal yang di dalamnya kita menikmati keindahan iman yang berada dalam hati kita tersebut.

Full Mencintai Allah dan Rasul-Nya

Yang pertama, yang dengannya kita bisa menikmati lezatnya iman, adalah dengan mencintai Allah Swt dan Rasulullah Swt melebihi apapun dan siapapun di muka bumi ini. Penggunaan redaksi (mā) alih-alih (man) dalam hadis meliputi hal yang ‘āqil (berakal, berupa orang) atau ghairu ‘āqil (tidak berakal, baik itu benda, hewan dan lain sebagainya).

Dalam kitab Umdat al-Qārī Syarh Shahīh al-Bukhārī, Syekh Badruddin Ayni mengutip pendapat Qadhi Iyadh yang menjelaskan bahwa makna cinta kepada Allah Swt adalah dengan istiqomah taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena, pada dasarnya, pangkal cinta adalah kecenderungan mengikuti yang dicintainya. Saat seseorang mengaku mencintai Allah dan Rasulullah Saw, maka otomatis ia akan mengikuti segala hal yang diperintahkan keduanya dan menjauhkan segala yang dilarangnya.

Imam al-Nawawi menambahkan bahwa hadis ini merupakan salah satu dari asas keislaman (ashlun min Ushūl al-Islām). Hal ini tidak lain karena mencintai Allah Swt dan Rasulullah Saw merupakan merupakan pangkal iman, bahkan intinya. (Umdat al-Qari, 1/148-149)

Syekh Ahmad bin Muhammad al-Qasthalany, seraya mengutip ungkapan al-Baidhawi,  menegaskan bahwa pematrian keyakinan bahwa Allah dan Rasulullah ada dalam dadanya mengandaikan seseorang mampu memprioritaskan perintah dan larangan keduanya ketimbang hawa nafsu yang menggodanya. (Irsyād al-Sārī, 1/98)

Mencintai karena Allah

Yang Kedua, di antara yang membangkitkan kelezatan iman dalam hati kita, adalah mencintai sesuatu karena Allah Swt.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bā menjelaskan bahwa bagian kedua ini tidak terlepas dari bagian pertama, yakni mencintai Allah dan Rasulullah Saw melebihi semuanya. Menempatkan Allah dan Rasulullah Saw pada puncak hal yang dicintainya meniscayakan seseorang akan mencintai sesuatu karena-Nya, membenci sesuatu karena-Nya, menjadikan sesuatu sebagai teman atau musuh juga karena-Nya.

Dalam hatinya tidak tersedia ruang untuk hawa dan nafsunya. Segala yang dia lakukan dan katakan berdasarkan apa yang dicintai oleh Allah Swt, begitupun yang dia benci terkait erat yang dibenci oleh Allah Swt. Begitupun saat ia berinteraksi dengan sesama manusia, di mana kadar kecintaan dan kebenciannya disesuaikan dengan standar apakah Allah mencintai orang tersebut atau tidak.

Di antara doa yang dibacakan oleh Nabi Muhammmad Saw adalah,

.وَكَانَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُبَلِّغُنِيْ إِلَى حُبِّكَ

Ya Allah, saya memohon untuk dihadirkan cinta pada-Mu dan cita orang yang mencintai-Mu dan aku juga memohon agar diberikan kemampuan untuk mengerjakan amalan yang bisa mengantarkanku menuju ridha dan cinta-Mu.” (Fath al-Bārī, 1/56)

Untuk itu, maka tak heran jika kita melihat para sahabat yang awalnya tidak saling mengenal, bahkan awalnya bermusuhan, kemudian dikarenakan mereka masuk ke dalam agama Islam dan sama-sama menjadikan Allah Swt sebagai Zat yang dicintainya, maka mereka bersahabat dan menjalin kasih sayang dengan erat, sebagaimana yang terjadi pada sahabat dari kalangan Muhajirin dan kaum Anshar. Demikian sebaliknya, status Rasulullah Saw yang masih keponakan dengan Abu Lahab menjadikan keduanya bermusuhan karena dipisahkan oleh ihwa kecintaan mereka kepada Allah Swt.

Meneguhkan Keimanan

Yang ketiga, di antara hal-hal yang bisa membangkitkan kelezatan iman di dalam hati, adalah rasa takut kita untuk kembali kekufuran sebagaimana kita takut untuk dihempaskan ke dalam api neraka.

Murka dan bergidik untuk kembali kepada kekufuran, kembali kepada kesesatan, setelah Allah Swt selamatkan ia dengan menjadikannya orang beriman, adalah hal yang mampu membangkitkan keimanan seseorang dan merasakan kelezatannya. Kebenciannya untuk kembali ke kekufuran sangat besar sebagaimana ia enggan dan tidak sudi untuk dimasukkan ke dalam api neraka. Hal ini terjadi lantaran baginya sudah ditampakkan keindahan-keindahan Islam, terang benderang cahaya keimanan dan diselamatkannya dari kehinaan kebodohan dan kekufuran, demikian sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad al-Harary al-Syafi’ dalam al-Kawkab al-Wahhāj Syarh Shahīh Muslim (2/363)

Tak ada yang kita harapkan kecuali meningkatnya keimanan yang kita miliki, keimanan yang dengannya bisa semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Keimanan yang bisa kita nikmati manisnya karena kita memang benar-benar menjiwainya. Keimanan yang bisa mengantarkan kita menuju ridha Allah Swt.

Similar Posts