Kisah Abidah, dari Hamba Sahaya Menjadi Ulama
Manusia mencari harta dan kedudukan untuk menaikkan status sosial. Namun, sejatinya bukan materi yang akan menaikkan derajat seorang hamba. Tidaklah selain ilmu, terutama ilmu agama-lah yang bisa mengubah kedudukan orang menjadi mulia bagi manusia dan di hadapan Allah Swt. Allah menjanjikan dan menjaminnya dalam surah al-Mujadilah ayat 11:
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.”
Demikianlah, ilmu agama itu yang mengangkat derajat hidup Abidah al-Madaniyyah. Ia awalnya hanya seorang hamba sahaya/budak dari saudagar bernama Muhammad bin Yazid. namun kegigihannya mempelajari ilmu sangat kuat. Pada akhir hayatnya, ia terus dikenang sebagai ulama wanita dan ahli Hadis terkemuka.
Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dan Ibn Hibban dalam ats-Tsiqaat memasukkan Abidah sebagai satu dari tiga nama perawi Hadis wanita pada kurun abad 3 Hijriyah. Ia dikenal memiliki hafalan yang kuat dan kecerdasan di atas rata-rata.
Abidah kecil adalah budak di rumah Muhammad bin Yazid di Madinah. Namun statusnya sebagai hamba sahaya tak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Ia aktif belajar dari ulama Hadis Madinah. Setiap hari selepas menyelesaikan pekerjaan rumah, ia berangkat menuju majelis ilmu. Aktivitas itu terus ia lakukan hingga ia bisa menghafal hampir 10.000 Hadis yang memiliki sanad dari guru-gurunya di Madinah. Subhanallah.
Suatu ketika, Muhammad bin Yazid bertemu dengan ulama Hadis dari Andalusia bernama Habib Dahhun, saat menunaikan ibadah haji. Muhammad bin Yazid menceritakan tentang sosok Abidah yang sangat cerdas dan menguasai banyak jalur periwayatan Hadis. Habib Dahhun tertarik dengan sosok Abidah. Ia pun meminta agar Abidah mengikuti majelis ilmu yang digelar Habib Dahhun selama menunaikan ibadah haji.
Mengetahui bakat dan kecerdasan budaknya, Muhammad bin Yazid merasa sosok Habib Dahhun tepat menjadi guru Abidah. Ia pun memerdekakan Abidah. Setelah merdeka, Habib Dahhun lantas menikahi Abidah. Sepasang suami istri ahli Hadis ini pun kembali ke Andalusia, Spanyol, serta menjalani kehidupan di sana. Abidah meninggalkan tempat kelahirannya untuk mengembangkan ilmu bersama suaminya.
Berkat bimbingan sang suami, keilmuan Abidah di bidang Hadis kian diakui. Dr. Mohammad Akram Nadwi dalam bukunya Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam mengungkapkan ada hampir 8.000 Muslimah yang menjadi perawi Hadis. Ia menempatkan sosok Abidah sebagai wanita dari kalangan atba’ tabiin keempat yang paling banyak meriwayatkan Hadis setelah Rubiyya Muawidh, Ummu Darda’ dan ‘Amrah binti Abdurrahman.
Periwayatan Hadis dari Abidah diterima karena ia adalah sosok perawi yang tepercaya. Abidah tumbuh menjadi ulama yang saleh, alim, jujur, dan jauh dari dusta. Pada masanya, banyak sosok perempuan yang mengukir prestasi sebagai ulama Hadis. Mereka berasal dari latar belakang yang sangat beragam, termasuk Abidah yang awalnya adalah seorang budak.
Sosok seperti Abidah dan perawi Hadis wanita dari eranya, semisal Abdah bin Bishr, Ummu Umar ath-Thaqafiyyah, Khadijah Ummu Muhammad, Abdah binti Abdurrahman dan lainnya, membuktikan ilmu Islam bisa dipelajari siapa saja. Termasuk dari kalangan wanita. Tidak sedikit laki-laki yang berguru untuk mengambil Hadis dari para perawi Hadis Muslimah ini. Bahkan Imam asy-Syafi’i pun berguru Hadis kepada Sayyidah Nafisah binti al-Hasan.
Abidah kerap menjadi teladan bagi umat Islam agar memberikan porsi besar kepada wanita dalam hal pendidikan. Ilmu Hadis yang mensyaratkan sosok perawi secara ketat membuktikan, Abidah dan perawi Hadis Muslimah lainnya bisa menyamai laki-laki dalam hal ilmu.
Setelah hidup di Andalusia, tidak banyak catatan yang mengisahkan kehidupan Abidah ini hingga akhir. Dalam kitab-kitab biografi, tidak diketahui secara pasti, kapan Abidah wafat dan di mana tempat dia dimakamkan.
Dari uraian di atas, terbuka satu cakrawala baru bahwa dalam konteks khazanah keilmuan Islam, perempuan juga memainkan peran penting transmisi informasi ilmu pengetahuan agama, khususnya Hadis, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perempuan juga tidak hanya menjadi murid. Mereka juga menjadi guru dari para ulama laki-laki terkemuka. Terakhir, sebagai ulama para wanita ini juga dikenal sangat menjaga akhlak, syariah dan perilaku Islam yang ideal. (Nur Faricha/syq)