Konsep Cinta Menurut Dr. Ramadhan al-Buthi
Majalahnabawi.com – Dalam kitab al-Hubbu fi al-Qur’an sebelum masuk kepada pembahasan yang lebih spesifik mengenai cinta, Syekh al-Buthi mengawalinya dengan memberikan definisi bahwa, makna yang lebih pas untuk istilah cinta adalah:
التَعَلُّقُ بِالشَّيْءِ عَلَى الْوَجْهِ الْإِسْتِئْنَاسِ بِقُرْبِهِ وَ الْإِسْتِيْحَاشِ مِنْ بُعْدِهِ
“Ketika hati telah terikat dengan sesuatu, merasa senang ketika berada di dekatnya dan gelisah ketika menjauh darinya”.
Konsep cinta inilah yang biasa kita pahami sebagai manusia. Lantas mungkinkah konsep Allah ketika mencintai itu sama?
Perbedaan Konsep Allah Mencintai
Sebagai kaum penganut Asy’ariyyah yang telah mengetahui bahwa adanya ayat al-Quran yang telah menjadi kaidah untuk segala yang berkaitan dengan Tuhan. Kita tahu bahwa segala hal yang bersandar kepada sifat dan af’al Tuhan memiliki sifat ketidakserupaan dengan makhluk. Yaitu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Syura ayat 11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَمِيْعُ البَصِيْرُ
“Tidak ada yang serupa sesuatupun dengannya dan dialah yang maha mendengar lagi maha melihat”.
Maka konsep memahami cinta Tuhan pun otomatis harus kita pahami secara demikian.
Lantas, bagaimana corak Tuhan mencintai kepada sesuatu dengan maknanya yang lebih pas ketika disandarkan kepada zat Tuhan?
Syekh al-Buthi menjawab: Kami mendefinisikan cinta Allah kepada manusia atau sesuatu adalah dengan definisi khusus untuk Allah, sebagaimana kami mendefinisikan lafaz al-Yad, al-Ain, al-Istiwa, al-Majii, al-Faragh ketika dinisbatkan kepada Zat-Nya yang bersih dari makna keserupaan dengan makhluk.
Penjelasan Ulama
Para ulama salaf pun ketika menghadapi persoalan seperti itu menyatakan: sesungguhnya allah memiliki al-Yad dengan arti sebagaimana yang ia maksud, mempunyai ‘Ain sebagaimana yang dia maksud dan sebagainya.
Sehingga harus kita katakan bahwasanya cinta Allah kepada makhluk itu sebagaimana yang Dia maksud serta dengan makna yang layak dengan Zat-Nya. Sehingga kita tidak usah berusaha mentakwilkannya, dan jangan sampai melakukan pengkiyasan antara sisi-sisi ketuhanan dengan kemakhlukan dalam hal apapun.
Syekh al-Buthi pun menjelaskan bahwasanya dia tidak mendapatkan satupun ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa cinta Tuhan itu memiliki satu keserupaan dengan makhluk. Melainkan hal itu hanyalah sebagai bentuk pemuliaan Tuhan.
Berpindah kepada cintanya Tuhan kepada manusia secara khusus dalam al-Quran, terlepas dari keberadaan manusia yang memiliki perselisihan dan berbagai aliran,yang beragam, manusia itu sudah Tuhan muliakan, dan itulah yang menunjukkan atas wujud cintanya Tuhan secara kulli (global).
Sementara bila kita melihat juga bahwa Allah memberikan kekhususan cinta pada manusia, sebagaimana yang Allah telah banyak tegaskan dalam al-Quran bahwa
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة : 222)
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci.
Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين (سورة البقرة : 195)
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”.
Kesimpulan Syekh al-Buthi
Setelah melihat berbagai ayat yang menunjukan atas pentingnya amal yang merujuk kepada kecintaan Tuhan, dan menyambut perintah dan ketentuan Allah yang menjadi refleksi dari sentral cinta-Nya, maka Syekh Ramadhan al-Buthi menyimpulkan bahwa fenomena-fenomena cinta dengan adanya bentuk pemuliaan Tuhan adalah wujud keistimewaan yang Allah khususkan pada manusia.
Terlebih bahwasanya penyematan “Jubah Cinta” ini tidak hanya berlaku untuk hamba yang terpelihara dari dosa. Tetapi juga untuk para pendosa yang selalu berusaha menyusul kualitas diri dengan bertaubat dan kembali kepada Allah dengan ketulusan lagi rendahan hati.
Syekh al-Buthi juga kembali mengungkapkan keheranannya bahwasanya bila kita merujuk kepada ayat-ayat yang menjadi saksi atas cintanya Tuhan sebagaimana di atas, maka tidak lain bahwa ayat itu menjelaskan bahwa cinta itu maksudnya secara khusus untuk manusia. Akhirnya pula timbul adanya taklif yang juga menjadi standarisasi/penggantung keistimewaan hamba tersebut. Dan pengertian dari ayat-ayat itu juga akan memalingkan makna hakikat kepada makna ridha (kerelaan) atau yang kita namakan cinta itu adalah balasan dan pahala dari Tuhan. Sedangkan cinta bila merujuk kepada definisi awal itu berbeda dari ridha (senang dengan segala keputusan).
Cinta Allah kepada Hamba
Oleh karena itu, Allah memuji hamba yang shaleh dengan istilah cinta yang telah mereka artikan dan pahami. Hal itu adalah bahwa kedudukan pahala sama sekali tidak sama dengan cinta Tuhan. Sehingga bila ia telah mendapati rasa yakin akan cinta Tuhan, niscaya dia akan merasakan hilangnya segala rasa berat dan rasa sakit. Sebab wujud cintanya Tuhan untuknya, hatta tidak berharganya tidak berharganya kenikmatan surga ketika berhadapan dengan kecintaan Tuhan.
Untuk menegaskan bahwa cinta Tuhan berbeda dengan makna cinta manusia yang kita artikan sebagaimana pada paragraf awal. Maka Syekh al-Buthi mendefinisikan kalimatnya dengan metode mazhab salaf. Ketika menafsirkan kata ini, mereka menggabungkan antara makna hakikat dengan sifat tanzih (suci dari keserupaan dengan makhluk). Hal ini sering kita istilahkan dengan:
دُوْنَ تَشْبِيْهٍ ولَا تَجْسِيْدٍ ولاَ تَكْيِيْفٍ
Tidak menyerupai makhluk, tidak bersosok, dan tidak memiliki cara.
Hingga akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa cinta Allah itu tidak serupa dengan makhluk dengan segala konsepnya. Tetapi ada cinta Allah yang bersifat kasbi sehingga Tuhan menyediakan berbagai sarana untuk memperolehnya.