Konsep Qiwamah dalam Perspektif Mufasir Perempuan
Majalahnabawi.com – Konsep qiwamah atau dalam bahasa Indonesia diartikan dengan konsep kepemimpinan, adalah konsep yang kaitannya tidak hanya dengan laki-laki namun juga perempuan. Seperti kita ketahui bahwa kepemimpinan cenderung menjadi otoritas laki-laki sehingga perempuan dianggap tidak layak menjadi pemimpin karena berbagai kekurangan yang dimilikinya.
Bukan hanya itu, terdapat berbagai alasan yang juga dikukuhkan menggunakan nas-nas al-Quran. Dalam al-Quran, konsep qiwamah disebutkan pada tiga surah yaitu an-Nisa : 34, an-Nisa :135 dan al-Ma’idah ayat 8. Mufassir laki-laki maupun perempuan memiliki penafsiran yang beraneka ragam mengenai surah an-Nisa ayat 34. Di antaranya:
- at-Thabari
menafsirkan potongan ayat tersebut bahwa laki-laki adalah orang yang pantas memimpin istri-istrinya “al-rijal ahlu qiyamin ‘ala nisa’ihim“, baik dalam hal mendidik, mengarahkan untuk melaksanakan tanggung jawab agama maupun dirinya sebagai perempuan. Hal ini lantaran kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki atas istri-istrinya di antaranya melalui pembayaran maskawin dan mencukupkan kebutuhan hidup istrinya sehingga laki-laki pantas disebut sebagai pemimpin.[1]
2. al-Suyuthi
Dalam tafsirnya, ia berpendapat hal serupa sebagaimana at-Thabari. Ia berpendapat bahwa hak qiwamah diberikan kepada laki-laki karena kelebihan yang dianugerahkan Allah dalam banyak hal di samping memberikan nafkah kepada istri-istrinya yakni anugerah atas ilmu, akal, maupun kepemimpinan.[2]
3. Wahbah az-Zuhaili
Menambahkan alasan kepemimpinan laki-laki atas perempuan atas dua hal: Pertama, adanya unsur-unsur fisik (kamil al-khilqah), kekuatan indrawi (qawiy al-idrakl), kekuatan nalar (qawiy al-aql), dan emosi yang stabil (mu’tadil al-athifah). Kedua, adanya kewajiban berinfak kepada istri, salah satunya yaitu keharusan membayar mas kawin.
4. Izzat Darwazah
Di sisi lain, mufasir perempuan berpendapat sebaliknya. Izzat Darwazah berpendapat bahwa ayat tersebut meskipun menggunakan redaksi yang umum, namun berhubungan dengan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan di ranah domestik, yang dimaksud adalah ranah rumah tangga. Akan tetapi, dalam konteks publik, ayat ini tidak tepat jika digunakan. Meskipun ayat ini tidak menjelaskan kebebasan perempuan dalam ranah sosial politik, tidak berarti bahwa hak politik perempuan ditundukkan oleh otoritas laki-laki. Hal ini didasarkan bahwa al-Quran memberikan hak yang sama baik dalam keimanan, beramal, mencari ilmu, berdakwah, dan sebagainya.[3]
5. Zainab al-Ghazali
Zainab al-Ghazali menafsirkan ayat tersebut bahwa laki-laki menjadi pemimpin perempuan. Laki-laki memiliki hak kepemimpinan dalam keluarga dan hal tersebut tidak menafikan peran kepemimpinan perempuan di rumah dalam mengelola kemaslahatan rumah tangga.
Zainab memahami qiwamah dengan tanggung jawab (al-mas’uliyah). Artinya, laki-laki bertanggungjawab memberikan nafkah kepada istri dan anal-anaknya serta bertanggungjawab dalam bekerja sama dengan istri dalam urusan rumah tangga. Ini artinya, peran publik laki-laki tidak boleh mengabaikan kerja sama dalam urusan domestik (rumah tangga). Pandangan ini jelas berbeda dengan pandangan mufasir secara umum bahwa ada pemilahan yang tegas antara ranah publik dan ranah domestik. Namun menurut Zainab, laki-laki justru memiliki peran ganda. Selain berjuang di ranah publik untuk menghidupi keluarganya, ia juga memiliki tanggungjawab untuk membantu tugas rumah tangganya. [4]
6. Hibah Rouf
Sedangkan Hibbah Rouf memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, konsep qiwamah tidak hanya difokuskan pada surah an-Nisa ayat 34, melainkan juga harus dibandingkan dengan dua ayat lain yang juga menyebutkan akar kata yang sama yaitu surah an-Nisa ayat 135 dan al Ma’idah ayat 8. Menurut Hibah, qiwamah merupakan sifat orang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Konsep ini berkaitan dengan persaksian terhadap manusia dalam arti melaksanakan perintah agama sesuai dengan anjuran syariat.
Dalam konsep qiwamah terkandung dua makna penting yang pertama, laki-laki dengan kebebasannya berkewajiban menyediakan segala kebutuhan materi dan non materi sang istri, dengan memenuhi segala kesukaan istrinya dan menciptakan perasaan yang aman dan nyaman. Kedua, laki-laki melindungi keluarga dan mengelola keluarga dengan adil.
Zainab menambahkan dari perspektif ekonomi, bahwa laki-laki juga memikul tanggung jawab sebagai penyangga ekonomi keluarga. sementara mufasir lain memfokuskan pada alasan lantaran laki-laki diberikan keutamaan, padahal keutamaan yang dimaksud dalam potongan ayat “bima fadlallah ba’dlahum ala ba’dlin” mencakup laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan
Dari berbagai penafsiran yang telah disebutkan baik dari perspektif laki-laki maupun perempuan, dapat kita ketahui bahwasanya tidak semua mufasir laki-laki memiliki kesimpulan yang sama dalam penafsirannya dalam menafsirkan ayat al-Qur’an terkait gender. Selain itu, faktor bahasa dan budaya yang berbeda dipastikan akan melahirkan pembacaan yang berbeda dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Jadi, perbedaan penafsiran terjadi bukan karena perbedaan gender, melainkan berhubungan dengan problem metodologi dalam berinteraksi dengan nas al-Quran dan dari penafsiran yang telah disebutkan, dapat kita lihat bahwa penafsiran terhadap isu-isu perempuan dalam beberapa hal terlihat subyektif karena penafsiran mereka cenderung dengan apa yang dilakukan oleh para perempuan itu sendiri.[5]
[1] Abu ja’far al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Qur’an, Juz VIII, (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, 2000), h.290.
[2] Jalal al-Din al-Suyuthiy dan Jalal al-Din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalayn
[3] Izzat Darwazah, Al-Tafsir al-Hadits, Juz VIII, (Tunisia: Dar al-Gharb al-Islamy, 2008) h.104-105.
[4] Zaynab al-Ghazali, Nazarat fi Kitabillah, Jilid I (Kairo: Dar al-Syuruq, 1998), h.297.
[5] Ah. Fawaid, Pemikiran Mufasir Permempuan Tnetang Isu-Isu KARSA. Perempuan, STAIN Pamekasan 2015