Konsep Takdir dalam Islam: Keselarasan Antara Penerimaan dan Usaha
Majalahnabawi.com – Takdir atau qadar, adalah konsep fundamental dalam kepercayaan Islam, yang mewakili ketetapan Allah yang mengatur setiap aspek ciptaan, termasuk kehidupan manusia. Keyakinan terhadap takdir merupakan rukun iman yang keenam, yang mencakup keyakinan terhadap qada (ketetapan ilahi) dan qadar (takdir ilahi).
2 Jenis Takdir dalam Ajaran Islam
Jenis takdir yang pertama adalah qadar mubram, yaitu yang tidak dapat diubah. Ini mencakup aspek-aspek kehidupan seperti keadaan kelahiran seseorang dan waktu kematiannya. Unsur-unsur ini Allah tentukan dan tersimpan dalam Ummul Kitab atau Lauhul Mahfudz, seperti firman-Nya dalam Surat Ar-Ra’d, ayat 39:
يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ
“Allah menghapuskan apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan pada sisi-Nya-lah terdapat Kitab.”
Adapun jenis takdir yang kedua adalah qadar muallaq, yaitu takdir yang dapat dipengaruhi oleh tindakan dan upaya manusia. Sebagai contoh, meskipun kita tidak dapat memilih orang tua kita, kita dapat memilih nilai-nilai dan sikap yang kita adopsi dari mereka. Demikian pula, meskipun waktu pasti kematian kita tidak dapat kita ketahui, kita dapat memengaruhi kualitas dan sifat hidup kita melalui pilihan-pilihan kita.
Keseimbangan Antara Penerimaan dan Usaha
Islam menekankan keseimbangan antara menerima apa yang tidak dapat diubah dan berusaha mengubah apa yang dapat diubah. Kepuasan terhadap takdir yang tidak dapat diubah akan menumbuhkan kedamaian, sementara upaya proaktif dalam bidang-bidang yang dapat diubah akan memungkinkan pertumbuhan dan kepuasan pribadi. Al-Quran dan Hadis menyoroti pendekatan ganda ini:
Penerimaan: Memahami bahwa kejadian-kejadian tertentu berada di luar kendali kita mendorong kita untuk mempercayai kebijaksanaan Allah dan menemukan kedamaian dalam penghakiman-Nya. Hal ini tercermin dalam Surat Al-Baqarah, ayat 216:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَالَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui…”
Terkadang manusia merasa lebih hebat dari Allah sehingga menentang takdir Allah. Padahal apa yang ditakdirkan Allah adalah baik untuknya. Hamba yang baik adalah hamba yang berserah diri. Orang yang berserah diri pasti ridha dengan pilihan orang yang berserah diri, apalagi jika ia mengetahui kesempurnaan hikmah, rahmat, kasih sayang, kelembutan, dan keagungan pilihannya. Seorang hamba tidak mengetahui akhir dari segala urusan. Tuhannya lah yang lebih mengetahui apa yang bermanfaat baginya. Hamba itu jahil dan zalim, sedangkan Allah menghendaki kemaslahatan baginya dan menyediakan sebab-sebabnya. Di antara sebab-sebab yang paling jelas adalah apa yang tidak disukai oleh seorang hamba.
Pentingnya Usaha dan Doa
Usaha dan doa manusia sangatlah penting. Allah telah memberi kita kebebasan untuk membuat pilihan, dan pilihan-pilihan ini membentuk takdir kita berdasarkan ilmu-Nya. Surat Ar-Ra’d, ayat 11, menekankan hal ini,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Hal ini menunjukkan bahwa usaha manusia itu penting dan berpengaruh. Konsep takdir dalam Islam tidak mengingkari kebebasan memilih. Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, tetapi pilihan-pilihan ini berada dalam pengetahuan Allah. Dengan demikian, ada keseimbangan antara ketetapan Allah dan usaha manusia.
Sekali lagi. Takdir ada dua, ada takdir yang bisa kita ubah dan ada takdir yang tidak bisa kita ubah, kita tidak bisa memilih orang tua seperti apa yang akan kita lahirkan, tapi kita bisa memilih sikap seperti apa yang akan kita warisi dari mereka. Kita tidak bisa memilih kapan kita akan mati, tidak ada satu pun makhluk hidup di dunia ini yang tahu kapan kematiannya akan tiba, tapi kita bisa memilih kematian seperti apa yang akan kita alami? Apakah menjadi pejuang yang terhormat, atau menjadi pecundang.
Bersyukur dan Berjuang
Kita harus bersyukur dengan takdir yang tidak dapat kita ubah, dan kita harus berjuang untuk takdir yang dapat kita ubah. Setiap pilihan kita akan menentukan bagaimana kita di masa depan, akan menjadi takdir kita. Hidup adalah sebuah pilihan. Hidup adalah permadani yang ditenun dari benang-benang pilihan dan keadaan yang tak terhitung jumlahnya. Ada takdir yang berada di luar kendali kita, digerakkan oleh kekuatan yang lebih besar dari diri kita sendiri. Sangatlah penting untuk menemukan kedamaian dan kepuasan dengan takdir yang tidak dapat diubah ini, dengan menyadari bahwa ini adalah bagian dari rancangan besar kehidupan kita.
Hamba Allah tidak lebih dari seorang bayi di pangkuan ibunya, atau orang mati yang sedang dimandikan, atau bola di kaki seorang pemain sepak bola; memantul, menggelinding, ke tepi dan tengah, terus berubah tempat dan posisinya. Ia tidak memiliki kekuatan dan usaha. Sehingga ia lenyap dengan sendirinya dan masuk ke dalam tindakan Allah semata. Salah satu hikmah takdir yang perlu kita yakini bahwa, ketika kita sebagai manusia biasa merasa takut, khawatir akan sesuatu yang semu di masa depan seperti khawatir akan pekerjaan, jodoh, tempat tinggal, maka manusia yang lemah ini membutuhkan seseorang sebagai penjamin masa depannya. Di situlah takdir berfungsi, dengan meyakini bahwa semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, hati manusia akan tentram, ia akan lebih fokus dengan apa yang sedang dihadapinya. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah,
عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلّم فَقَالَ: “يَا غُلاَمُ إِنّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللهَ يَحفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَاَ سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَاَ اسْتَعَنتَ فَاسْتَعِن بِالهِ، وَاعْلَم أَنَّ الأُمَ لَوِ اجْتَمَعَت عَلَى أن يَنفَعُوكَ. بِشيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلا بِشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ لَك، ولَوِ اِجْتَمَعوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشيءٍ لَمْ يَضروكَ إلا بِشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفعَت الأَقْلامُ، وَجَفّتِ الصُّحُفُ”. رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ
Dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas radhiallah ‘anhuma, ia berkata, “Suatu hari aku mengendarai mobil: Suatu hari aku sedang berkendaraan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu: ‘Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu mintalah kepada Allah, apabila engkau meminta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika manusia bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat mencelakakanmu kecuali dengan apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” (HR. Tirmidzi)
Konsep takdir dalam Islam mendorong perilaku etis dan keterlibatan aktif dalam kehidupan. Konsep ini mengajarkan bahwa meskipun pengetahuan Tuhan mencakup semua peristiwa, manusia harus berjuang untuk kebaikan, keadilan, dan perbaikan dunia. Perspektif ini menentang sikap pasif dan mendorong pendekatan yang proaktif dan bertanggung jawab terhadap kehidupan.
Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia
Takdir dalam Islam tidak meniadakan kebebasan atau tanggung jawab moral manusia. Meskipun kemahatahuan Allah meliputi semua yang akan terjadi, manusia memiliki kehendak bebas untuk bertindak sesuai dengan niat mereka. Setiap individu bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Dalam Islam, niat memainkan peran penting dalam mengevaluasi tindakan manusia. Bukan hanya tindakan itu sendiri, tetapi niat di baliknya yang memiliki bobot yang signifikan di mata Allah. Seseorang dapat melakukan perbuatan yang tampaknya baik, tetapi jika niatnya tidak murni, perbuatan tersebut mungkin tidak mendapat pahala seperti yang diharapkan. Sebaliknya, perbuatan yang diniatkan dengan baik, meskipun tidak sesuai dengan tujuannya, dapat bernilai tinggi. Fokus pada niat ini menekankan pentingnya ketulusan dan pengambilan keputusan secara sadar dalam tindakan seseorang.
Konsep takdir dalam Islam tidak menghilangkan kebebasan atau tanggung jawab moral manusia. Sebaliknya, konsep ini menyajikan pandangan yang bernuansa di mana pengetahuan ilahi dan kehendak bebas manusia hidup berdampingan secara harmonis. Setiap individu bertanggung jawab atas tindakan mereka, dipandu oleh niat mereka, dan bertanggung jawab di hadapan Allah. Pemahaman ini menumbuhkan rasa tanggung jawab pribadi, perilaku etis, dan pengabdian yang tulus dalam kehidupan seorang Muslim.