Konsumtifisme Umrah

www.majalahnabawi.com – Medio April 2011 ini, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menengok putra semata wayang kami yang sejak tahun lalu belajar di Universitas Islam Madinah. Kesempatan ini sekaligus kami manfaatkan untuk mengamati perkembangan umrah. Dibandingkan dengan era 1970-an sampai 1980-an antusias umat untuk menjalankan umrah luar biasa. Dulu, kepadatan jama’ah di Masjidil Haram yang mirip musim haji hanya pada malam 27 Ramadhan. Kini, kepadatan semacam itu dapat dilihat setiap malam.

Simbol Gengsi Baru

Apakah yang mendorong mereka jorjoran menjalankan umrah? Ada beberapa alasan. Pertama, lamanya masa tunggu untuk beribadah haji, menjadi faktor yang menonjol terhadap fenomena umrah masa kini. Kedua, kekurangpuasan ketika menjalankan ibadah haji sehingga mereka mengulanginya dalam bentuk umrah. Ketiga, orang tua memberikan hadiah umrah bagi anak-anaknya yang berprestasi lulus ujian. Keempat, sebagai simbol gengsi baru, sebab dengan menjalankan umrah berarti di mata masyarakat, yang bersangkutan memiliki nilai plus. Bahkan konon paket pernikahan di sisi Ka’bah. Kelima, Makkah dengan fasilitasnya yang mutakhir tampaknya juga mempengaruhi umat untuk berumrah.

Tidak Dicontohkan Nabi saw.

Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Pada tahun itu pula Nabi saw., bermaksud untuk umrah, tetapi gagal karena Makkah masih dikuasai oleh kaum musyrikin. Sejak Makkah dibebaskan tahun 8 H sampai beliau wafat tahun 11 H, Nabi saw., punya kesempatan beribadah haji tiga kali, tetapi beliau melakukannya hanya sekali. Beliau juga punya kesempatan beribadah umrah ratusan bahkan ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunnah hanya dua kali dan tidak pernah dilakukan pada bulan Ramadan.

Sekiranya Nabi saw., tidak punya uang untuk berhaji tiap tahun dan berumrah tiap bulan, tentu para sahabat yang kaya akan membiayai Nabi saw., untuk itu. Tetapi Nabi saw., bukan tipologi orang yang suka minta bantuan. Setelah Nabi saw., tinggal di Madinah, banyak terjadi peperangan. Maka uang Nabi saw., dipakai untuk membiayai jihad fi sabilillah itu. Banyak para sahabat yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan, akibatnya banyak janda, orang miskin dan anak yatim. Nabi saw., mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang-orang tersebut. Di Madinah juga ada ratusan mahasiswa miskin yang belajar pada beliau. Nabi saw., mencontohkan dan memerintahkan umatnya untuk menyantuni mereka. Nabi saw., lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual apabila dua ibadah itu hukumnya sunnah.

Di negeri kita, potret kemiskinan ada di mana-mana. Dalam keadaan seperti itu, apakah Islam membenarkan umatnya jorjoran pergi umrah? Sekiranya berhaji dan berumrah ulang adalah sebuah kebaikan tentulah Nabi saw., telah melakukannya. Kini, permasalahannya kembali pada kita; apakah kita dalam beribadah mau mengikuti contoh dari Nabi saw, ataukah kita mengikuti selera alias hawa nafsu kita sendiri. Iblis sangat cerdik, maksiat dibungkusnya dengan ibadah.

Similar Posts