Kontroversi Kaidah Kullu Shahâbah ‘Udûl
www.majalahnabawi.com – Salah satu aspek penting dalam ilmu hadis adalah penelitian tentang kredibilitas para perawi. Pentingnya penelitian ini terletak pada fakta bahwa apa pun yang mereka sampaikan dalam riwayat hadis dianggap sebagai ajaran dari Nabi yang harus diikuti dan dihormati. Penelitian tentang keadaan perawi hadis, yang dikenal sebagai ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil, pada akhirnya akan membawa pada kesimpulan apakah seorang perawi pantas atau tidak untuk dianggap kredibel dan diakui sebagai orang yang dapat dipercaya dalam menyampaikan hadis.
Dalam penelitian ini, terdapat suatu prinsip menarik yang telah memicu diskusi panjang, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa setiap sahabat dianggap adil, dinyatakan dengan kaidah kull al-shahâbah ‘udûl. Dalam konteks ini, status “adil” bagi sahabat berarti bahwa tidak perlu melakukan penilaian terhadap kualitas mereka, karena secara otomatis riwayat mereka dianggap sah dan dapat diterima.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kaidah ini adalah sebuah dogma atau sebuah fakta sejarah?
Pengertian Sahabat
Dalam bahasa Arab kata الصحابة merupakan bentuk jamak dari kata صحاب yang berarti persahabatan atau pertemanan. Jumhur ulama sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hajr Al-Asqolani memberikan pengertian bahwa sahabat ialah:
مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مُؤْمِناً بِهِ وَمَاتَ عَلَى الإِسْلَامِ
Artinya: “Orang yang bertemu dengan Nabi, ia beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.”
Sa’id bin Musayyab seorang tabi’in sekaligus menantu Abu Hurairoh memberikan definisi lain terkait pengertian sahabat, ia mengatakan :
الصحابة لا نعدهم إلا من أقام مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سنة أو سنتين، وغزا معه غزوة أو غزوتين
Artinya: “Orang yang dianggap sebagai sahabat adalah orang yang bersama dengan Nabi Saw selama satu atau dua tahun dan juga ikut berperang bersama Nabi baik sekali maupun dua kali.”
Sa’id bin Musayyab memberikan persyaratan lebih, yaitu harus mengikuti kegiatan penting, paling tidak sekali, yang dilakukan bersama Nabi.
Dari sini kita bisa melihat, ada ulama yang mendefinisikan pengertian sahabat secara longgar dan ada yang mendefinisikan secara ketat.
Sahabat yang Meriwayatkan Hadis
Dalam kitab-kitab hadis populer (kutub al-Sittah), sekitar 986 sahabat dikutip sebagai perawi hadis. Enam di antaranya meriwayatkan hadis dalam jumlah besar, yang disebut al-mukatstsirun fi al-hadits: Abu Hurairah mempunyai 3370 hadis, Aisyah bint. Abu Bakr 1999, Ibn’Umar 1979, Anas bin Malik 1584, Ibn ’Abbs 1243 dan Jabir 960 hadis. Abu Bakar hanya meriwayatkan 65 hadis, ‘Umar bin Al-Khaththab 312, ‘Utsman bin ’Affan hanya 72 dan ‘Ali bin Abu Thalib 332 hadis.
Keadilan Sahabat Menurut Ulama Klasik
Jumhur Ulama klasik telah menyetujui bahwasannya semua sahabat itu Adil. Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri. Hal tersebut dibuktikan dengan argumen yang sangat kuat melalui berbagai dalil al-Quran maupun hadis yang menerangkan keadilan tersebut. Seperti dalam surah al-Imran: (110), al-Taubah: (100), al-Fath: (18), dan al-Baqarah: (143).
Hal ini telah disepakati oleh berbagai ulama Sunni seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, al-Khatib al-Bagdadi, Ibn Katsir dan as-Syuyuti, karena dalil-dalil baik aqli maupun naqli, sehingga menuai kesepakatan bahwasannya as-shahabat kulluhum udul, karena kemuliaan sahabat tersebut, bahkan menurut as-Syuyuti keadilan tersebut baik yang terlibat dalam peristiwa fitnah kubro maupun tidak. Keadilan tersebut tidak perlu diteliti karena status mereka sebagai pembawa syariat secara langsung dari Nabi. Jika seandainya saja ditolak maka syariat Islam akan berhenti pada zamannya Nabi Muhammad Saw.
Keadilan Sahabat Menurut Ulama Kontemporer
Upaya mempertahankan doktrin ‘adalah shahabah ternyata mendapat kritikan yang sangat tajam dari kalangan Ulama kontemporer dengan berbagai alasan yang dinilai logis. Di antara mereka yang berkomentar adalah Muhammad Abu Rayyah.
Beliau termasuk salah satu ulama kontemporer yang sangat gigih dalam membahas mengenai keadilan sahabat adalah Muhammad Abu Rayyah. Seperti pandangan beliau mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Menurut Abu Rayyah hadis tersebut menunjukkan bahwasannya suatu kebohongan terjadi di kalangan sahabat. Oleh karenanya, seluruh hadis harus diuji dan para sahabat pun tidak bisa terlepas dari pengujian tersebut karena pemalsuan pernah terjadi secara besar-besaran.
Muhammad Abu Rayyah mengatakan dalam kitabnya “Apabila jumhur menetapkan bahwa semua sahabat itu adil, tidak menerima jarh ataupun ta‘dil sebagaimana diterima oleh seluruh perawi, maka mereka telah menganggap para sahabat tersebut terjaga (ma‘shum) dari kesalahan dan lupa.”
Muhammad Abu Rayyah menyalahkan prinsip yang dipengang oleh ulama pada umumnya yang menyatakan bahwasannya setiap perawi harus dikritik kredibilitasnya pada setiap tingkatan, akan tetapi berhenti ketika sampai pada tingkat sahabat. Argumen yang dijadikan Abu Rayyah patokan adalah:
- Hadis tersebut memperlihatkan bahwasanya ada ketidakpercayaan Nabi Muhammad Saw., kepada sahabat. Oleh karenanya hadis tersebut sebagai peringatan sahabat karena pada saat itu ada sahabat yang melakukan dusta.
- Konflik antara para sahabat, misalnya saja: Ketika Aisyah mendengar bahwa Ibn Umar menyampaikan hadis mengenai orang yang meninggal akan terkena azab jika keluarga mayit menangisi. Lalu Aisyah memberikan komentar bahwa hadis tersebut bertentangan dengan dalil Alquran.
Solusi dari perbedaan pendapat
Jika kita menerima pendapat yang mengatakan bahwa seluruh sahabat Nabi itu adil, maka kita akan menemui kesulitan, sebab di antara mereka ada yang melakukan pelanggaran seperti mabuk-mabukan, mencuri, bahkan berzina. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pengertian adil yang didefiniskan ulama sebagai salah satu syarat diterimanya periwayatan seseorang.
Namun bagaimanapun mereka berbuat kesalahan, mereka tidak berani berbohong atas nama Rasulullah Saw. Oleh karena itu, statemen ulama mengenai keadilan seluruh sahabat dengan ”kullu al-shahabah udul” sebaiknya disempurnakan menjadi “kullu alshahabah udul fi al-riwayah”
Wallahu A’lam