Kontroversi Salat Rebo Wekasan

Apa itu Rebo Wekasan ?

Dalam tradisi bangsa Indonesia, kita mengenal istilah rebo wekasan. Rebo wekasan ialah istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut rebo pamungkas di bulan Safar. Bulan Safar adalah bulan kedua dalam kalender hijriyah setelah bulan Muharram. Menurut Ahmad Nurozi rebo wekasan merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat karena faktor akulturasi masyarakat Jawa dan Islam secara intensif (detikcom).

Dalam kitab Jawahir al-Kamsah milik Syekh Athar beliau mengutip pendapat Syekh Kamil Fariduddin bahwa pada bulan Safar Allah swt. Menurunkan 320.000 macam penyakit di setiap tahunnya.  Penyakit itu diturunkan tepat di hari rabu pamungkas bulan Safar (Jawahir al-Khamsah hal. 34). Pendapat ini selaras dengan penjelasan Syekh Hamid dalam buah karyanya Kanzun Najah wa al-Surur.

Rebo Wekasan Rabu Terakhir di Bulan Safar

Dalam tradisi nusantara, tidak ada keterangan yang menjelaskan sejarah rebo wekasan. Namun, tradisi rebo wekasan berkaitan erat dengan masa penyebaran Islam di Indonesia (detiknews). Masyarakat Jawa meyakini bahwa hari rabu terakhir di bulan Safar adalah hari naas. Kepercayaan ini berasal dari kepercayaan lama kaum Yahudi. Tidak hanya itu, peringatan rebo wekasan muncul dari sejarah masyarakat Arab jahiliyah. Mereka menganggap bulan Safar ialah bulan yang penuh dengan kesialan (kumparan.com). Dari kepercayaan itulah kemudian muncul kepercayaan dan tradisi rebo wekasan hingga generasi saat ini.

Tidak hanya kepercayaan itu, sebagian masyarakat nusantara melarang mengkonsumsi segala hal yang baru alam hasilkan pada hari tersebut. Mereka percaya bahwa segala macam penyakit tengah menempel pada daun-daun dan segala yang ada di alam. Bahkan sebagian masyarakat percaya bahwa pada hari rabu terakhir Nabi Muhammad jatuh sakit dan berlangsung selama dua belas hari hingga Rasulullah wafat (detikjateng).

Tradisi Rebo Wekasan

Dari keyakinan masyarakat terhadap bulan Safar sebagai bulan yang penuh kesialan, maka masyarakat akan melakukan berbagai macam ritual pada bulan tersebut. Ritual yang mereka lakukan tergantung pada daerah masing-masing. Tradisi ini berlangsung secara turun-temurun hampir pada seluruh kalangan masyarakat nusantara. Setiap daerah memiliki tradisi khusus untuk menyambut hari tersebut. Umumnya, tradisi masyarakat Jawa dalam memperingati rebo wekasan meliputi: kirab lemper, puasa sunnah, istighasah bersama dan masih banyak lagi. Dengan melakukan ritual-ritual tersebut, masyarakat berharap agar terhindar dari berbagai macam penyakit yang diturunkan saat itu.

Hukum Salat Rebo Wekasan

Dalam kitab-kitab fikih tidak ditemukan penjelasan lanjut mengenai salat rebo wekasan. Tidak ada bab khusus yang membahas salat tersebut. Ulama masih berselisih pendapat mengenai hukum melakukan salat rebo pamungkas. Keyakinan dan anjuran salat rebo wekasan berlandaskan pada keterangan ulama tasawuf. Konon ulama tasawuf melihat turunnya ribuan bala (musibah) pada hari tersebut. Dari hal itu banyak yang mengikuti dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran (NUonlineJatim).

Jika kita niati salat rebo wekasan secara khusus, seperti “aku berniat salat rebo wekasan” maka seluruh ulama sepakat tidak memperbolehkan. Bertolak pada suatu kaidah fikih yang Syaikh Sulaiman al-Bujairami sampaikan :

وَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ أَنَّهَا إذَا لَمْ تُطْلَبْ لَمْ تَصِح

Hukum asal dari segala sesuatu apabila tidak dianjurkan maka tidak sah”.

Kaidah ini cukup untuk kita jadikan suatu landasan argumentasi. Membaca dari kaidah tersebut, sudah jelas bahwa hal yang tidak mempunyai landasan hukum maka tidak boleh kita kerjakan.

Bolehkah Berniat Salat Sunnah Mutlak dalam Salat Rebo Wekasan ?

Bagaimana jika berniat salat rebo wekasan sebagai salat sunnah mutlak? Pada titik ini ulama berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan juga ada yang mengharamkan.Dalam hasil keputusan bahtsul masail PWNU Jatim 1980, KH. Hasyim Asy’ari tidak memperbolehkan mengerjakan salat rebo wekasan baik berniat salat sunnah mutlak atau tidak. Alasannya, salat rebo wekasan ialah salat ghairu masyru’ah dan tidak ada dalil yang secara tegas menjelaskan anjuran tersebut.

Berbeda dengan Syaikh Hasyim, Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki memperbolehkan hal tersebut. Beliau merupakan ulama tasawuf. Begitu juga Syekh Ibn Kathiruddin al-Athar beliau berpendapat sama dengan Syekh Hamid. Solusi kebolehan mengerjakan salat rebo wekasan ialah dengan berniat salat sunnah mutlak. Seperti dalam kitabnya beliau berpendapat:

قلت ومثله صلاة صفر فمن أراد الصلاة فى وقت هذه الأوقات فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له . انتهى

Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah salat Safar (Rebo wekasan), maka barang siapa menghendaki salat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati salat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Salat sunah mutlak adalah salat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya.” (Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki, Kanz al-Najah wa al-Surur, hal. 22).

Tata Cara Salat Rebo Wekasan

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis menyertakan tatacara pelaksanaan salat rebo wekasan, sebagai berikut: a) salat sunnah mutlak empat rakaat, b) setelah membaca surah al-Fatihah di setiap rakaatnya, kemudian lanjut dengan membaca surah al-Kautsar sebanyak tujuh belas kali, al-Ikhlas lima kali dan al-Mu’awadzatayni masing-masing satu kali; c) setelah selesai, lalu berdoa:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ اِكْفِنِيْ مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اللهم بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ اِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلىَّ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Similar Posts