Korupsi dan Nepotisme Ditinjau dari Dua Kacamata; Tadarus Pemikiran Kiai Ali Mustafa
Majalahnabawi.com – Korupsi merupakan sesuatu hal yang terlarang dalam agama maupun dalam sistem pemerintahan, sebagaimana yang termaktub jelas dalam buku karangan Kiai Ali Mustafa Yaqub yang berjudul Setan Berkalung Surban menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan yang berkaitan dengan hak manusia, maka taubat dari korupsi tidak akan Allah Swt terima dengan dasar karena korupsi ini salah satu perbuatan yang di situ berhubungan dengan manusia itu sendiri, maka butuh permintaan rida kepada pihak di mana kita melakukan korupsi, apakah itu negara, lembaga, maupun perorangan.
Korupsi dalam Kacamata Hukum Positif
Di dalam sistem kenegaraan Indonesia, perilaku korupsi juga diatur dalam 13 Pasal yang mana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang mana di situ jelas secara eksplisit bahwa hukuman bagi tindak pidana korupsi itu bisa terjerat hukuman penjara seumur hidup atau penjara paling sedikit empat tahun dan paling lama dua puluh tahun sesuai Pasal 2 Butir 1 pada UU nomor 31 Tahun 1999. Dari hal ini, dari sudut pandang manapun tidak ada alasan pembenaran adanya tindak pidana korupsi ini karena memang adanya perilaku korupsi ini.
Yang menarik dalam buku karangan Kiai Ali Mustafa Yaqub dengan sub tema “Seandainya Saya Koruptor” di situ dijelaskan bahwa seandainya jika seseorang melakukan korupsi maka ia akan mengembalikan hasil korupsi yang ia lakukan tadi kepada pihak di mana ia melakukan korupsi, meskipun dengan melakukan hal yang demikian sama saja tidak bisa menyelematkan ia dari hukuman di akhirat. Di sini kita bisa lihat bagaimana Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam menggiring opini masyarakat bahwa penggunaan kata seandainya itu sekaan-akan beliau berada di posisi tersebut dan mencari bagaimana cara kita untuk selamat dari kesalahan melakukan tindakan korupsi ini. Bahkan beliau juga memberikan penjelasan bahwa hukuman di dunia mungkin kita masih bisa menikmati rujak cingur, lontong balap, dan es cendol, namun kalau seandainya jika perbuatan korupsi ini langsung menjerumuskan ke neraka dengan siksa panas seratus kali lipat daripada panas yang ada di bumi ini. Di sinilah penekanan Kiai Ali dalam menyikapi dan menggambarkan sistem negara kita yang kian kemari adanya korupsi merupakan hal yang wajar dan lumrah di kalangan pejabat negara kita.
Jika korupsi ini semakin dibiarkan, maka kesejahteraan juga tidak akan pernah menemukan titik terang, karena banyak dana-dana yang sebenarnya untuk kepentingan rakyat yaitu untuk menuntaskan kemiskinan namun karena kepentingan pribadi dan keserakahan dari beberapa pihak yang menjadikan kemiskinan sangat merajalela di negara Indonesia.
Jika kita mengaca pada sejarah Islam bahwa pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahwa pada saat itu benar-benar rakyat merasakan yang namanya kehidupan yang serba kecukupan karena adanya sistem zakat yang benar-benar di jalankan dan dari pemerintahan juga tegas dalam hal ini dan pastinya dari pejabat-pejabat negaranya pun tidak melakukan korup sehingga dana-dana pendistribusian yang memang hak rakyat bisa tepat sasaran bagi rakyat-rakyat yang membutuhkan.
Prediksi Nabi kepada Umatnya
Dalam konteks korupsi ini juga berhubungan dengan orang-orang yang berada dalam sistem itu yaitu para pejabat pemerintahan yang mana Nabi Muhammad Saw menyinggung tentang adanya perebutan jabatan dan sistem meminta jabatan tanpa pemilihan langsung oleh rakyat maupun perwakilan dari rakyat yang mana sistem ini dinamakan sistem nepotisme. Di dalam buku Kiai Ali Mustafa Yaqub juga menyinggung hal ini, bahkan Kiai Ali juga menyinggung bahwa jika seseorang berkeinginan menjadi anggota DPR-RI harus mengeluarkan dana sebesar lebih dari Rp. 1 miliar, dengan adanya peristiwa ini bahwa prediksi Nabi tentang adanya jual beli jabatan itu terjadi.
Pada hadis riwayat Abdurrahman bin Samurah:
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Riwayat dari Abdurrahman bin Samurah yang mengatakan, Nabi ﷺ berkata kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR. al-Bukhari)
Haram Nepotisme
Dari hadis tersebut jelaslah larangan tentang jual beli jabatan, dari sudut pandang agama itu haram dan dari sudut pandang hukum juga haram. Dari sudut pandang hukum juga termaktub secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang mana di situ membahas tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang terlarang dalam praktik sistem negara yang demokratis.
Dari pembahasan yang ada bisa kita tarik kesimpulan bahwa adanya korupsi maupun nepotisme tidak dibenarkan dari sudut pandang agama maupun dari hukum yang ada di Indonesia. Namun yang masih menjadi pertanyaan sampai kapan negara kita dipimpin oleh orang-orang yang masih melakukan praktik korupsi maupun nepotisme?. Masih banyak dan sudah menjadi hal yang umum di kalangan masyarakat bahwa negara kita masih banyak dipimpin oleh para wakil-wakil yang korup. Semoga negara kita semakin kedepan dipimpin oleh pejabat-pejabat yang benar-benar bekerja untuk rakyat agar kesejahteraan di Indonesia bukanlah angan belaka.