Kriteria Pemimpin dalam Islam; Yang Disepakati dan Yang Diperselisihkan
Majalahnabawi.com – Sebelumnya telah dibahas mengenai keharusan mengangkat seorang pemimpin bagi masing-masing kelompok masyarakat. Keharusan ini telah ditetapkan syariat dan dinilai sangat tepat oleh akal sehat. Selanjutnya, demi melengkapi bahasan kepemimpinan ini, Islam menentukan kriteria pemimpin yang layak dan ideal. Penentuan ini dibutuhkan agar dalam memilih pemimpin tidak sembarangan, serta misi Islam melalui keberadaan ulil amr (pemangku urusan) dapat terwujud dengan baik dan tepat.
Imam al-Mawardi di dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah memaparkan kriteria tersebut, yaitu:
Pertama, berkomitmen untuk bersikap adil. Adil di sini bisa memiliki arti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Bisa juga bermakna konsisten berada di jalan yang benar. Maksudnya adalah menjauhi hal-hal yang dapat mengarah kefasikan. Hal semacam ini mesti ditanamkan di dalam diri seorang pemimpin agar putusan-putusan yang diambil tidak sampai menyebabkan kezaliman. Karena jika telah berbuat zalim, sejatinya sudah tidak layak lagi menjadi seorang pemimpin karena sudah tidak memenuhi syarat pertama sekaligus utama ini.
Sikap adil ini penting demi menjaga keseimbangan tatanan masyarakat. Tidak memihak pada mayoritas dan golongannya sendiri, sehingga dalam membuat kebijakan pertimbangan utamanya adalah kemaslahatan bersama. Begitu juga ketika hendak meregulasi suatu aturan, seorang pemimpin harus melihat konsekuensi dan kemungkinan-kemungkinan yang berpotensi timbul. Keberpihakannya diorientasikan pada kesejahteraan masyarakat.
Kedua, berwawasan luas sehingga mudah menyelesaikan persoalan-persoalan negara dengan taktis dan tepat. Perkembangan zaman dari masa ke masa menjadikan persoalan negara juga ikut menjadi dampaknya. Tak jarang persoalan yang ada berbeda dengan persoalan sebelum-sebelumnya. Oleh karenanya seorang pemimpin dituntut untuk cerdas dan cakap dalam menemukan solusinya. Dengan begitu, kehidupan masyarakat senantiasa sejahtera dan makmur. Bahkan besar kemungkinan nasib mereka akan lebih baik dari sebelumnya. Karena memang tugas seorang pemimpin harus memiliki misi dan inovasi demi memajukan negaranya.
Makanya seperti seorang filsuf muslim terkemuka, al-Farabi mengatakan bahwa seorang pemimpin itu harus seorang filsuf. Karena seorang filsuf pasti memiliki gagasan dan rasio yang melampaui dari orang banyak, ide-idenya selalu cemerlang, serta keputusan yang diambil cenderung arif dan bijaksana.
Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menganjurkan untuk menjadi pemimpin itu seorang ahli hukum (faqih). Sebab seorang faqih akan mampu merealisasikan ajaran-ajaran agama, serta berijtihad dalam menyelesaikan problematika keagamaan yang dihadapi, terutama problematika yang belum ada padanannya pada masa sebelumnya.
Sehat Panca Indra
Ketiga, mempunyai panca indra yang sehat dan normal. Panca indra yang dimaksud adalah pendengaran, penglihatan, dan perkataan. Sebagai seorang pemimpin yang akan mendengarkan keluh kesah masyarakatnya, memperhatikan perkembangan negara yang berada di bawah kekuasaannya, serta mengambil keputusan-keputusan taktis dan jitu memerlukan syarat ketiga ini. Jika salah satu saja bermasalah, maka akan menciderai roda kekuasannya.
Keempat, memiliki anggota tubuh yang lengkap. Bisa dibilang syarat ini berhubungan erat dengan poin sebelumnya. Seorang pemimpin merupakan simbol negara, maka agar negara tersebut tampak kuat dan kokoh maka simbolnya harus sempurna. Ini akan dilihat dari fisik simbolnya terlebih dahulu. Fisik seringkali menjadi indikator pertama dalam menilai sesuatu atau seseorang, termasuk pemimpin. Dengan mempunyai fisik yang lengkap, maka diharapkan seorang pemimpin bisa cepat tanggap dan gesit dalam membangun negaranya.
Namun Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah-nya menegaskan bahwa syarat keempat ini bukan lantas seorang pemimpin tidak memiliki cacat sama sekali. Selama cacatnya masih bisa ditolerir seperti buta sebelah matanya, tangannya sisa satu, telinganya hanya satu yang berfungsi, maka status kepemimpinanannya tidak menjadi gugur. Berbeda dengan buta kedua matanya, bisu, tidak memiliki tangan atau kaki, dan sebagainya. Cacat semacam ini tidak bisa ditolerir sehingga tidak bisa menjadi seorang pemimpin.
Kelima, mempunyai gagasan visioner dan kecakapan mengelola negara. Agar seorang pemimpin tidak sekedar menahkodai negara yang dimandatkannya, maka seyogianya sudah berimajinasi untuk mengembangkan dan memajukan negaranya. Begitu juga tidak sebatas meneruskan estafet kepemimpinan sebelumnya, namun juga memiliki visi – misi agar lebih baik dari pemimpin sebelumnya. Yang pasti, orientasi utama seorang pemimpin adalah berpihak pada seluruh masyarakatnya sehingga mampu menciptakan kesejahteraan.
Selain itu, seorang pemimpin juga dituntut agar mempunyai kecakapan dan kapasitas dalam mengurus negaranya. Sebab mempunyai ide saja tidak cukup. Mengurus negara berkaitan dengan eksekusi dan melaksanakan agenda-agenda cemerlang yang dapat membawa kebaikan terhadap masyarakatnya. Bahkan lebih maju dari sebelumnya.
Keenam, memiliki keberanian dan ketegasan dalam menjaga eksistensi negara dari ancaman musuh. Sudah menjadi hukum alam bahwa di dunia ini ada manusia baik dan jahat. Maka sudah sepatutnya untuk memproteksi diri dari hal-hal yang membahayakan seperti serangan musuh. Oleh karena itu biasanya setiap negara memiliki pertahanan berupa angkatan bersenjata. Kepala negara selaku pemimpin bertugas untuk tegas dan sigap dalam melawan musuh dengan memfungsikan angkatan bersenjata tersebut.
Bernasab Quraisy
Ketujuh, bernasab suku Quraisy. Ini berdasarkan sabda kanjeng Nabi Muhammad sebagaimana disampaikan Abu Bakar saat tragedi Saqifah:
الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
“pemimpin itu berasal dari suku Quraisy”
Hadis ini disampaikan guna sebagai bantahan atas pernyataan kaum Anshar yang juga menginginkan seorang pemimpin dari kalangannya. Mendengar hadis tersebut kaum Anshar tak bisa menolak dan akhirnya membiarkan Abu Bakar menjadi khalifah pertama.
Rasyid Ridla di dalam al-Khilafah mengatakan bahwa kriteria enam pertama di atas merupakan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh seluruh ulama. Ini wajar mengingat keenam kriteria tersebut berhubungan langsung dengan kepemimpinan. Berbeda dengan kriteria trakhir yang jika dicermati lebih jauh tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kepemimpinan. Karena memimpin membutuhkan skil dan pemikiran yang canggih maka ini berkaitan dengan personal masing-masing. Ini belum tentu ditemukan di dalam diri orang-orang bersuku Quraisy.
Kendati demikian, bukan tanpa alasan baginda Nabi bersabda seperti itu. Ada hikmah di balik sabda beliau itu. Sebagaimana diuraikan oleh para ahli Kalam dan Fikih bahwa suku Quraisy merupakan suku yang suku paling maju dari pada suku yang lain di Arab. Serta secara geografis, suku ini bertempat tinggal di daerah paling tengah di Arab. Faktor inilah yang mendasari mengapa orang Quraisy pantas menjadi pemimpin.
Apalagi ditambah faktor lain berupa sosok kepribadian baginda Nabi Muhammad didominasi oleh tradisi Quraisy, seperti bahasa, tradisi, beberapa ketentuan seperti jenis takaran dan sanksi. Ini semua semakin menguatkan posisi orang Quraisy sebagai suku yang paling sah melanjutkan estafet kepemimpinan baginda Nabi dalam mengurus umat Islam. Mereka dinilai sebagai golongan yang paling mengerti dalam memahami dan menafsiri prilaku dan sabda baginda Nabi.
Ibn Khaldun pun juga mengomentari terkait kriteria ketujuh ini, dia mengatakan bahwa penyebutan suku Quraisy sebagai salah satu kriteria pemimpin berfungsi untuk menghilangkan pertikaian dan perselisihan sesama muslim. Sebab suku ini merupakan suku terbesar di Arab, sehingga akan mampu mewujudkan hal tersebut, serta dapat meminimalisir fanatisme golongan pada kelompok-kelompok primordial di Arab.
Itulah kriteria pemimpin dalam Islam, baik yang disepekati maupun yang masih diperselisihkan. Pemimpin di sini tidak mesti sebagai kepala negara, tapi bisa dalam skala yang lebih kecil seperti berdasarkan suku atau daerah. Penyebutan ‘negara’ di atas hanya sebatas contoh untuk memudahkan dalam menguraikan pembahasan. Dengan demikian, kriteria tersebut juga dapat diterapkan ke dalam segala varian jenis pemimpin. Sebab syariat tidak pernah membatasi aturannya terhadap suatu generasi dan masa tertentu.