Larangan Tasyabbuh dalam Perspektif Hadis
Majalahnabawi.com – Meniru budaya atau tradisi milik bangsa lain merupakan buah dari adanya interaksi sosial antara dua entitas atau kultur yang berbeda. Sehingga terbukanya peluang adanya keterpengaruhan suatu kelompok atas tradisi kelompok yang lain. Dalam ranah kajian Islam, konsep seperti ini maklum dengan tasyabbuh. Islam melarang tasyabbuh. Sebagaimana yang terdapat dalam banyak hadis, bahwa Rasulullah Saw. melarang tasyabbuh tersebut khususnya terhadap kebiasaan atau tradisi dari kaum Yahudi dan Nasrani.
Mengenal Tasyabbuh dalam Islam
Secara etimologi, kata tasyabbuh berasal dari Bahasa Arab dengan akar kata شبه yang berarti penyerupaan terhadap sesuatu. Menurut Ibnu Manzur, kata tasyabbuh bermakna suatu objek yang menyerupai sesuatu yang lain. Adapun secara terminologi, tasyabbuh menurut Imam Muhammad al-Ghazi al-Syafi’i adalah sebuah usaha seseorang untuk meniru sosok yang dikaguminya, baik itu dari tingkah lakunya, penampilannya, atau bahkan sifat-sifatnya. Usaha tersebut merupakan sebuah praktek yang benar-benar sengaja untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Larangan mengenai tidak bolehnya mengikuti trend atau tradisi barat oleh kaum muslimin adalah berdasarkan hadis-hadis Rasulullah Saw. yang secara jelas menyinggung perkara tersebut. Namun demikian, tidak seluruh hadis secara terang-terangan menggunakan term tasyabbuh sebagai kata kunci. Setidaknya ada tujuh bentuk lain yang memiliki konotasi makna yang sesuai atau mirip dengan tasyabbuh itu sendiri. Kata-kata tersebut adalah al-Tamatsul (penyerupaan), al-Muhakah (yang serupa), al-Masyakilah (satu bentuk), al-Itba` (mengikuti), al-Muwafaqah (pengikutan), al-Ta`sii (mirip), al-Taqlid (mengikuti jejak seseorang).
Klasifikasi Tasyabbuh, Praktek serta Hukumnya
Adapun bunyi hadis mengenai larangan tasyabbuh adalah “Barang siapa menyerupai dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka”. (HR. Abu Dawud no.3512). Tasyabbuh atau meniru sebuah tradisi orang-orang nonmuslim jika merujuk pada hadis di atas, maka dengan tegas Rasulullah Saw. melarang hal tersebut. Namun demikian, apakah seluruh tasyabbuh itu kemudian menjadi hal yang terlarang secara mutlak? Mengenai hal ini sejatinya tasyabbuh terbagi dalam dua kategori, tasyabbuh yang dapat diterima dan tasyabbuh yang terlarang. Larangan tasyabbuh oleh Rasulullah Saw. berdasarkan dari berbagai pertimbangan tekstual dan kontekstual yang ada.
Ibnu Taimiyah membagi praktek tasyabbuh yang bertentangan dengan syariat Islam dalam dua bentuk:
1. Tasyabbuh atas tradisi-tradisi kaum nonmuslim yang secara sadar bahwa pelaksanaannya tersebut secara khusus oleh mereka. Contohnya adalah tradisi berbagi hiasan telur di hari Paskah yang memang menjadi bagian tradisi dari agama Nasrani. Atau tradisi menyediakan sesaji atau sesajen di depan patung-patung atau tempat-tempat yang bernilai keramat dengan tujuan sebagai persembahan bagi sosok yang dipercaya sebagai penunggu atau penguasa tempat-tempat tersebut.
2. Tasyabbuh yang pelakunya pada dasarnya tidak mengetahui apa hakikat atau makna di balik tradisi-tradisi tersebut.
Mengenai hal ini, praktek semacam ini menjadi dua jenis:
a. Tradisi yang pada dasarnya memang berasal dari tradisi keagamaan agama lain yang dikerjakan dalam keadaan yang sama atau ada sedikit modifikasi atau perubahan baik dari segi waktu, tempat maupun teknis pelaksanaan. Sebagai contoh adalah perayaan Natal oleh sebagian masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam. Ikut merayakan hari Natal oleh masyarakat muslim di negeri ini pada umumnya karena ikut-ikutan atau ketidaktahuan mereka akan apa hakikat dari hari raya Natal sebenarnya.
b. Tradisi yang bukan berasal dari tradisi keagamaan agama lain, namun secara kebetulan pemeluk agama nonIslam juga melakukannya. Untuk jenis seperti ini bukanlah bagian dari tasyabbuh. Adapun hukum melakukannya tergantung apakah bersinggungan dengan syariat atau tidak. Contoh dari bentuk ini biasanya menyangkut pakaian, makanan dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan kebiasaan sehari-hari yang umum terjadi di masyarakat.
Menurut Nashir bin Abd al-Karim al-‘Aql, tidak semua hukum praktek tasyabbuh terlarang secara mutlak. Menurutnya, mubah hukumnya meniru dalam hal-hal umum yang bernilai positif. Dia juga menghukumi mubah pada praktek tasyabbuh dari orang-orang nonmuslim jika terkait dengan masalah keduniawian dan bukan ciri khusus dari orang-orang tersebut. Selain itu, praktek tersebut tidak memberikan nilai mudarat terhadap umat muslim, apa pun bentuknya. Dalam konteks ini, jika peniruan tersebut tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan syariat Islam, baik Al-Qur’an maupun Hadis, maka hukum peniruan tersebut adalah mubah. Sebagai contoh adalah penggunaan hal-hal keduniawian seperti alat-alat teknologi terkini (telepon genggam, televisi, laptop dan lain sebagainya).