Lawami’ Ustaz Muhammad Hidayatulloh
Majalah Nabawi – Muhammad Hidayatulloh adalah dosen Fakultas Dirasat Islamiyyah di UIN Jakarta. Sebelumnya beliau mondok di salah satu tempat pendidikan bernuansa pesantren. Di tengah masa belajarnya beliau merasa tidak ada gunanya sama sekali, berbeda dengan teman-teman lainnya yang dikenali dan dekat dengan kiai karena prestasi-prestasi yang mereka miliki. Hingga pada masa kegalauannya atas prestasi orang lain, saat kelas lima muallimin -setingkat kelas dua Aliyah- beliau memenangkan juara satu lomba pidato tingkat Jawa Timur. Saat itulah kiainya mencari-cari siapa anak yang bernama Muhammad Hidayatulloh ini. Akhirnya beliau berhasil mendapatkan perhatian dari kiai.
Pada tahun sesudahnya, yaitu kelas tiga Aliyah beliau kembali memperlihatkan prestasinya. Beliau mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional (UN) saat itu. “Nah jadi selama mondok saya punya capaian besar dua prestasi ini: yaitu menang juara satu pidato bahasa Arab dan nilai tertinggi UN”. Begitu cakap beliau saat mengisi kelas manhaj naqd di kampus kami FDI.
Setelah beliau lulus dari pesantren beliau tidak ingin keharuman namanya memudar begitu saja. “Kalian tuh jangan mentang-mentang udah lulus terus nama kalian terlupakan gitu, jangan.. tapi teruslah berprestasi biar tetap eksis”. Kata beliau yang kemudian disambut gelak tawa kami.
Hidayatulloh Menjawab Ar-Risalah Minal Qahirah
Beliau adalah seorang yang cerdas nan alim yang terbalut dengan kelucuan dan kehumorisan. Pembawaanya membuat kami tidak mengantuk saat menyimak ceritanya. Pada suatu kesempatan ketika mengajar di kelas, beliau teringat ada yang namanya “ar-risalah minal qahirah” surat dari Kairo. Surat tersebut datang dari kakak kelasnya yang kuliah di Al-Azhar. Ketika beliau membuka, isi suratnya adalah sajak-sajak yang difotokopi sesuai dengan jumlah santri yang ada, agar setiap masing-masing santri dapat memilikinya. Tak ingin kalah dari kakak kelasnya, beliau pun kemudian membuat surat yang akan beliau kirim ke pesantrennya. “Kalau gitu saya buat surat juga deh. Saya taruh surat itu di sebelah kanan saya. Dan saya berfikir bagaimana agar surat yang saya buat ini bisa mengalahkan surat kakak kelas saya. Saya berfikir keras agar setiap alenia dari sajak saya bisa menandingi keindahan sajak surat yang dibuat kakak kelas saya” .Ujar beliau yang lagi-lagi disambut gelak tawa kami.
Tak lama kemudian selesailah surat itu dan beliau kirim ke pesantrennya. Bak air bersambut gayung, harapan beliau tercapai lagi. Surat itu sampai terdengar dan dibaca oleh Pak Kiai. Pak Kiai pun mengakui keindahan isi surat itu. Bahkan saking kerennya sehingga beliau memerintahkan para santri mengkaji surat tersebut.
Syair Hiddayatulloh untuk Pak Kiai
Setelah beberapa tahun beliau di Kairo, berita meninggalnya pimpinan ponpes sampai ke telinga beliau. Beliau berniat ingin membuat syair sebanyak 100 bait. Lagi lagi dengan ghirah yang sama; beliau tak ingin namanya padam di pondok pesantren tersebut. Akhirnya beliau kumpulkan niat dan mulai mengarang syair. Saking asyiknya bergelut dengan syair, beliau hampir-hampir lupa dengan istrinya. “Bapak nih nulis muluuu, sampe lupa sama istri” . “Loh iya ya.. saya juga merasa saya nih ada istri, punya istri, kok lupa ya, itu karena saking asyiknya nulis syiir tuh. Akhirnya jadilah sejumlah 33 bait dan saya berikan kepada pondok pesantren. Pada saat itu bertepatan dengan haulnya Pak Kiai. Akhirnya syair yang saya buat dijadikan bacaan (ditampilkan) pada malam haul Pak Kiai. Dan pada saat itu nama saya kembali melambung tinggi”.
Dari cerita ini memberikan contoh kepada kita bahwa beliau menandingi kakak kelasnya bukan dengan menjatuhkan, melainkan dengan karya. Sebagaimana dawuh KH. Ali Mustafa Yaqub “ ولا تموتن إلا وانتم كاتبون”
“Janganlah kalian mati sebelum berkarya!”
Begitualah Lawami’ Ustaz Muhammad Hidayatulloh. Kilauan, gemilau, atau cahaya yang penulis maknai sebagai prestasi. Sehingga erat kaitannya dengan prestasi-prestasi beliau yang menyilaukan siapa saja yang melihat atau terkena cahayanya.