Manusia dalam Tilikan Al-Quran
majalahnabawi.com – Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt yang paling banyak mendapatkan porsi untuk dibahas di dalam al-Quran. Hal ini tidak mengherankan karena al-Quran memang diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Quran berbicara tentang manusia mulai dari asal muasal penciptaan hingga bagaimana tempat terakhirnya. Di samping itu, melalui kitab suci al-Quran, Allah Swt tentunya telah memberikan arahan dan panduan agar manusia lulus dari segala bentuk cobaan dan hiruk pikuk problem kehidupan sehingga selamat hingga akhirat kelak.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana al-Quran menerangkan tentang apa itu manusia dan bagaimana seharusnya ia menjalani kehidupan. Begitu banyak ayat al-Quran yang berbicara perihal manusia, namun penulis tidak akan membahas semuanya, hanya beberapa hal penting saja yang harus kita ketahui bersama.
Makna Manusia dari Segi Bahasa
Kita akan memulai dari apa dan bagaimana pengertian “manusia” itu sendiri. Pakar ilmu bahasa Arab, Ibnu Faris dalam kamus Maqayis al-Lughah menerangkan kata “manusia” yang dalam bahasa Arab disebut “al-Insan” adalah sebuah kata yang berasal dari tiga huruf inti yaitu hamzah, nun, dan sin. Susunan tiga huruf tersebut bermakna “al-Dhuhur” yang berarti “Muncul atau tampak”. Kata terambil dari kata dasar “al-Insu” sebagai antonim kata “al-Jin” yang berarti tidak nampak. Pakar bahasa lain, al-Raghib al-Asfihani menjelaskan kata “al-Insan” berasal dari kata dasar “al-Ansu” yang berarti jinak sebagai lawan kata dari buas. Selain dua pendapat di atas, pendapat lain diungkapkan oleh Ibnu Abbas bahwa “al-insan” Berasal dari kata “al-Nis-yan” yang berarti lupa. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang pernah terikat sebuah janji kepada Allah namun mereka lupa akan janji tersebut.
Adapun pengertian “manusia” secara terminologi, banyak sekali ulama yang memberikan pandangannya. Salah satu yang masyhur adalah pengertian “manusia” menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin yang menjelaskan bahwa salah satu pengertian “manusia” menurut istilah adalah sebuah entitas yang terdiri dari ruh dan badan. Melengkapi pengertian ini, al-Jurjani dalam al-Ta’rifat menjelaskan “manusia” adalah sebuah entitas hidup yang berakal (al-Hayawan al-Nathiq) sebagai pembeda dengan makhluk Allah lainnya yang hidup dalam jasad tanpa disertai akal pikiran.
Di dalam al-Quran sendiri, sebagai salah satu tema terbesar yang dibahas, kata “al-Insan” dan bermacam kata turunannya disebutkan sebanyak 97 kali. Adakalanya yang dimaksudkan dengan kalimat “manusia” ini adalah nabi Adam AS sebagai bapak umat manusia seperti dalam surat al-Mu’minun ayat 12:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah”
Dan adakalanya yang dimaksudkan adalah umat manusia secara umum sebagaimana dalam surat al-Naziat ayat 35:
يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى
“Yaitu pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya”
Bahkan pada kesempatan lain, kata “manusia” disebutkan untuk menunjuk person tertentu semisal Abu Jahal seperti dalam surat al-‘Alaq ayat 6:
كَلَّآ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ
“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas”
Selain menggunakan kata “al-Insan”, penyebutan “manusia” di dalam al-Quran juga menggunakan istilah lain yang masing-masing memiliki karakteristik dan detail makna yang berbeda. Salah satunya adalah istilah “al-Basyar” yang disebut dalam al-Quran sebanyak 35 kali untuk menyebutkan manusia dalam konteks makhluk yang memiliki karakteristik materiil seperti umumnya manusia seperti makan, minum, pergi ke pasar dan lain sebagainya. Dalam hal ini para rasul dan nabi disebut sebagai al-Basyar karena tidak ada beda dengan manusia pada umumnya dalam konteks humanis materiil. Ada pula kalimat lainnya, adalah kata “al-Anam” yang disebutkan dalam surat ar-Rahman ayat 10 untuk merujuk pada arti manusia dan juga jin. Selain dua yang telah disebutkan masih ada istilah lain dalam al-Quran seperti Bani Adam, al-Nas, dan al-Insu yang masing-masing perlu penelaahan mendalam untuk memahami konteks penggunaan kalimatnya.
Hikmah Penciptaan Manusia
Hal penting yang perlu disampaikan di sini adalah mengenai hikmah penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian kita memahami bahwa penciptaan manusia adalah hanya untuk beribadah semata sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”
Padahal apabila kita telaah ayat-ayat lainya, kita juga menemukan bahwa mausia diciptakan dalam rangka “al-Isti’mar” atau tugas untuk memakmurkan bumi sebagaimana disebut dalam surat Hud ayat 61:
وَإِلٰى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ إِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ أَنْشَأَكُمْ مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْا إِلَيْهِ ۗ إِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
“dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Para ulama mendefinisikan kata “al-Isti’mar” sebagai bentuk memakmurkan bumi dengan cara membangun, menanam, ataupun kegiatan lainnya agar tercipta kehidupan yang layak di muka bumi sehingga terbangun peradaban yang maju dan tentunya sesuai dengan ketentuan dan tuntunan dari petunjuk Nabi Saw.
Ketika manusia sudah mengetahui fungsi dan hikmah dari penciptaannya, manusia juga harus menyadari akan karakteristik dan kelemahannya agar bisa terhindar dari perangkap dalam dirinya sendiri. Allah Swt di dalam al-Quran menjelaskan beberapa sifat naluriah manusia seperti sifat lemah (Surat al-Nisa ayat 28), tergesa-gesa (Surat al-Isra ayat 11), suka berdebat (Surat al-Kahf ayat 54), Pelit (Surat al-Isra’ ayat 100), cinta dunia (Surat al-‘Adiyat ayat 8), dan sederet karakteristik negatif lainya seperti suka mengeluh, zalim, bodoh, dan lain sebagainya. Namun demikian, penyebutan sederet karakteristik ini bukan dalam rangka melemahkan tabiat manusia dan menjauhkan dari optimisme, melainkan agar manusia bisa menyiasati supaya dirinya tidak terlampau jauh dari tujuan utama penciptaannya, ibadah dan memakmurkan bumi.
Pada dasarnya manusia juga sangat berkemungkinan mendapatkan rahmat dan anugerah Alah Swt sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk berputus asa. Selagi kita senantiasa meluruskan niat dan akidah kita kemudian memperbaiki semua amal kita, niscaya dua hal itulah yang akan menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat sebagaimana disampaikan oleh Grand Syaikh al-Azhar, Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad al-Thayyib dalam sebuah ceramahnya.
Demikian pembahasan singkat kali ini. Semoga kita bisa menjadi manusia yang mampu menunaikan dua tugas besar kita di dunia dengan baik, dan kita berharap semoga senantiasa diberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya. Aamiiin..