Marak Kasus Kecelakaan, Apakah Boleh Menggunakan Sepeda Listrik di Jalan Raya?
Majalahnabawi.com – Saat ini penggunaan kendaraan listrik terus berkembang di Indonesia, baik sepeda motor, mobil, hingga bus. Kendaraan ramah lingkungan ini disebut-sebut lebih hemat pengeluaran operasionalnya, dibandingkan dengan kendaraan bermesin konvensional yang masih mengonsumsi bahan bakar.
Dalam akun Instagram narasinewsroom, pada tanggal 31 Juli lalu memberitakan tidak sedikit kecelakaan yang melibatkan sepeda listrik. Sebanyak 647 kecelakaan yang terjadi sepanjang bulan Januari-Juni 2024. Banyaknya korban tidak hanya dari orang dewasa saja, tapi juga anak-anak ikut terlibat.
Peraturan Menteri Perhubungan
Untuk menjamin keselamatan pengguna kendaraan bermotor listrik menteri perhubungan mengeluarkan peraturan nomor 45 tahun 2020 tentang kendaraan tertentu dengan menggunakan penggerak motor listrik.
Di dalam peraturan tersebut mengatur persyaratan teknis kendaraan, lajur yang boleh dilewati, dan persyaratan penggunanya. Di antaranya ialah, pengendara harus menggunakan helm, berusia minimal 12 tahun, dan harus dalam pengawasan orang dewasa. Sementara itu, lajur yang boleh dilewati meliputi lajur sepeda, lajur yang disediakan untuk kendaraan tertentu, termasuk trotoar.
Dari sana juga bisa kita simpulkan karena maraknya kecelakaan yang terjadi maka hukum mengendarai sepeda listrik di jalan raya tidak diperbolehkan, bahkan dalam Islam berkonsekuensi terhadap hukum haram. Dikarenakan banyaknya mafsadat (bahaya) yang bisa ditimbulkannya. Hal ini juga sesuai kaidah fikih:
الضَرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”
Oleh karena itu, perlu kiranya bagi orang dewasa untuk menyadari hal tersebut, bahkan tidak mengizinkan anak-anaknya untuk menggunakan sepeda listrik di selain lajur dan persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Menaati Pemerintah
Di samping itu, kita juga harus menaati peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan beberapa sabda Nabi Saw. Dalil dalam A l-Quran di antaranya firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. an-Nisa’: 59)
Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafaz perintah “taatilah” karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (tâbi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Saw. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban mendengar dan taat kepada mereka.
Namun bila pemimpin mengeluarkan peraturan untuk kemaslahatan maka hal itu haruslah ditaati, seperti halnya peraturan tersebut.