Medan Magnet Darus-Sunnah

Ibaratkan Anda punya magnet, dan mendekatkannya pada benda-benda berbahan besi. Jika benda itu tertarik dalam sebuah medan magnet, kita sebut benda itu “feromagnetik”. Ia memiliki kecenderungan untuk mendekat pada magnet tersebut.
Lantas? Bayangkan Ciputat menjadi magnet yang menarik para pengembara pencari ilmu. Mereka berangkat dengan tekad dan perbekalan komplit. Mungkin, khawatir di pertengahan jalan, para pengembara yang nyatanya feromagnetik, tertarik secara naluriah dengan “medan magnet” Ciputat itu berubah menjadi paramagnetik, menurun daya tariknya, ataupun hilang sama sekali, yaitu diamagnetik.

Bicara daya tarik, tak akan jauh pembahasannya dengan rasa atau bahkan cinta. Saat disandingkan dengan kata ‘cinta’, ilmu memang harus diperjuangkan. Ya, singkatnya seperti itu. Nilai penting yang tertulis dalam buku berikut adalah tekad bulat untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Ada cinta pertama, ada yang cintanya bersemi kembali, bahkan ada yang sempat tertolak.

Jodoh memang tak kemana, cinta yang sempat menolak akhirnya menerima. Cinta boleh saja diawali dengan kagum. Kekaguman mereka pada tokoh agama, khususnya sosok Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A, Allah yarhamuh, ternyata mampu mengobarkan semangat mereka.

Buku yang berjudul 40 Langkah Pejuang Sunnah ini merupakan kumpulan esai mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences. Terdiri dari 47 bab, masing-masing esai tertulis dengan komposisi yang hampir sama. Latar belakang keluarga dan pendidikan penulis, usaha yang mereka tempuh untuk sampai ke Darus-sunnah, serta aspek-aspek ketertarikan mereka terhadap ilmu hadis dan Darus-Sunnah khususnya.

40 langkah yang dimaksud bukan bermakna 40 cara yang terurut sistematis. Langkah-langkah yang ditempuh oleh para penulis di buku tersebut berjumlah jauh lebih banyak dari yang disebutkan.

Para penulis, atau sebut saja para pengembara, memiliki kepribadian berbeda satu sama lain. Ada saja yang memiliki sisi negatif dalam kepribadian para pengembara. Konon, kepribadian merupakan hal yang sulit diubah. Tapi dalam buku ini, kita temukan bahwa para penulis ini, selain mencari ilmu, mereka juga berniat untuk mengubah kepribadian mereka menjadi lebih baik.

Pembaca akan menemukan keajaiban dimana orang tua para pengembara ini, dengan berbagai keadaan, mampu membiayai anak-anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang tinggi. Ada yanh bekerja sebagai petani, pedagang dan nelayan yang penghasilannya tidak menentu. Matematika Allah berbeda dengan matematika manusia.

Ada pula penulis yang datang dari kalangan berkecukupan. Pembaca kiranya bisa merasakan sensasi terombang-ambing pada sisi yang berbeda.

Sebelum mengembara, tentu saja mereka menyiapkan perbekalan berupa ilmu. Perbekalan mereka berbeda-beda, ada dari mereka yang sudah mencukupi keperluannya sedari kecil, seperti hafalan Quran dan kitab, ada juga yang harus tertatih-tatih karena merupakan pemula dalam pengembaraan ilmu ini. Semua merasakan pahitnya mencari ilmu. Bahkan dua di antara sudah merantau jauh ke negeri yang berbatasan dengan Teluk Aden di sebelah baratnya, Republik Yaman dan rela kembali ke tanah air karena adanya konflik. Ada juga calon pebisnis muda yang sedang menempuh pendidikan di Negeri Jiran, menjadi thalib hadis di Ciputat.

Darus-Sunnah bagai medan magnet yang kuat, mampu menarik mereka dari berbagai penjuru nusantara. Saafir tajid ngiwadhon amman tufaariquhu, salah satu judul bab yang menginformasikan akan adanya timbal balik dari sebuah pengembaraan. Ya, mereka ternyata benar-benar ber-safar. Ada Si Pendiam yang datang dari kaki Gunung Sindoro, Si Pekerja keras yang datang dari pesisir Pemalang, Si Ambisius dari kota yang dijuluki “serengkuh dayung serentak ketujuan”, Si Pengkaji dari Padang Pariaman dan masih banyak pengembara lainnya.

Buku ini berusaha menuliskan apa makna dari sebuah pesantren, apa yang akan dirasakan dan didapat dari kehidupan pesantren. Dan Anda yang ingin mengetahui kisah-kisah santri, dari berbagai daerah dan tempat, buku ini berusaha mengisahkan itu.

Banyak amanat tersirat dan tersurat dalam buku 40 Langkah Pejuang Sunnah ini. Dari sini, kita perlu yakin bahwa kharisma ulama, khususnya pendiri Darus-Sunnah tidaklah pudar terhapus zaman.

Sayangnya, kumpulan esai ini belum disajikan secara rapi. Terdapat beberapa kesalahan penulisan yang agak fatal, seperti kesalahan penulisan nama dan kata di beberapa halaman. Selain itu, ada beberapa tulisan yang sulit dimengerti karena susunan kata, pemilihan diksinya dan Bahasa daerah yang belum diberi terjemahan sehingga pembaca akan mengalami beberapa kesulitan dalam memahami buku ini.

Judul               : 40 Langkah Pejuang Sunnah

Penulis             : Ahmad Haidar, dkk.

Penerbit           : Maktabah Darus-Sunnah

Cetakan 1        : Agustus 2017

Tebal Buku      : xii + 238 halaman

Similar Posts