Memahami Tawasul menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani

Majalahnabawi.com – Tawasul adalah hal yang menjadi perantara untuk mengetuk pintu rahmat Allah Swt. Pada umumnya tawassul menjadi sandingan seorang hamba yang memanjatkan doa. Tawasul sendiri diperintahkan di dalam Al-Quran. Allah Swt berfirman dalam Surah Al-Maidah [5/35]:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 

Artinya; ‘’Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung’’. (QS.Al-Maidah; 35)

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya Mafahim Yajibu Antushohhah menerangkan bahwasanya masih banyak kesalahpahamanan orang-orang dalam memahami tawassul. Dari itu beliau merasa perlu untuk memberikan penjelasan yang benar mengenai tawassul.

4 Poin Penting untuk Memahami Tawasul

Dalam kitabnya, Abuya menjelaskan setidaknya ada empat poin penting yang perlu diingat dalam memahami tawasul;

Poin 1

Pertama, tawassul itu merupakan salah satu cara dari beberapa cara seorang berdoa kepada Allah Swt. Juga merupakan salah satu pintu dari beberapa pintu seorang hamba menghadap kepada Raabnya. Oleh karena itu, tujuan sebenarnya dari tawassul adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Adapun hal yang dijadikan tawassul itu semata-mata sebagai perantara taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Barang siapa yang berkeyakinan tawassul-lah yang mengkabulkan doa-doanya, maka sesungguhnya dia itu berbuat kemusyrikan.

Poin 2

Kedua, mutawassil (orang yang bertawasul) memilih wasithoh (perantara) sebagai tawassulnya tak lain alasannya adalah karena dia menaruh rasa cinta pada wasithoh tersebut. Dan dia meyakini bahwasanya Allah Swt juga mencintai wasithoh itu. Seandainya bukan karena demikian, tentunya mutawassil tak akan menjadikan wasithah tersebut sebagai tawassul.

Poin 3

Ketiga, seandainya mutawasil meyakini tawassulnya dapat mendatangkan manfaat dan mudhorot dengan sendirinya tanpa ada intervensi Allah Swt, maka sungguh dia telah bebuat kemusyrikan.

Poin 4

Keempat, tawassul bukanlah perkara yang meniscayakan dan memastikan terkabulnya doa. Pengkabulan doa sama sekali tidak menunggu adanya tawassul. Melainkan doa itu sendiri yang menjadi dasar terkabulnya keinginan seorang hamba secara mutlak. Sebagaimana yang Allah Swt firmankan dalam surah Al-Baqarah [2/186] dan surah Al-Isra’ [17/110];

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ 

Artinya; ‘’Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran’’. (QS. Al-Baqarah 186)

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلا 

Artinya; Katakanlah: “Serulah (berdoalah) kepada Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al-asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara keduanya itu”. (QS. Al-Isra 110)

Mengenal Mutawasal Bih

Secara garis besar tawasul –memandang hal yang dijadikan perantara (mutawasal bih)- terbagi menjadi dua;

Pertama, bertawasul dengal amal salehnya mutawasil.

Barang siapa yang salat, puasa, membaca Al-Quran dan bersedekah maka dia boleh bertawasul dengan amal-amal tersebut. Bahkan hal ini lebih memberikan peluang harapan terkabulnya doa. Semua ulama sepakat mengenai tawasul jenis ini. Dalil yang mendasarinya adalah kisah tiga orang saleh yang terjebak dalam goa. Mereka berdoa kepada Allah Swt agar berkenan membuka goa tersebut. Dalam doa yang dipanjatkan masing-masing dari mereka bertawasul dengan amal salehnya. Orang pertama bertawasul dengan kepatuhan pada orang tuanya. Orang kedua bertawassul dengan menahan dirinya dari maksiat ketika ia mampu untuk melakukannya. Dan orang ketiga bertawassul dengan amanah dirinya ketika seseorang menitipkan harta kepadanya, dia menunaikannya dengan sempurna. Dengan kehendak Allah Swt goa tersebut sedikit demi sedikit terbuka hingga mereka bisa keluar.

Kedua, bertawasul dengan hal yang berupa zat atau manusia (dzawat/asykhos).

Seperti halnya bertawasul dengan nabi dan orang-orang saleh. Contohnya Ya Allah saya bertawasul pada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad Saw mudahkanlah segala urusan hamba. Dalil yang mendasari tawasul ini adalah hadis riwayat Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-nubuwwah;

لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِي فَقَالَ اللَّهُ: يَا آدَمُ وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ قَالَ: يَا رَبِّ لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِي ‌فَرَأَيْتُ ‌عَلَىَ ‌قَوَائِمِ ‌الْعَرْشِ مَكْتُوبًا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلَّا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ فَقَالَ اللَّهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ إِنَّهُ لَأُحِبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ ادْعُنِي بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ

Artinya; “Sewaktu Adam mengakui kesalahannya, ia bertaubat dan berkata: ‘’Wahai Tuhan, aku mohon kepada-Mu dengan hak Muhammad, supaya Engkau mengampuniku. Lalu Allah menjawab : “Hai Adam, bagaimana engkau mengetahui Muhammad, sedang ia belum kuciptakan? Adam menjawab : Wahai Tuhanku, setelah Engkau menciptakanku, aku angkat kepalaku dan melihat ke tiang Arsy di mana tertulis kalimat: Laa Illaaha Illallah Muhammad rasulullah. Akupun tahu bahwa Engkau tidak akan menyertakan namaMu, kecuali dengan nama orang yang Engkau kasihi’’. Maka Allah menjawab: ‘’Engkau benar Adam, ia adalah seorang yang paling Aku kasihi, memohonlah kepadaku dengan haknya, engkau pasti Aku ampuni. Kalau tidaklah karena dia, engkau tidak akan Aku ciptakan.” (HR. Imam Baihaqi).

Hadis di atas berkisah tentang Allah Swt yang berkenan mengampuni Nabi Adam As sebab adanya tawassul pada Nabi Muhammad Saw yang kala itu masih belum tercipta. Pesan yang tersirat di dalamnya adalah kebolehan bertawassul dengan seseorang (dzat/syakhs), salah satunya pada Nabi Muhammad Saw. Hal ini juga berlaku pada tawassul dengan orang-orang yang saleh, baik orang yang dijadikan tawasul tersebut hidup atau pun sudah wafat.

Hukum Bertawasul dengan Orang Saleh Menurut Sebagian Ulama

Tawasul model yang kedua ini masih terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian yang lain memperbolehkannya. Namun perbedaan pendapat ini bersifat syakliy (samar-samar), bukan jauhariy (jelas). Artinya ketika perbedaan tersebut diamati lebih dalam, terdapat titik persamaan dari perselisihan ulama tersebut. Sebab tawasul dengan nabi atau orang saleh pada hakikatnya adalah bertawasul dengan amal-amal mereka. Yang mana hal ini kembali pada model tawasul pertama yang disepakati. Mengapa demikian? Karena seseorang bertawasul dengan nabi atau orang saleh tentunya kerena mencintai amal mereka. Mengapa mencintai amal mereka? Karena mutawassil meyakini adanya keutamaan pada diri mereka. Meyakini Allah Swt mencintai mereka dan mereka mencintai Allah Swt. Sebagaimana yang firman Allah dalam Surah Al-Maidah [5/54];

فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥ

Artinya; ‘’ maka akan Allah datangkan kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah. (QS. Al-Maidah:54).

Pada dasarnya tawasul adalah mubah. Perbedaannya hanya muncul dari segolongan kecil ulama. Dan itu pun perbedaan yang pada hakikatnya memiliki titik temu dalam kesepakatannya. Wallahua’lam.

Sumber; kitab Mafahim Yajibu Antushohhah karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani cetakan Hai’ah Ash-Shafwah Al-Malikiyyah.

Similar Posts