Memang Benar Seluruh Sahabat itu Adil?

Majalahnabawi.comالصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ Memang benar seluruh sahabat itu adil? Sahabat sendiri adalah orang yang bertemu Nabi Saw, beriman kepada beliau dan wafat dalam keadaan Islam. Dalam pendapat lain, ada yang mensyaratkan pertemuan dengan Nabi harus dalam keadaan sudah baligh. Pendapat lain, ada yang mensyaratkan harus senantiasa bersama Nabi dan mengambil riwayat dari Nabi langsung.

Namun terlepas dari perbedaan pandangan tentang definisi sahabat, para ulama sepakat bahwa masa pasca Nabi wafat masih tergolong masa keemasan Islam. Pada masa inilah banyak para sahabat yang memunculkan pandangan, tindakan, dan pemikiran mereka yang mana tidak ada pada masa Nabi Saw.

Oleh sebab banyaknya para sahabat yang memunculkan hal-hal baru, terjadi perbedaan pandangan para ulama pasca masa sahabat dalam menanggapi pendapat sshabat yang murni dari hasil ijtihad mereka sendiri.

Kehujahan Pendapat Sahabat

Riwayat dari Imam Malik, Abu Bakar al-Razi dan beberapa ulama lain menerima secara mutlak pendapat para sahabat, bisa dijadikan hujjah (argumen), baik bertentangan dengan qiyas ataupun tidak.

Sedangkan riwayat dari mayoritas mazhab Asy’ariyah, Muktazilah, dan Imam al-Ghazali, menolak secara mutlak bahwa pendapat sahabat tidak bisa dijadikan hujjah. Masih banyak pandangan lainnya.

Tentunya, perbedaan pandangan ini tidak terlepas dari konsep ulama dalam memandang sahabat, yang di antaranya adalah “Seluruh Sahabat itu Adil

Lantas apa arti adil bagi para sahabat? Apakah keadilan sangat berpengaruh dalam menilai sahabat? Padahal mereka pernah hidup bersama Nabi Saw.

Dalam kitab Qoulu al-Shahabi Inda al-Ushuliyyin, karangan Syekh Dr. Ali Jum’ah. Beliau memaparkan berbagai macam pendapat tentang makna dari “adil” bagi para sahabat. Di antaranya ada yang menganggap sahabat seluruhnya adil sebelum terjadinya fitnah, ada yang hanya menganggap adilnya khalifah Islam (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) dan lain sebagainya.

Keadilan Sahabat Menurut Ustadz Abu Su’ud al-Ibyari

Namun, riwayat dari Ustadz Abu Su’ud al-Ibyari, dalam kitab yang sama, yang dimaksud adil di situ bukan berarti terjaga dari dosa dan salah, namun maksudnya adalah diterimanya riwayat sahabat tanpa meninjau kembali alasan mengapa ia dianggap adil, kecuali bagi para sahabat yang pernah melakukan tindakan buruk, maka perlu ditinjau kembali.

Sebab itulah, tidak ada anggapan bagi sebagian kalangan Hanafiah yang menolak riwayat dari Abu Hurairah. Sehingga rawi yang mubham dalam sanad hadis, bila ia merupakan golongan sahabat, maka riwayatnya tetap diterima.

Melalui pendekatan inilah (riwayat dari Ustadz Abu Su’ud al-Ibyari), Ahlusunah Waljamaah tetap menerima riwayat sahabat meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sahabat juga manusia yang bisa lupa, salah dan dosa.

– Menurut Ustadz Andi Rahman, adil pada sahabat adalah keadaan yang melekat yang tidak mungkin sahabat memalsukan hadis Nabi -.

Karena sejatinya, riwayat dari para sahabat itu berdasar apa yang mereka dengar dan pelajari dari Nabi Saw sendiri, terlepas dari kesalahan para sahabat yang memang sudah merupakan fitrah manusia sebagai tempatnya salah dan dosa.

Similar Posts