Membangun Kemuliaan Baru: Inspirasi dari Sejarah Islam untuk Masa Depan
Bukan Hanya Refleksi
Majalahnabawi.com – Mengungkap kembali kejayaan kebudayaan Muslim masa lalu, seharusnya kita dapat memperoleh sebuah pelajaran, bukan sekadar nostalgia. Refleksi ini penting karena sejarah Islam yang kaya akan peradaban, ilmu pengetahuan, dan budaya bisa menjadi inspirasi bagi kemajuan di masa kini. Namun, ada bahaya ketika umat terlalu terfokus pada kejayaan masa lalu tanpa upaya nyata untuk menghadapi tantangan zaman modern.
Kita sangat sulit untuk merubah kebesaran sejarah Islam menjadi kemajuan hanya dengan mengagungkan masa silam tanpa aksi konkrit di masa sekarang. Sikap yang terjebak dalam glorifikasi masa lalu mencerminkan mentalitas pasif dan defensif, sebagaimana dikritik oleh Syauqi Bey:
“Seburuk-buruk golongan manusia adalah orang-orang yang malas yang apabila kamu ungguli mereka dengan segera menyebut-nyebut kebesaran nenek moyang mereka.”
Kecenderungan ini mendorong umat Islam untuk selalu melihat ke belakang sebagai bentuk pelarian dari masalah-masalah yang dihadapi saat ini. Sikap defensif, yang selalu bereaksi terhadap tantangan dari luar dengan mengingat kejayaan masa lalu, bukanlah solusi untuk memperbaiki kondisi umat. Sebaliknya, hal ini justru menghambat inovasi dan kreativitas yang dibutuhkan untuk membangun peradaban modern.
Aksi Harus Menyertai Refleksi
Sejarawan Arnold J. Toynbee berpendapat bahwa suatu peradaban akan tumbuh dan berkembang jika mampu menghadapi tantangan dan tidak larut dalam nostalgia masa lalu. Pesan Syauqi Bey juga menekankan bahwa umat Islam harus aktif menegakkan kemuliaan baru, bukan hanya memuja kemuliaan yang telah lalu.
Artinya, umat Islam memiliki tuntutan untuk meraih prestasi di bidang-bidang kontemporer, seperti teknologi, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Misalnya, pada masa keemasan Islam, ilmuwan seperti Al-Khawarizmi di bidang matematika dan Ibnu Sina di bidang kedokteran tidak hanya berhenti pada pencapaian ilmuwan sebelumnya, tetapi mereka terus melakukan inovasi.
Sejarah ini seharusnya menjadi contoh bahwa umat Islam perlu aktif dalam memajukan peradaban, bukan hanya bertahan pada kebanggaan masa silam. Sejarawan Marshall Hodgson juga menegaskan bahwa kekuatan peradaban Islam di masa lalu terletak pada kemampuannya untuk terus beradaptasi dan memperbarui dirinya dalam konteks perkembangan zaman.
Jangan Hanya Berangan-angan
Al-Quran mengingatkan umat Islam agar terus bekerja dan berusaha memperbaiki nasib mereka. Sebagaimana terdapat dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11 yang berbunyi:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan hanya bisa terjadi dengan usaha yang gigih dari dalam diri umat itu sendiri. Tanpa adanya ikhtiar untuk membangun peradaban yang lebih baik, kejayaan yang dulu tidak akan bisa terulang kembali.
Refleksi ini menggarisbawahi bahwa umat Islam tidak bisa terus-menerus menggunakan kejayaan masa lalu sebagai tameng. Kemajuan hanya bisa terwujud melalui tindakan nyata, dan Islam sendiri mendorong umatnya untuk menyeimbangkan antara usaha di dunia dan harapan akan kebahagiaan di akhirat. Allah berfirman dalam QS. Al-Qashash ayat ke-77 yang berbunyi:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Selain itu, komentar tentang glorifikasi masa lalu umat Islam bisa menjadi kritik sosial terhadap budaya yang stagnan. Ketika masyarakat terlalu terpaku pada kejayaan nenek moyang, ada kecenderungan untuk mengabaikan realitas sosial yang ada. Max Weber mengemukakan sebuah teori modernisasi yang menyebutkan bahwa masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mampu menciptakan inovasi dan kemajuan berdasarkan konteks zaman mereka sendiri, bukan dengan mengandalkan mitos atau warisan kejayaan masa lalu.
Rekonstruksi Semangat Umat Islam
Dalam konteks ini, umat Islam harus menyadari bahwa tanggung jawab besar mereka adalah membangun peradaban baru yang relevan dengan tantangan dunia kontemporer. Membawa kembali spirit masa keemasan Islam tidak berarti berpegang teguh pada romantisme sejarah, melainkan menggali semangat inovasi, ilmu pengetahuan, dan kerja keras yang telah terbukti mampu membawa Islam ke puncak peradaban dunia di masa lampau.
Kejayaan masa lalu memang patut kita jadikan pelajaran, tetapi menggunakannya sebagai pelarian dari tanggung jawab terhadap masa kini adalah kontraproduktif. Kritik Syauqi Bey sangat relevan dalam konteks ini, umat Islam tidak boleh puas dengan pencapaian nenek moyang, tetapi harus menciptakan prestasi baru di berbagai bidang. Menghadapi realitas zaman modern dengan mentalitas inovatif dan progresif adalah kunci untuk meraih kembali posisi sebagai umat terbaik. Sejarah mengajarkan bahwa kejayaan peradaban lahir dari usaha keras, inovasi, dan keberanian untuk berubah, bukan dari nostalgia semata.