Memetik Teladan Sikap Nabi Terhadap Ibnu Ummi Maktum
majalahnabawi.com – Perbincangan mengenai problematika yang dialami para difabel seakan tidak pernah selesai. Diskriminasi dan segregasi (pengusiran) terus mereka alami di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini. Mereka seolah-olah diposisikan sebagai masyarakat kelas dua oleh manusia-manusia yang mengaku normal. Pada akhirnya, mereka secara perlahan disingkirkan dalam tatanan masyarakat global karena dianggap sebagai pengganggu keindahan.
Penyebab Diskriminasi Terhadap Para Difabel
Cara pandang yang keliru disinyalir menjadi penyebab adanya tindakan-tindakan tersebut. Masyarakat beranggapan bahwa apa yang menimpa mereka merupakan takdir Tuhan dan manusia hanya bisa pasrah menerimanya. Persepsi seperti ini mengindikasikan bahwa mereka tidak setara.
Tidak sampai di sana, saat ini kesempatan difabel untuk turut berperan dalam ruang lingkup sosial semakin tidak mendapatkan celah sedikit pun, dan ini memperparah keadaan bagi mereka sebagai makhluk sosial. Sehingga kehadiran mereka guna ikut andil berpartisipasi dalam ranah kemasyarakatan setidaknya menjadi solusi dan dapat membantu menghilangkan stigma negatif terhadap para difabel.
Meneladani Sikap Rasulullah Saw.
Oleh karenanya, mari kita renungkan kisah sahabat Nabi Saw., yakni Abdullah Ibnu Ummi Maktum (difabel tuna netra) yang mendapat posisi spesial pada zaman Nabi Saw. Siapa yang tak kenal Abdullah Ibnu Ummi Maktum, ia termasuk dari kalangan sahabat Nabi Saw., generasi awal yang memeluk Islam. Kemampuannya yang berbeda (dalam melihat), tidak lantas menjadikan Nabi Saw., membeda-bedakan derajatnya dengan sahabat yang lain dengan tetap menyuruhnya untuk datang ke masjid menunaikan berjama’ah. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –، قَالَ: أَتَى النبيَّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ أعْمَى، فقَالَ: (يا رَسُولَ اللهِ، لَيسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إلى الْمَسْجِدِ)، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّي فِي بَيْتِهِ، فَرَخَّصَ لَهُ، فَلمَا وَلَّى دَعَاهُ، فَقَالَ لَهُ : ((هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟)) قَالَ: نَعَمْ . قَالَ: (( فَأجِبْ))
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Nabi Saw., kedatangan seorang lelaki yang buta. Ia berkata, (Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun yang menuntunku ke masjid). Maka ia meminta kepada Rasulullah Saw., untuk memberinya keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Lalu Rasulullah Saw., memberinya keringanan tersebut. Namun ketika orang itu berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya, (Apakah engkau mendengar panggilan shalat?). Ia menjawab: (Ya). Beliau bersabda: (Maka penuhilah panggilan azan tersebut.)” (HR. Muslim, no. 503).
Penjelasan Hadis
Hadis ini mencerminkan sebuah sikap yang toleran dan penuh kasih sayang terhadap difabel. Tidak hanya sampai di situ, dalam catatan sejarah menyebutkan bahwa Nabi Saw., menjadikan Abdullah Ibnu Ummi Maktum sebagai muazin tetap bersama sahabat Bilal. Bahkan, Nabi Saw., menunjuknya menjadi imam di masjid Nabawi tatkala beliau sedang bepergian ke luar Madinah.
Nabi Saw., juga tidak melarang tatkala Ibnu Ummi Maktum bersikukuh untuk ikut berjihad fi sabilillah. Akhirnya, beliau menjadi orang pertama dari kalangan difabel yang ikut berperang bersama Nabi Saw. Ini menunjukkan betapa mulianya akhlak Baginda Nabi Saw., dengan “memanusiakan” manusia dengan tidak melihat seseorang hanya karena memiliki keterbatasan fisik.
Wal hasil, jika kita menginginkan keadilan dan kesetaraan bagi difabel, kita seharusnya meniru karakteristik dan perilaku dari Nabi terhadap Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Dengan demikian, kita akan lebih responsif dan peka bahwa difabel juga manusia, sehingga mereka juga pantas mendapatkan peran atau posisi yang strategis dalam kehidupan di dunia.