Memperjuangkan Hak Cuti Ayah demi Keseimbangan Kehidupan dan Pekerjaan
Majalahnabawi.com – Selama bertahun-tahun, tanggung jawab pengasuhan anak di Indonesia secara tradisional ditempatkan di pundak seorang ibu. Namun, dengan berkembangnya masyarakat dan peran gender yang lebih setara, peran ayah dalam mendukung dan membesarkan anak menjadi semakin krusial. Dalam beberapa dekade terakhir, masyarakat di berbagai belahan dunia telah menyaksikan perubahan signifikan dalam konsep dan peran keluarga. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak menjadi hal yang utama. Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya peran ayah dalam mendukung keluarga, terutama di awal kelahiran anak, mulai meningkat.
Namun, regulasi ketenagakerjaan yang ada belum sepenuhnya mencerminkan pemahaman ini, khususnya terkait hak cuti ayah. Untuk mencapai keseimbangan kehidupan dan pekerjaan yang ideal, hak cuti ayah harus diperjuangkan. Cuti ayah tidak hanya menjadi kesempatan bagi ayah untuk mendukung keluarga dalam masa-masa awal kehidupan anak. Hal ini merupakan langkah penting dalam mewujudkan keluarga yang lebih sehat, seimbang, dan harmonis. Maka dari “Cuti Ayah” ini menjadi urgensi perbaikan kebijakan cuti ayah di Indonesia.
RUU KIA
Pada hari Selasa 4 Juni 2024, DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi Undang-Undang. Selain membahas kesejahteraan ibu dan anak, dalam Undang-Undang KIA ini juga memperjuangkan hak cuti ayah dalam menemani awal kelahiran anak. Namun terlihat tidak ada perubahan bagi seorang ayah. Ayah yang bekerja hanya diberikan hak cuti selama dua hari dalam situasi kelahiran anaknya. Ketentuan ini juga tercermin dalam PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menyatakan bahwa pekerja laki-laki berhak atas cuti dua hari dengan tetap dibayar saat istrinya melahirkan.
Ketentuan ini jauh dari cukup bagi seorang ayah yang ingin terlibat aktif dalam mendukung istrinya yang baru melahirkan dan membangun ikatan emosional dengan anak yang baru lahir. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memperjuangkan hak cuti ayah yang lebih memadai demi keseimbangan kehidupan dan pekerjaan.
Work-life Balance
Keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance) adalah konsep yang semakin mendapatkan perhatian dalam dunia kerja modern. Dalam hal ini, keseimbangan kehidupan dan pekerjaan berarti bahwa individu memiliki waktu yang cukup. Hal ini berguna untuk memenuhi kebutuhan profesional tanpa harus mengorbankan kehidupan pribadi dan keluarga. Bagi seorang ayah, keterlibatan dalam keluarga tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan tugas profesional. Cuti ayah dapat membantu ayah untuk berperan lebih aktif dalam mendukung kehidupan keluarga, terutama dalam masa-masa awal kelahiran anak.
Cuti ayah yang memadai juga memberikan dampak positif bagi ibu. Dengan adanya peran aktif ayah, beban ibu dalam merawat anak menjadi lebih ringan, sehingga mengurangi risiko depresi pascakelahiran. Hal ini dapat menciptakan hubungan yang lebih setara antara orang tua dalam membagi peran domestik dan pekerjaan rumah tangga.
Depresi pascakelahiran, atau postpartum depression, adalah masalah umum yang dihadapi oleh ibu baru, dan dukungan dari pasangan selama periode ini dapat membantu meringankan stres emosional dan fisik yang dialami ibu. Dalam hal ini, cuti ayah bukan hanya hak ayah sebagai pekerja, tetapi juga bentuk dukungan penting bagi kesehatan mental ibu.
Kesetaraan Gender
Memperjuangkan hak cuti ayah juga berkontribusi dalam menciptakan kesetaraan gender, baik di rumah maupun di lingkungan kerja. Stereotip bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab utama seorang ibu perlu diubah agar ayah dan ibu memiliki kesempatan yang sama untuk berperan dalam pengasuhan. Dengan adanya cuti ayah yang lebih panjang, diharapkan tidak hanya ibu yang mendapatkan hak cuti melahirkan, tetapi ayah juga mendapatkan kesempatan yang setara untuk terlibat dalam kehidupan keluarga sejak awal.
Meskipun manfaat cuti ayah jelas, memperjuangkannya di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan besar. Pertama, kebijakan cuti ayah yang hanya dua hari mencerminkan persepsi tradisional yang kuat tentang peran gender di masyarakat. Banyak yang masih memandang bahwa tugas utama ayah adalah sebagai pencari nafkah, sementara tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak sepenuhnya berada pada ibu. Persepsi ini menghambat perkembangan kebijakan yang lebih progresif
Kedua, banyak perusahaan di Indonesia yang enggan memberikan hak cuti ayah yang lebih panjang dengan alasan bahwa hal tersebut akan menurunkan produktivitas karyawan. Perusahaan seringkali memandang cuti ayah sebagai beban tambahan, terutama jika mereka khawatir bahwa banyak karyawan laki-laki akan memanfaatkan cuti tersebut. Pandangan ini tidak mempertimbangkan bahwa cuti ayah dapat meningkatkan loyalitas karyawan dan menurunkan tingkat stres. Di Indonesia, budaya kerja yang menuntut waktu dan loyalitas yang tinggi dari karyawan laki-laki seringkali menjadi hambatan bagi seorang ayah untuk mengambil peran aktif dalam keluarga. Peran ayah yang diharapkan hanya sebagai pencari nafkah utama telah membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam kehidupan keluarga secara penuh. Namun, tren global menunjukkan bahwa perusahaan yang mendorong keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi cenderung memiliki karyawan yang lebih puas dan produktif.
Evaluasi Pihak Berwenang
Peristiwa Kapten Pilot Batik Air yang tertidur selama 28 menit saat penerbangan pendek dari Jakarta menuju Kendari seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pihak-pihak berwenang. Evaluasi tersebut penting dalam proses perumusan UU KIA, khususnya terkait pemberian cuti bagi ayah yang istrinya baru melahirkan. Dalam peristiwa Kapten Pilot Batik Air beliau menerangkan bahwa kurang dalam waktu istirahat malamnya dikarenakan beliau membantu istrinya yang baru saja melahirkan dalam mengurus buah hatinya di malam hari. Sehingga beliau mendapat rasa kantuk yang sangat sulit untuk ditahan dalam waktu kerjanya. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub M. Kristi Endah Murni mengatakan maskapai perlu memperhatikan waktu dan kualitas istirahat pilot dan awak pesawat lainnya, yang memengaruhi kewaspadaan dalam penerbangan. Seharusnya peristiwa ini menjadi perhatian besar para pemilik kewenangan dalam proses perumusan UU KIA.
Banyak negara maju yang telah mengadopsi kebijakan cuti orang tua yang lebih fleksibel. Beberapa negara seperti Skandinavia, Prancis, dan Jepang telah mengadopsi kebijakan ini. Di negara-negara tersebut, ayah diberikan hak cuti yang panjang bahkan bisa mencapai beberapa bulan untuk berbagi peran dengan ibu dalam pengasuhan anak. Hal ini dimaksudkan agar kedua orang tua dapat lebih terlibat secara seimbang dalam pengasuhan anak, yang juga mencerminkan kesetaraan gender dalam keluarga.
Langkah-Langkah Konkret
Untuk memperjuangkan hak cuti ayah yang memadai di Indonesia, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga masyarakat luas. Pemerintah dapat kembali merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk memperpanjang hak cuti ayah, misalnya menjadi dua minggu dengan tetap dibayar. Langkah ini dapat dimulai dengan penerapan bertahap untuk menilai dampaknya terhadap produktivitas kerja dan kesejahteraan keluarga.
Untuk opsi kedua yaitu seperdua per hari jam kerja. Berdasarkan Pasal 81 angka 23 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 77 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yaitu 8 Jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Artinya adalah pemerintah dapat mempertimbangkan jam kerja hanya 4 jam dalam 1 hari bekerja atau 20 jam dalam satu minggu. Hal ini lebih menyeimbangkan antara hak dan kewajiban seorang laki-laki dalam pekerjaannya dan peran ayah atau pun suami.
Pemerintah bisa memberikan tambahan penghasilan bagi perusahaan yang mendukung kebijakan cuti, seperti pengurangan pajak atau subsidi untuk menutup biaya cuti. Dengan tambahan ini, perusahaan akan lebih terdorong untuk mendukung kesejahteraan karyawan dan mengurangi beban finansial yang mungkin mereka khawatirkan. LSM yang peduli terhadap hak keluarga dan anak-anak dapat berperan dalam mendukung kebijakan cuti ayah. Mereka bisa menjadi penggerak dalam memperjuangkan hak cuti ayah dengan memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat kepada pemerintah.
Jika hak cuti ayah diperjuangkan dan akhirnya diwujudkan, ini akan menjadi langkah signifikan dalam mengubah budaya kerja dan kehidupan keluarga di Indonesia. Generasi mendatang akan tumbuh dalam lingkungan yang lebih sehat. Mereka tidak hanya melihat ibu sebagai satu-satunya pengasuh, tetapi juga ayah yang terlibat aktif dalam kehidupan mereka