Menata Niat, Jalan Menghamba Kepada Allah
Majalahnabawi – Niat menjadi perihal penting tatkala seseorang akan melakukan suatu amal. Sebab perbuatan apapun yang dilandasi niat baik akan bernilai ibadah dan mendapatkan ganjaran. Hal itu sebagaimana tertera dalam hadits, bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan penjelasan dalam hadits tersebut, kiranya dapat kita fahami bahwa begitu pentingnya untuk menata niat agar amal kita dapat Allah Swt. terima. Hal ini karena niat merupakan ruh dari setiap amal perbuatan. Ketika kita melakukan amal ibadah apa saja yang murni kita tujukan untuk mengharap ridha-Nya, maka niat itu pun akan menjadi benih amal kebaikan.
Para auliya’ arifin dan guru sholihin selalu mengajarkan kita untuk merawat niat dalam hati ketika akan melakukan setiap pekerjaan. Menjaga niat adalah perkara yang tak mudah, namun pengaruhnya amat besar dalam kehidupan. Selain bisa membesarkan pahala, niat juga dapat memberikan rangsangan gairah bagi seseorang untuk beramal. Jika niat sudah tertancap dalam hati, nampaknya tidak peduli dengan halangan dan rintangan yang menghadang. Panas, hujan, dingin, lelah dan bahkan sakit merupakan resiko yang terkadang tidak menjadi pertimbangan. Apabila jika niat sudah dimantapkan. Semangat yang kuat pada akhirnya dapat mengalahkan semua resiko yang kemungkinan akan terjadi.
Niat Sebagai Inti dari Sebuah Amal
Setiap amal tergantung kepada niat, maka amal tanpa niat akan berantakan. Jika kita berbuat sesuatu dengan niat yang baik, hasilnya pasti akan baik. Begitupun sebaliknya bila niatnya buruk, maka hasilnya pun akan buruk. Dalam kitab Manhaj as-Sawi tertulis bahwa pahala amal itu bukan tergantung pada banyaknya amal, tetapi lebih bergantung pada niat dan keikhlasan seseorang. Allah Swt. menilai seorang hamba dari niat yang berasal dari dalam hatinya. Allah senantiasa memberikan reward kepada hamba-Nya itu sesuai dengan kadar niatnya. Nabi Saw. pernah bersabda:
“Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.” (HR. Baihaqi)
Sebab kebanyakan ibadah ritual sering kali diasosiasikan dengan presepsi dan pengharapan kepada penilaian orang lain. Sedangkan penghambaan gerak hati (niat) bersifat sangat pribadi dan intim. Oleh karenanya, jangan biarkan sifat sombong, pamer, riya’, dan penyakit hati lainnya menghalangi diterimanya amal tersebut.
Inilah arti pentingnya niat sebagai ruh amal, poros, dan sendinya laku spiritualitas kita. Ia menjadi penentu apakah kita benar-benar menghamba pada Allah atau selain-Nya. Ia pula menjadi penentu apakah laku keseharian kita berlalu begitu saja, atau menjadi penghambaan yang tulus kepada Tuhannya.
Mendapat Pahala, Meskipun Belum Mampu Mengamalkan
Islam menghargai niat seseorang dalam berbuat baik. Apabila niat itu terlaksana sesuai rencana semula, maka agama memberikan sepuluh kebaikan. Akan tetapi apabila niat tidak terlaksana sebab adanya halangan menimpa, maka Islam tetap menghargai dengan memberikan satu nilai kebaikan. Misal orang beniat untuk bersedekah, namun karena ada kebutuhan yang mendesak untuk kepentingan dirinya sehingga dia mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan hartanya kepada orang lain. Dengan kondisi ini dia tetap mendapatkan nilai kebaikan dari niatnya walaupun tidak melaksanakan.
Oleh sebab itu, Habib Ali al-Habsyi selalu memerintahkan kepada umat muslim, untuk menghadirkan banyak niat dalam tiap amalan. “Niatkanlah setiap perbuatan yang kalian lakukan untuk meneladani Rasulullah Saw, karena kalian akan mendapatkan pahala. Dan peneladanan ini dapat menimbulkan kenikmatan dan dzauq, karena beliau Saw sebelumnya pernah melakukan dengan cara demikian.
Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya. Jika kau bangun tidur di pagi hari, ucapkanlah, ‘Aku hari ini berniat berdzikir kepada Allah, membaca kitabullah, bersedekah, mengunjungi saudaraku di jalan Allah, berbuat baik kepada keluargaku, menuntut ilmu, dan lain sebagainya’. Tetapkanlah niat sebanyak mungkin. Jika Allah memberimu taufik kau akan mengamalkannya, dan jika tidak, maka kau telah meniatkannya.”
Perkara Mubah Menjadi Bernilai Ibadah
Kerap dilupakan kebanyakan dari kita bahwa menghamba kepada Allah bisa dilakukan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tempat serta keadaan. Seperti perkara-perkara mubah yang sederhana, sekadar makan, minum, tidur, atau perbuatan lain yang selalu kita kerjakan setiap hari jika diiringi niat karena mencari keridhaan-Nya, maka itu akan bernilai ibadah.
Jika menganggap ibadah hanya seputar salat, puasa, zakat, sedekah, umrah, dan haji yang memerlukan laku fisik atau bahkan materi, sebenarnya betapa luas penghambaan selain itu yang hanya membutuhkan gerak hati. Yaitu dengan menata niat, yang menurut pemahaman ahli sunnah wa al-jamaah adalah membenarkan dalam hati, melafalkan dengan lisan, dan kemudian berwujud perbuatan.
Maka segala apa yang kita pandang sebagai aktivitas biasa saja namun disisipi niat ‘lillahi Ta’ala’, bisa jadi justru itulah penghambaan paling tulus kita kepada-Nya dibanding ibadah ritual. Kita dingatkan oleh kisah Imam Ghazali yang ikhlas membiarkan lalat menyeruput tinta ketika ia sedang istirahat sejenak dari menulis kitab-kitabnya, namun dari situ malah menjadi sebab turun maghfirah dan rahmat Allah kepada dirinya.
Oleh karena itu, jangan remehkan untuk berusaha mencari ridha-Nya dari setiap perkara mubah dan menghadirkan niat ikhlas di dalamnya. Itu semua akan menjadi sebab keberuntungan dan keselamatan kita di hari akhirat nanti.