Menegakkan Keadilan Tanpa Pandang Bulu

Rasionalika.darussunnah x Majalahnabawi.com – Kasus korupsi yang melibatkan Harvey Moeis telah menimbulkan keprihatinan di masyarakat. Meskipun negara dirugikan hingga Rp300 triliun, Harvey Moeis hanya divonis 6,5 tahun penjara. Putusan ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi penegakan hukum di Indonesia, terutama ketika pelaku kejahatan adalah individu berpengaruh atau memiliki kekayaan.

Dalam konteks ini, relevan untuk merenungkan Hadis Rasulullah Saw. yang menekankan pentingnya keadilan tanpa pandang bulu. Hadis tersebut menceritakan seorang wanita dari suku Makhzum yang mencuri, dan upaya beberapa orang untuk meminta keringanan hukuman karena status sosialnya. Rasulullah Saw. dengan tegas menolak intervensi tersebut, menegaskan bahwa bahkan jika putrinya sendiri, Fatimah mencuri, beliau akan menegakkan hukuman yang sama.

Hadis ini mengajarkan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau kedekatan dengan penguasa. Penerapan hukum yang adil dan konsisten adalah fondasi masyarakat yang sehat dan beradab. Kasus Harvey Moeis seharusnya menjadi refleksi bagi penegak hukum dan masyarakat Indonesia untuk memastikan bahwa prinsip keadilan ditegakkan sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها «أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالَ وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَال إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ ‌سَرَقَتْ ‌لَقَطَعْتُ ‌يَدَهَا. (رواه البخاري)

البخاري : أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بَردِزبَة الجعفي البخاري

Artinya:
Dari ‘Aisyah Binti Abu Bakar r.a. (w. 57 H) Berkata: “Sesungguhnya perkara wanita dari suku Makhzum yang mencuri membuat Quraisy merasa gelisah. Mereka pun berkata, ‘Siapa yang berani membicarakannya kepada Rasulullah Saw.?’ Mereka lalu berkata, ‘Tidak ada yang berani selain Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah Saw.’ Maka, Usamah pun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah engkau akan memberikan syafaat dalam salah satu hukum Allah?” Kemudian Rasulullah Saw. berdiri dan berkhutbah seraya bersabda, “Sesungguhnya yang menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah karena apabila seorang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun, apabila seorang yang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.’”

HR. Bukhari (194 H – 256 H :62 tahun)

Istifadah:

Pandangan para ulama terhadap Hadis ini sangat mendalam dan menunjukkan berbagai hikmah di balik pesan Rasulullah Saw. Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fath Al-Bari, menyoroti bahwa Hadis ini menegaskan pentingnya keadilan yang menyeluruh. Beliau menjelaskan bahwa umat terdahulu hancur karena ketidakadilan yang dihasilkan dari perlakuan istimewa kepada golongan tertentu. Nabi Saw. dengan menyebut nama Fatimah, ingin memberikan pelajaran yang kuat bahwa hukum tidak boleh terdistorsi oleh hubungan kekeluargaan atau kedudukan sosial, suatu prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap hakim yang memutuskan perkara. Seorang hakim yang adil harus memastikan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kedekatan pribadi atau kedudukan sosial.

Begitu juga Imam An-Nawawi, dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, menegaskan bahwa Hadis ini menunjukkan kesempurnaan syariat Islam dalam menegakkan keadilan. Ungkapan Nabi Saw. yang menyebut putrinya adalah bentuk retorika untuk menekankan bahwa hukum tidak mengenal kompromi, meskipun pelakunya adalah orang yang paling dicintai. Beliau juga menegaskan bahwa prinsip ini menjadi landasan hukum dalam Islam yang tidak membedakan antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. Dalam konteks ini, para hakim harus menegakkan hukum dengan tegas dan adil, meskipun mereka dihadapkan pada tekanan dari berbagai pihak.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din, mengaitkan Hadis ini dengan sifat keadilan Allah Swt. yang harus dicontoh oleh para pemimpin. Beliau menjelaskan bahwa pemimpin yang adil adalah yang berani menegakkan hukum tanpa takut pada tekanan dari pihak mana pun, termasuk keluarga dan sekutunya. Bahkan menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi kokoh yang menjamin keberlangsungan suatu masyarakat. Ini juga berlaku bagi seorang hakim yang, dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum, harus berani mengambil keputusan yang adil meskipun menghadapi tantangan atau ancaman.

Dengan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pentingnya keadilan dalam Islam. Dari ajaran Nabi Saw., kita belajar bahwa keadilan tidak hanya sebuah konsep hukum, tetapi juga sebuah nilai spiritual yang menjaga keseimbangan sosial dan keharmonisan masyarakat. Para ulama sepakat bahwa ketidakadilan adalah akar kehancuran, sedangkan keadilan adalah cahaya yang menerangi jalan umat menuju kejayaan. Oleh karena itu, para hakim harus selalu memegang teguh prinsip keadilan, karena keputusan mereka memengaruhi kehidupan banyak orang dan menentukan arah masa depan masyarakat. Begitu juga presiden yang memiliki peran penting dalam keberlangsungan sistem hukum di suatu negara, walaupun tanggung jawabnya terbatas sesuai dengan kewenangan yang diatur oleh undang-undang dan konstitusi.

Wallahu a’lam

Similar Posts