Menelaah Penyebab Kerenggangan antara Wahabi dan NU Perspektif Kiai Ali Mustafa Yaqub
Majalah Nabawi – Sahabat Nabawi yang setia dan tercinta, kali ini kita berbincang tentang penyebab kerenggangan yang terjadi di antara Wahabi dan NU. Sebagian umat Islam Indonesia menilai bahwa Wahabi berada di sebuah lembah dan NU di lembah yang lain. Atau seperti istilah orang Indonesia, keduanya seperti minyak dan air, dapat berkumpul dalam satu wadah namun tidak dapat menyatu. Tidak ragu lagi bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kerenggangan di antara keduanya. Faktor tersebut ada yang internal, ada pula yang eksternal. Yuk mari kita selami apa sih faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor internal dalam hal ini ada dua kurang lebihnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam karya KIai Ali Mustafa Yaqub yang berjudul ”Titik Temu antara Wahabi dan NU”.
Mengambil Informasi dari Sumber Yang Tidak Dapat Dipercaya.
Beberapa orang terkadang mendapatkan informasi tentang Nahdhatul Ulama (NU) dari sumber-sumber rujukan yang tidak asli. Kemudian ia menilai bahwa hal tersebut merupakan perilaku NU, baik dalam akidahnya maupun tabiatnya, tanpa merujuk pada sumber-sumber NU yang asli. Tidak diragukan lagi bahwa penilaian seperti ini tidak objektif. Seandainya orang tersebut merujuk pada sumber yang asli, tentu penilaian mereka akan benar dan objektif.
Ada kisah yang saya baca dari buku Kiai Ali Mustafa Yaqub, bahwa Mufti Besar kerajaan Arab Saudi , Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah pernah menerima delegasi Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU) di kantornya di Riyadh. Ini terjadi pada 14 Februari 1987 M. Delegasi NU itu terdiri dari lima orang, yaitu Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfuzh rahimahullah, Dr. KH. Abdurrahman Wahid rahimahullah, Dr. KH. Mustafa Bisyri, Dr. H. Fahmi Ja’far Saifuddin rahimahullah, dan H. Abdullah Syarwani, SH. Dalam pertemuan itu, terjadi dialog antara kedua belah pihak seputar umat Islam di Indonesia dan Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Salah satu pertanyaan Mufti Besar kepada delegasi NU adalah; Apakah benar bahwa warga NU itu para penyembah kuburan?
Delegasi NU menjawab: “Itu tidak benar, karena warga NU itu hanya menziarahi kubur tanpa menyembahnya, berbeda dengan perspektif keliru kebanyakan orang .”
Maka Mufti Besar pun mengetahui bahwa warga NU bukan para penyembah kuburan dan bukan ahli bidah. Hal itu karena ziarah kubur dan menyembah kubur adalah dua hal yang berbeda. Ziarah kubur diperintahkan, sedangkan menyembah kubur dilarang. Sungguh baik apa yang dilakukan oleh Syekh Abdul Aziz rahimahullah. Beliau tidak menilai seseorang sampai mendengar dari yang lainnya (untuk mengklarifikasi). Bagaimana dengan orang yang tidak melakukan klarifikasi seperti Syekh Bin Baz? Maka orang tersebut akan menilai bahwa warga NU adalah para penyembah kuburan, ahli bidah, dan penilaian miring lainnya.
Analogi dan Vonis Yang Salah
Tidak ragu lagi bahwa sebagian orang yang menisbatkan diri pada Wahabi atau NU terkadang melakukan perbuatan haram menurut syariat Islam. Kemudian perbuatan orang ini dinisbatkan kepada semua kalangan Wahabi atau NU. Selanjutnya, perbuatan tersebut divonis sebagai bagian dari ajaran keduanya. Kami pun tidak memungkiri adanya perbuatan itu pada beberapa individu Wahabi atau NU. Namun analogi (qiyas) semacam ini tidak benar karena adanya perbedaan antara al- maqis (yang dijadikan analogi) dan al-maqis ‘alaih (yang dianalogkan), atau antara al-ashl (pokok) dan al-far’u (cabang). Hal ini disebut al-qiyas ma’a al-fariq (menganalogkan dua hal yang berbeda). Kesimpulannya (al-natijah) pun tidak benar, karena suatu bagian tidak menggambarkan semuanya dan sebagian tidak menggambarkan keseluruhannya. Seandainya orang yang menuduh ini merujuk pada kitab-kitab dan sumber-sumber asli rujukan Wahabi atau NU, tentu ia akan mengetahui bahwa perbuatan individu (dari keduanya) tidak menggambarkan perbuatan jamaah.
Karenanya, tidak boleh memvonis suatu jamaah hanya karena perbuatan individunya. Inilah perbuatan musuh-musuh Islam yang memvonis Islam sebagai agama teroris. Alasannya karena mereka menyaksikan sebagian orang yang menisbatkan diri pada Islam telah melakukan perbuatan terorisme. Kemudian mereka memvonis bahwa terorisme adalah karakter agama Islam. Mereka tidak merujuk pada ajaran-ajaran Islam yang asli dalam kitab-kitab pedoman. Orang yang merujuk pada sumber-sumber Islam, ia akan mengetahui bahwa Islam menolak keras terorisme. Tidak ada kaitan antara Islam dan terorisme. Karena terorisme tidak memiliki agama dan kebangsaan.
Selain itu, ada faktor-faktor eksternal yang sumbernya dari musuh-musuh Islam.
Peran Zionisme
Dalam Protokol Zionisme pada poin ketujuh tercantum: “Di semua wilayah Eropa, dan begitu pula di benua-benua lainnya, kita wajib menciptakan fitnah (konflik) dan menyalakan api permusuhan dan perselisihan.” Protokol Zionisme merupakan dokumen hasil keputusan Konferensi Yahudi sedunia yang berlangsung pada tahun 1897 di Kota Pasel Swiss. Tidaklah heran bahwa kegaduhan, kekacauan, permusuhan, konflik, dan perselisihan yang terjadi di tengah umat Islam adalah bagian dari peran kaum Zionis. Konflik dan perselisihan ini kadang terjadi dalam bidang politik di tengah umat Islam. Kadang pula terjadi di kalangan individu dan organisasi-organisasi umat Islam. Tidak berlebihan jika kerenggangan hubungan antara Wahabi dan NU merupakan bagian dari peran kaum Zionis.
Peran Aliran-aliran Sesat
Ada pula peran yang nyata terasa dan telah memecah belah barisan umat Islam. Peran ini muncul dari sebagian orang yang mengklaim diri sebagai muslim, namun ia berasal dari kelompok aliran sesat. Karena ia mengklaim bahwa kelompoknya yang sesat itu bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah. Sementara menurut dia, Wahabi bukan Ahlussunnah wal Jamaah. Padahal Ahlussunnah wal Jamaah berlepas diri dari klaim ini. Orang tadi sangat jauh melenceng dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.