Meneladani Syaikhuna
Majalahnabawi – Tahun 2000, bersama beberapa mahasantri, Andi Rahman memulai belajar di Darus-Sunnah. Bahkan sampai sekarang pun ia masih “belajar” dan mengajar di institusi tersebut. Masih terekam dalam ingatannya masa-masa dimana kutub sittah diajarkan langsung oleh khadim ma’had, syaikuna Ali Mustafa Yaqub dengan metode sorogan (al- ‘ardh). Santri membaca kitab sementara syaikhuna menyimak. Selanjutnya santri akan ditanya, dan siapa saja yang tidak mampu menjawab dengan benar akan mendapat hukuman berupa membuat artikel dengan tema yang terkait dengan pertayaan tersebut. Dengan sendirinya santri dibiasakan banyak membaca dan menulis.
Karena jumlah mahasantri yang masih sedikit, maka khadim ma’had sendiri yang bertindak mengurusi mereka. Maka siapa saja yang tidak salat maktubah berjamaah dan terlambat mengikuti pengajian, bersiaplah mendapat hukuman. Ketika malam hari, dengan rutin beliau membangunkan mahasantri untuk mendirikan salat malam. Seringkali, satu jam sebelum Subuh tiba, beliau menelpon ke nomor pesantren, lalu bertanya: “Assalamu ‘alaikum. Man anta? Qum qum qum…! (Siapa kamu? Bangun, bangun)”. Betapa istemewanya, para mahasantri mendapat perhatian secara langsung oleh pengasuh.
Menjadi santri merupakan sebuah anugerah, apalagi dari seorang guru yang sangat alim dan menginspirasi seperti syaikhuna Ali Mustafa Yaqub. Al[1]Imam Ibn Mubarak pernah menyatakan keinginannya untuk disebut sebagai “santri” hingga akhir hayatnya, karena orang yang sedang menuntut ilmu dianggap dalam sabilillah dan akan dimudahkan jalannya menuju surga.
Santri Yang Mengajar
Andi Rahman mengenyam pendidikan pesantren cukup lama. Rihlah ‘ilmiah (perjalanan studi)nya di pesantren dimulai dari Kudus. Lima tahun nyantri di pesantren Kwanaran (Ma’had Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Quran), ia memperdalam al-Quran dan kitab kuning. Saat masih menjadi siswa MTs (SMP), ia dipercaya menjadi sekretaris organisasi santri dan diminta mengajar (pear teaching).
Pasca dari paesantren Kudus, Andi melanjutkan studi Aliyahnya ke Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Di sana ia sempat menjadi ketua OSIS dan diminta mengajar di pesantrennya. Kini ia menjadi mahasantri Darus-Sunnah dan mengajar di pesantren itu. Uniknya, saat di pesantren-pesantren tersebut, beberapa gurunya ada yang memanggilnya “kang Andi” dan bahkan ada yang memanggilnya “Pak Andi”. Menjadi guru memang merupakan hasratnya, karena mengajar merupakan salah satu cara memeroleh pahala jariyah, di mana pahala itu terus mengalir walaupun seseorang telah meninggal dunia.
Diminta oleh guru untuk mengajar merupakan sebuah kebanggaan. Ada semacam pengakuan dari guru kepada santri yang dimintanya mengajar. Dalam dunia pesantren, pengakuan guru merupakan hal yang sangat berharga. Terkadang, pengakuan ini ada yang berbentuk pemberian sanad. Andi Rahman telah memiliki sanad al-Quran, sanad Hadis, dan sanad ilmu-ilmu lainnya. Sanad-sanad itu akan di-estafet-kan tanpa ada syarat, kecuali sanad Dalailul Khayrat yang baru boleh diijazahkan kepada orang lain saat ia berusia 40 tahun.
Selain mengajar, Andi Rahman belajar tata kelola lembaga pendidikan. Pada tahun 2006 ia diminta menjadi wakil kepala sekolah di sebuah sekolah menengah atas. Selanjutnya pada tahun 2013 ia ditunjuk menjadi ketua program studi di Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ). Saat diajukan akreditasi, sekolah dan program studi yang dipimpinnya memeroleh nilai A.
Andi Rahman memang tumbuh di keluarga guru. Kakeknya merupakan pendiri sekolah yang, bisa dibilang, paling tua di Bekasi. Ayah dan ibunya juga berkhidmah di sekolah. Di malam hari, ayahnya mengajar al-Quran di mushala keluarga di dekat rumahnya. Lingkungan seperti ini meneguhkan keinginannya untuk menjadi pengajar. Melihat guru[1]guru yang ikhlas mengajar, utamanya syaikhuna Ali Mustafa Yaqub, merupakan motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mengajar.
Santri Yang Menulis
Sejak tiga bukunya yang terkait metode penulisan karya ilmiah diterbitkan (dua di antaranya oleh Balai Pustaka), Andi Rahman menjadi instruktur penulisan karya ilmiah bagi para guru. Ia pernah mengisi pelatihan untuk guru-guru di banyak tempat hingga Merauke, tentang bagaimana cara menulis karya ilmiah dan pentingnya menulis. Harapannya, para guru bisa mengajarkan dan memotivasi murud-muridnya untuk menulis. Dalam konteks menulis, ia selalu mengingat pesan syaikhuna Ali Mustafa Yaqub: “Wa la tamutunna illa wa antum katibun” yang artinya janganlah kamu mati sebelum menjadi penulis.
Setiap tahun, ia menetapkan target menulis 5 buku dan artikel di jurnal. Kini, sudah puluhan artikelnya dimuat di media massa, belasan bukunya diterbitkan dan belasan artikelnya dimuat di jurnal. Ada buku dan artikel di jurnal yang ditulisnya dalam bahasa Arab. Harapannya, ia bisa menulis dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang dilakukan oleh syaikhuna Ali Mustafa Yaqub, guru hebat yang selalu dia ingat dalam doa-doa yang dipanjatkannya setelah salat.
Hobi Jalan-jalan
Saat mengunjungi Malaysia, Andi Rahman diajak berwisata ke Genting Highland. Hobinya memang jalan-jalan, namun bukan ke destinasi wisata seperti itu.
“Dulu mungkin saya menikmati wisata seperti Taman Safari, Dufan, dan pusat perbelanjaan. Sekarang juga masih suka. Namun kini saya lebih menikmati jalan-jalan ke tempat yang unik, misalnya tempat-tempat bersejarah, perkebunan buah, pasar tradisional, dan kuburan ulama,” ujarnya.
Pada tahun 2005 Andi Rahman berkunjung ke Muscat, ibu kota Oman. Ia mengamati bagaimana relasi antara Sunni dan Syiah melalui masjid. Beberapa masjid Sunni yang dikunjunginya menyelenggarakan salat berjamaah di dalam masjid, dan membolehkan orang Syiah salat di bagian luar masjid. Sementara di masjid Syiah yang biasanya menyediakan turbah karbala, orang Sunni diperbolehkan menyelenggarakan salat berjamaah di bagian luar masjid. Sayangnya, kunjungan itu hanya sebentar sehingga hasil pengamatannya pun tidak bisa dijadikan rujukan.
Beberapa kali Andi Rahman mengunjungi kerajaan Saudi. Biasanya untuk keperluan pribadi. Saat menunaikan umrah, ia tidur di Masjidil Haram, bukan di hotel. Saat ke Madinah, ia juga tidur di masjid dan ikut pengajian yang diadakan setelah Shubuh dan Ashar. Ia bersyukur telah berziarah ke pemakaman Baqi’ dan pemakanan Badar, juga tempat-tempat yang bersejarah semisal goa Tsur dan masjid ‘Adas yang dulunya merupakan tempat Rasulullah beristirahat untuk mengobati luka di kakinya setelah dakwahnya ditolak oleh penduduk Thaif.
Di tempat-tempat yang unik, biasanya ada kejadian unik bahkan mencengangkan. Namun yang demikian itu biarlah menjadi pengalaman pribadi yang tidak perlu diceritakan kepada orang lain.
Hal yang lebih menyenangkan bagi Andi Rahman adalah bertemu orang[1]orang hebat. Saat masih di pesantren Tebuireng, Andi Rahman biasa sowan ke kiai Syansuri Badawi, salah satu murid hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Dengan difasilitasi syaikhuna Ali Mustafa Yaqub, Andi Rahman pernah bertemu syaikh Wahbah al-Zuhayli dan syaikh MM Azami. Bertemu orang-orang seperti ini, tentu merupakan pengalaman yang membahagiakan.
Berbahagia Dengan Darus-Sunnah
Pada tahun 2010 Andi Rahman menikah dengan Siti Robiah Adawiyah yang juga merupakan santri Darus[1]Sunnah. Teh Iwie, demikian orang[1]orang memanggil istrinya, tumbuh dari keluarga yang karismatik dan lingkungan pesantren. Pernikahan ini dihadiri dan didoakan oleh syaikhuna Ali Mustafa Yaqub dan banyak kiai lainnya.
Bagi Andi Rahman, syaikhuna Ali Mustafa Yaqub merupakan sosok yang amat berjasa, dan menjadi bagian dari keluarga Darus-Sunnah menjadi anugerah yang besar. Ia selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan dan keberkahan kepada syaikhuna Ali Mustafa Yaqub beserta keluarganya. Semoga Allah memberkahi pesantren Darus-Sunnah sebagai lembaga yang menyebarkan ajaran Ilahi dan menjaga sunnah Nabi Muhammad Saw.
Ia juga berdoa semoga Allah senantiasa memberinya kebahagiaan dan keberkahan. Ia dan keluarganya menjadi ahli ilmu sebagaimana doa yang senantiasa didengarnya dari syaikhuna Ali Mustafa Yaqub setelah salat berjamaah, “Allahumma faqqih man yadrus fi hadzal ma’had fiddin wa ‘allimhumut ta’wil” (Ya Allah, jadikanlah santri-santri yang belajar di pesantren ini orang-orang yang pandai dalam Agama, dan ajarkanlah mereka pemahaman al-Quran yang benar).
Demikianlah sepenggal cerita tentang sosok alumni Darus-Sunnah angkatan ke-2. Keinginannya untuk senantiasa meneladani syaikhuna Ali Mustafa Yaqub selalu ia patri dalm hati. Teladan menulis, mengajar, berkhidmah pada Rasul Saw, dan teladan-teladan lainnya. Semoga kita dapat mengikutinya. Amin