Menelusuri Akar Perbedaan Pendapat Hukum Memanjangkan Jenggot
Dengan jumlah warga muslim terbesar, topik keagamaan selalu menjadi topik menarik bagi warga Indonesia, terlebih setelah muncul media sosial yang memungkinkan orang-orang dari pelbagai daerah bertukar pendapat melalui platform-platform yang ada. Keleluasaan ini kadang memunculkan perdebatan, mulai dari antarpakar yang memang memiliki pengetahuan yang mumpuni atau sekadar warganet awam yang hanya ingin ribut, mengenai suatu hal. Salah satu topik keagamaan yang sangat umum, kalau tidak mau disebut basi, adalah masalah hukum memanjangkan jenggot. Ada dua kelompok yang berbeda pandangan masalah ini: kelompok yang mengatakan bahwa memanjangkan jenggot adalah wajib; dan kelompok yang mengatakan bahwa memanjangkan jenggot tidak lebih dari budaya Arab yang berhukum mubah.
Artikel pendek ini berusaha menjelaskan akar yang menimbulkan perbedaan pendapat pada mosi tersebut dengan menukil pendapat Prof. Ali Mustafa Ya’qub dalam karyanya, Cara Benar Memahami Hadis.
Perbedaan timbul kala ada perdebatan mengenai ‘illat dalam perintah yang terkandung dalam HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Umar,
خَالِفُوْا المُشْرِكِيْنَ أَخْفُوْا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُروا اللَّحْيَى
Artinya: “Bedakanlah tampilan kalian dari orang-orang musyrik: Cukurlah kumis dan biarkankah jenggot”
Bukan ‘illat dalam mustalah hadis
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dicatat bahwa ‘illat di sini merupakan istilah dalam usul fikih, bukan ilmu hadis. ‘Illat dalam ranah usul fikih, yang juga merupakan salah satu unsur qiyas (analogi), adalah sifat zahir yang dapat dipedomani dan menjadi pendeteksi hukum.
Pendapat pertama: wajib hukumnya memanjangkan jenggot
Kembali ke pembahasan hadis. Menurut kelompok pertama, memperpanjang jenggot dan mencukur kumis merupakan kewajiban dengan tujuan untuk membedakan kaum musyrik yang memperpanjang kumis dan mencukur jenggot. Pendapat ini diperkuat dengan hadis lain, yakni HR. Ahmad bin Hanbal,
قُصُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوْا اللَّحْيَى
Artinya: “Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot”
Hadis menjadi penguat bahwa memanjangkan jenggot adalah suatu kewajiban dalam rangka membedakan kaum muslimin dari kaum musyrik.
Pendapat kedua: Memanjangkan jenggot bukan sebuah kewajiban
Pendapat kedua mengatakan bahwa memanjangkan jenggot dan mencukur kumis bukan sebuah kewajiban. Menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah, perintah mencukur kumis dan memanjangkan jenggot dalam hadis dari ibnu Umar ra. merupakan hiponim dari kalimat sebelumnya, yakni kalimat yang memperintahkan muslimin untuk tampil beda dari kaum musyrik. Jadi, yang menjadi perintah utama di sini adalah membedakan diri dari kaum musyrik, bukan memperpanjang jenggot. Dengan kata lain, ‘illat atau tujuan dari perintah memanjangkan jenggot dan memperpendek kumis adalah kewajiban berbeda dari kaum musyrik.
Selanjutnya, mengenai HR. Ahmad yang hanya berisi perintah memperpanjang jenggot dan mencukur kumis dipahami sebagai hadis yang memiliki konten bersifat umum (mujmal) sehingga perlu penjelas (mubayyin). Penjelas dari hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Umar ra. tadi.
Pendapat kedua diperkuat dengan fakta bahwa dewasa ini, perbedaan penampilan kaum muslim dan non-muslim sudah sedemikian kabur. Banyak orang-orang non-muslim yang mempunya jenggot panjang begitupun sebaliknya, banyak orang-orang Islam yang tidak memanjangkan jenggotnya.
Perbedaan mengenai mana yang menjadi ‘illat dalam hadis tentang perintah memanjangkan jenggot menjadi akar dari munculnya perbedaan menganai hukum memanjangkan jenggot. wallahu a’lam