Mengambil Pelajaran dari Umat Terdahulu
Majalahnabawi.com – Berapa kali Allah sudah membinasakan bangsa-bangsa yang mendustai agama-Nya. Padahal mereka telah dikaruniai harta, keturunan, kedudukan, dan kesejahteraan. Mereka benar-benar merasakan kesenangan duniawi. Namun mereka tidak pandai bersyukur dan tidak dapat mengendalikan nafsu, justru mengikuti tabiat buruk syahwat. Setiap datang Rasul yang diutus, mereka dustakan. Dalam Quran al-Karim Allah berfirman:
“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, lalu Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri. Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (QS. al-An’am [6]: 6)
Imam al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, Tidakkah memperhatikan umat-umat sebelum mereka yang telah Allah binasakan karena mereka itu membangkang para rasul-Nya. Padahal Allah telah meneguhkan kedudukan mereka di muka bumi serta kesejahteraan, kebebasan, dan fasilitas hidup lainnya, tetapi disayangkan nikmat-nikmat tersebut membuat mereka sombong tidak menerima kebenaran. (al-Jami li-Ahkam al-Qur’an, Vol III, h. 928). Bahkan ketika Allah menurunkan air hujan dan sungai-sungai mengalir di perkebunan dan pertanian mereka, sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan nikmat-nikmat tersebut. Tetapi mereka tidak menyukuri nikmat-nikmat itu, mereka lupa bahkan melakukan perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Maraghi, Vol VII, h. 76).
Generasi yang Dibinasakan Allah sebab Pembangkangan Mereka
Di antara bangsa yang telah dianugerahkan Allah kesejahteraan hidup menurut al-Qurthubi merujuk kepada Fir’aun, telah dialirkan sungai-sungai untuk penghidupan mereka (QS. az-Zukhruf: 51). Juga harta dan perhiasan dunia (QS. Yunus: 88) dan selain itu juga memiliki struktur kenegaraan dan kekuatan militer yang hebat (QS. Shad: 12). Tapi, karena berpaling dari ajakan Nabi Musa, Allah tidak segan-segan membinasakan mereka dengan menenggelamkan di lautan. Begitu juga kaumnya Nabi Hud. Penduduk kota Iram ini diberi Allah Swt. Kekuatan konstruksi bangunan yang kokoh. Menurut tafsir as-Sa’di, tiba-tiba Allah mengirim angin yang sangat dingin dan kencang saat hari-hari bencana tersebut. Dengan hal itu mereka dapat merasakan kehinaan di dunia, dan azab akhirat lebih menghinakan karena perlawanan mereka terhadap aturan Allah. (QS. al-Haqqah: 6-8).
Demikian pula Kaum Tsamud. Mereka diberikan oleh Allah kemampuan fisik yang prima. Mereka mampu memecahkan bebatuan di atas lembah, kemudian Allah membumihanguskan mereka dengan mengirimkan petir halilintar yang menyambar dari langit atas mereka dan digoyang gempa dari bawah sehingga mayat-mayat jatuh bergelimpangan. Semua itu disebabkan karena kekufuran dan kemaksiatan mereka.(QS. al-Hijr: 83 dan QS. al A’raf: 78). Juga kaum Nabi Syu’aib yang enggan memenuhi seruan untuk menghamba kepada Allah malah menyembah pohon al-Aikah dan meninggalkan perbuatan buruk yaitu senang berbuat curang dalam takaran dan timbangan namun mereka menolak ajakan tersebut. Mereka diazab dengan tiga azab sekaligus. Yaitu gempa, suara keras mengguntur dan awan gelap yang menaungi mereka. (QS. al A’raf: 91-92).
Juga kaum Nabi Nuh dan kaum Saba’ yang sangat mudah ditenggelamkan Allah dengan banjir besar lantaran pembangkangan mereka. Allah Maha Kuat Maha Perkasa tiada tandingan bagi-Nya. Apapun kekuatan dan kemampuan yang dimiliki makhluk-Nya, jika Allah berkehendak untuk menghancurkannya, niscaya dalam waktu sekejap saja dapat dilakukan-Nya.
Demikianlah nasib umat yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi umat manusia, mengapa kita tidak mengambil hikmah darinya?
Pelajaran Berharga
Dari beberapa rangkuman kisah di atas, bencana yang menimpa suatu bangsa merupakan teguran Allah kepada mereka yang melakukan maksiat. Salah satu dari dua kategori dosa sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Maraghi, ada dosa berupa pendustaan terhadap ajaran Rasul, juga kufur nikmat dengan melakukan perbuatan aniaya (zalim), dan perbuatan merusak.
Secara spesifik Rasulullah pun menerangkan keterkaitan antara bencana dengan moralitas dalam sebuah Hadisnya yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Wahai sahabat Muhajirin, lima perkara ini apabila kalian diuji dengannya maka kalian akan menerima cobaan dan berbagai siksaan. Aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mengalaminya:
(1) Apabila masyarakat itu banyak melaksanakan perbuatan keji dengan terang-terangan, maka penyakit tha’un dan penyakit yang tidak pernah menimpa umat terdahulu akan mewabah.
(2) Orang-orang tidak mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan susah, dan kezaliman pemerintah.
(3) Apabila masyarakat tidak mau mengeluarkan zakat, maka mereka telah menahan tetesan air dari langit andai saja bukan untuk memberi minum binatang, mereka tidak akan diberi air hujan.
(4) Apabila masyarakat itu melanggar janji Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan membuat musuh-musuh menguasai mereka, kemudian musuh tersebut akan merampas sebagian hak milik mereka.
(5) Apabila pemimpin masyarakat itu tidak memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan di antara mereka.” (Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya, demikian Imam Adz-Dzhabi menyepakatinya).
Hadis tersebut juga sebagai penjelasan dari firman Allah, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum: 41). Al-Fasad (kerusakan) yang muncul di suatu bangsa semata-mata karena ulah dan laku masyarakat yang merusak. Allah sengaja ingin menegur mereka, dengan harapan mereka dapat meninggalkan perbuatan mereka yang mengakibatkan kerusakan. Dengan hal itu mereka dapat memperbaiki diri kemudian istiqomah dalam ketaatan dan ketakwaan.
Oleh karenanya solusi mengakar dan jalan keluar hakiki agar dapat keluar dari krisis yang melanda suatu bangsa adalah dengan kembali ke jalan yang benar. Lebih tegas dan konkret lagi Allah menjelaskan maksud jalan itu adalah ad-din al-qayyim, yakni agama yang lurus (QS. ar-Rum: 43) dengan mengarahkan wajah dan wijhah (orientasi hidup) kita kepada ajaran Allah yang benar. Kembali kepada Allah artinya juga meninggalkan segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat serta memperbaiki kesalahan-kesalahan pribadi dan konstitusi, baik pemimpin maupun pada tataran manyarakat.