Mengapa Bidayatul Mujtahid Karya Imam Ibnu Rusyd (520-595 H) Penting?; Catatan Singkat Penutupan Akhir Semester
Majalahnabawi.com – Di tengah centang perenang perbedaan pendapat keagamaan, terlebih di media sosial, penting kiranya kita rehat sejenak. Menoleh ke belakang, menimba inspirasi metodologis dari ulama-ulama dahulu dalam meyikapi perbedaan, khususnya dalam ranah memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Terkait hal ini, salah satu referensi penting yang bisa kita dedah ruh inspirasinya adalah kitab karya Imam Ibnu Rusyd yang berjudul “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid”. Setidaknya ada dua hal menarik dari karya yang ditulis 9 abad yang lalu itu. Pertama, kitab bergenre fikih ini memberikan paparan yang luas terkait kesamaan pendapat ahli fikih, sekaligus perbedaannya.
Keistimewaan Kitab Bidayah
Lebih-lebih, kitab yang ditulis oleh ulama Qordoba Andalusia (Spanyol) ini tidak hanya memaparkan diskursus ijtihad hukum di era pembukuan dan perkembangan mazhab-mazhab Fikih (abad II-IV) saja, tetapi juga menyajikan tilikan genealogis perbedaan itu hingga ke ahli fikih era Tabiin dan Sahabat. Semisal pendapat Sayidina Ibnu Umar (73 H), Sayidina Ibnu Abbas (68 H), Imam Hasan al-Basri (21-110 H), Imam Mujahid (21-104 H), dan lain sebagainya.
Kedua, kitab setebal 774 halaman ini akan menuntun pembacanya untuk menyelami alur argumentasi dari ragam perbedaan di atas. Di titik inilah, kita akan disuguhi ulasan bernas dan cadas terkait bagaimana perbedaan hasil ijtihad itu dimungkinkan. Mulai dari analisis kevalidan dalil, analisis kebahasaan, hingga analisis perspektif dan paradigma berfikir dari masing-masing mazhab.
Sebagai misal, dalam permasalahan zakat harta anak yatim, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mewajibkan, ada yang tidak mewajibkan, ada pula yang mentafshil (memerinci). Perbedaan hukum ini wajar terjadi, karena ada sebagian ulama yang melihat zakat itu seperti halnya ibadah wajib lainnya semisal shalat dan puasa, sehingga disyaratkan balig. Tetapi ada juga yang memosisikan zakat itu sebagai hak kaum fakir miskin yang harus ditunaikan dari harta orang kaya. Tidak perlu orang kaya tersebut sudah balig atau belum.
Dari dua hal ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa perbedaan pendapat tidak harus disikapi dengan saling menyalahkan. Apalagi saling memaki dan menyudutkan. Indah sekali jika perbedaan tersebut kita dialogkan dan kita uji dengan kerendahan hati. Perbedaan adalah rahmat jika kita mampu menyikapi dengan cerdas dan bijak.