|

Mengenal al-Dakhil Fi Tafsir

Majalahnabawi.com – al-Dakhiil fi tafsir dua kalimat yang jarang sekali terdengar oleh kebanyakan orang. Adapun kalimat akhir dari al-Dakhil fi tafsir sudah banyak didengar dan dipahami oleh banyak orang dari intelektualnya dan awamnya. kalimat ini jarang terdengar karena merupakan nama baru dari sebagian pembahasan tafsir itu sendiri akan tetapi para mufasir kontemporer mendiskusikan sebagian tema-tema tafsir dengan serius dan melahirkan satu bidang baru dalam tafsir yang disebut al-Dakhil fi tafsir.

Secara Bahasa al-Dakhil berarti sesuatu baru yang masuk pada hal lain yang tidak memiliki asal. secara terminologi al-Dakhil didefinisikan sebagai suatu penjelasan tafsir yang tidak mempunyai sandaran yang tidak valid[1]. dikatakan tidak valid karena beberapa penjelasan tafsir bersumber dari sumber yang dinilai tidak memiliki kapasitas dalam menafsirkan Al-Quran yang membuahkan penjelasan tafsir tidak sesuai dengan standar.

Tema-tema al-Dakhil Fi Tafsir

al-Dakhil fi tafsir merupakan salah satu Bahasan dari ilmu tafsir mengenai sumber-sumber tafsir yang tidak valid untuk dijadikan sumber untuk menafsirkan al-Quran. Oleh karena itu tema – tema dalam bahasan ini tidak lain adalah bagian dari ilmu tafsir. Tema -tema tersebut adalah:

  1. Israiliyat (Kisah-kisah yang diambil dari selain Islam)
  2. Hadis-hadis Maudhu’ (Hadis-hadis palsu)
  3. Kaidah – kaidah Bahasa arab
  4. Faktor-faktor penyimpangan dalam tafsir

Sikap Ulama terhadap al-Dakhil Fi Tafsir

Walaupun al-Dakhil fi tafsir adalah cabang ilmu tafsir yang baru akan tetapi embrio pemikiran mengenai alDakhil fi tafsir telah melekat pada ulama-ulama Islam klasik. Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M) semasa hidupnya Imam Ahmad bin Hanbal tak berhenti mengkritik ideologi Muktazilah yang diadopsi penguasa pada saat itu dengan tafsir yang salah dipahami oleh Muktazilah, Imam Ahmad juga salah satu ulama yang gencar mengkritik tafsir – tafsir yang bersumber dari sumber yang tidak valid.

Ibnu Jarir at-Thobari (839-923 M) yang dinobatkan sebagai mufasir pertama dalam kajian tafsir telah menetapkan sistem isnad (sanad) dalam tafsir Al-Qur’an. Sistem ini dilakukan sebagai sikap preventif darinya agar tafsir Al-Quran tidak diambil dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan agar tafsir hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas dalam hal itu.

Selain kedua ulama hebat itu masih ada ulama lain yang membahasnya yaitu Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) melalui karyanya Muqoddimah fi usul al-Tafsir. Ibnu Taimiyah mengkrtitik akan konsumsi para mufasir pada israiliyat dan hadis-hadis maudhu’ serta sejumlah ulama yang mengomentari akan adanya alDakhil ialah Ibnu Katsir (1300-1374 M) dan as-Suyuthi (1445-1505 M)[2].


[1] ibrahim Khalifa, al dakhil fi tafsir.

[2] Retno Prayudi, penerapan metode al dakhil dalam tafsir Al-Quran (sukabumi: haura utama,2023), hal 39.

Similar Posts