Mengenal Ilmu Qira’at

Mengenal Ilmu Qira'at

Majalahnabawi.com – Dalam khazanah Studi al-Quran (Ulumul Quran) ada satu cabang yang masih terdengar asing, bahkan sering kali disalahpahami, yakni Ilmu Qira’at. Saking asingnya, penulis pernah mendapati kesalahan dalam memahami salah satu terma pada bidang ini yakni qira’at al-sab’i atau yang di Indonesia lebih populer dengan qira’at sab’ah. Ada sebagian orang yang memahami qira’at sab’ah sebagai tujuh nagham atau langgam dalam membaca al-Quran yang beranggotakan Bayati, Hijaz, Sika, Shoba, Nahawand, Rost, dan Jiharka. Padahal langgam yang tujuh ini bukanlah yang dimaksud dengan qira’at sab’ah. Penjelasan apa itu qira’at sab’ah menjadi salah satu bahasan dalam artikel ini.

Pengertian Ilmu Qira’at

Ilmu Qira’at adalah ilmu yang berkaitan dengan cara pengucapan teks-teks al-Quran. Secara etimologis kata Qira’at merupakan jama’ dari qira’ah yang berasal dari kata ق-ر-أ. Kata tersebut dapat bermakna menghimpun dan menggabungkan (al-jam’u wa al-dhammu), dan membaca (at-tilawah). [Romlah Widayati, dkk, Ilmu Qira’at 1, IIQ Jakarta Press: 2020, h.7].

Adapun pengertian Ilmu Qira’at secara terminologis, Imam al-Zarqani, dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an menjelaskan pengertian Ilmu Qira’at,

مذهبٌ يذهب إليه إمامٌ من أَئِمَّةِ القُرّاءِ مُخالِفا به غيره في النُّطْق بالقرأٓن الكريم مع اتِّفاق الرِّوايات والطُّرُق عنه سواءٌ أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هَيْئَاتِها

Salah satu madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) al-Quran yang dipilih oleh salah seorang imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya di mana periwayatan dan tariqnya disepakati/diterima. Baik perbedaan tersebut terletak pada cara mengucapkan huruf maupun bentuk-bentuk perbedaan kosa katanya.

Sedangkan dalam kitab al-Budur az-Zahirah, Syekh Abdul Fattah al-Qadhi mendefinisikan Ilmu Qira’at dengan lebih umum lagi: Ia tidak membatasi penamaan Qira’at hanya untuk bacaan yang disepakati saja, tetapi juga bacaan yang masih terdapat perselisihan statusnya,

علم يُعرف به كيفيةُ النطق بالكلمات القرآنية و طريق أدائها اتفاقا واختلافا مع عَزْو كل وجه لناقله

Ilmu yang membahas cara-cara mengucapkan kata-kata al-Quran, baik yang disepakati (oleh ahli qira’at) atau yang diperselisihkan, dengan selalu menisbatkan semua bacaan tersebut kepada para perawinya masing-masing.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Ilmu Qira’at adalah ilmu yang membahas tentang ragam bacaan (qira’at) al-Quran, baik perpindahan huruf dan harakat, perubahan dialek seperti tahqiq, isymam, imalah, dan sebagainya, yang diperoleh dari periwayatan para imam qira’at, dari generasi ke generasi, hingga sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu keragaman qira’at masuk ke ranah tauqifi, tidak masuk dalam ranah ijtihadi.

Dasar Keberagaman Qira’at

Perlu diketauhi pula bahwa keragaman qira’at sudah eksis sedari masa turunnya al-Quran. Sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam sahihnya menjelaskan bahwa bacaan al-Quran yang diajarkan Rasulullah kepada Umar bin Khattab ra. berbeda dengan bacaan yang diterima oleh Hisyam bin Hakim ra. Uniknya, keduanya sama-sama benar. [Lihat Fathul Bari, kitab fadhail  al-Quran, bab unzila al-Quran ‘ala sab’ati ahruf, hadis no. 4992, h. 20, al-Alamiyah]

Ragam Klasifikasi Qira’at

Jika dilihat dari segi kuantitas rawinya, ada tiga macam kategori qira’at. Pertama adalah qira’at sab’ah. Terma ini merujuk pada qira’at-qira’at yang diriwayatkan oleh imam yang tujuh dengan masing-masing dua perawi: Nafi’ – Qolun dan Warsy; Ibn Katsir – al-Bazzi dan Qunbul; Abu ‘Amr al-Bashri – ad-Duri dan as-Susi; Ibn ‘Amir – Hisyam dan Ibn Dzakwan;  ‘Ashim – Syu’bah dan Hafsh; Hamzah – Khalaf dan Khallad; al-Kisai – Abu al-Harits dan ad-Duri al-Kisai. Tujuh qira’at ini dihimpun dan dipopulerkan oleh Abu Bakr Ibnu Mujahid (w.324/938).

Yang kedua adalah qira’at asyrah. Istilah ini mengacu pada bacaan-bacaan yang diriwayatkan oleh imam yang sepuluh. Mereka adalah tujuh imam yang telah disebutkan sebelumnya ditambah dengan tiga imam lain. Yakni Abu Ja’far al-Madani (Yazid bin al-qa’qa’) dengan kedua perawinya, Ibn Wardan dan Ibn Jammaz; Ya’qub al-Bashri beserta dua perawinya, Ruwais dan Rauh; dan Khalaf dengan dua perawinya, Ishaq dan Idris.

Yang ketiga adalah qira’at arba’ asyrah. Istilah ini mengacu pada bacaan yang diriwayatkan oleh sepuluh imam yang telah disebutkan sebelumnya ditambah empat imam. Yaitu Hasan al-Bashri, Muhammad bin Abdurrahman (Ibn Muhaisin), Yahya bin al-Mubarak, dan Abu al-Faraj Muhammad bin Ahmad as-Syanabudz. [Manna Al-Qathan, Mabahits fi ulum al-Quran]

Adapun apabila ditinjau dari segi kualitas rawinya, hanya qira’at sab’ah dan qira’at asy’rah saja yang dikategorikan sohih lagi mutawatir (kemutawatiran qira’at ‘asyrah terdapat perselisihan pendapat). Sedangkan qira’at arba’a ‘asyar masuk dalam kategori qira’at syaddzah. Qira’at ini mengacu pada bacaan yang tidak memenuhi kriteria keabsahan yang telah ditetapkan, seperti kualitas sanadnya tidak sohih. Atau bisa jadi sanadnya sohih tetapi tidak sesuai dengan tata bahasa Arab dan rasm Usmani. [Romlah Widayati, dkk, Ilmu Qira’at 1, IIQ Jakarta Press: 2020, h.17-20]

Letak Perbedaan Bacaan

Letak perbedaan bacaan para imam qira’at  terdapat dalam dua tempat. Pertama dalam hal ushuliyyah. Contohnya adalah perbedaan mim jama’, ahkam mad wa al qashr, hamzah mufrad, ha kinayah, idgham kabir, dll. Contoh perbedaan bacaan pada mim jama’ misalnya kalimat عليهم غير , pada kalimat ini terdapat kaidah mim jama’ (mim pada lafadz هم) terletak sebelum huruf berharakat selain hamzah qatha’ yaitu غ. Qolun membacanya dengan dua wajah bacaan, yang pertama mim dibaca sukun (عَلَيْهِمْ غَيْرِ), yang kedua mim dibaca shilah, yakni menyambung mim jama’ dengan huruf mad wawu (عليهمو غير). Wajah bacaan Qolun yang kedua ini sama dengan bacaan Imam Ibnu Katsir beserta kedua perawinya al-Bazzi dan Qunbul. Adapun imam qira’at selain yang telah disebutkan tadi yakni Abu Amr, Ibn Amir, Ashim, Hamzah, al-Kisai dan Warsy membacanya seperti wajah bacaan Qolun yang pertama yaitu dengan sukun mim.

Kedua dalam hal farsy al-huruf atau kaidah-kaidah yang berlaku pada lafaz-lafaz tertentu seperti yang terjadi pada kalimat مالك di surat al-Fatihah. Ada yang membaca مالك (dengan alif) dan ada yang membacanya ملِك (dengan membuang alif).

wallahu a’lam.

Similar Posts