Mengenal Jarh wa Ta’dil dan Pertentangannya di Kalangan Para Ulama

Majalahnabawi.comIlmu Jarh wa Ta’dil merupakan ilmu yang membahas mengenai kritikan akan adanya “aib” atau memberikan pujian adil kepada para perawi hadis.

Seiring berkembangnya zaman, pembahasan ilmu hadis mengalami perluasan secara signifikan. Penyebabnya karena jauhnya jarak kita dengan sang Nabi, sehingga untuk tetap menjaga orisinil kemurnian hadis, seseorang perlu mengetahui dari siapa dia mendapatkan hadis.

Telah kita ketahui, bahwa tidak semua hadis dapat diterima periwayatannya. Artinya, terdapat hadis yang berpotensi tertolak dan para ulama tidak menjadikannya hujah. Dengan demikian, instrumen penting dalam menerima periwayatan hadis ialah dengan cara melihat dari siapa riwayat tersebut disampaikan.

Dalam disiplin ilmu hadis, pembahasan di atas dinamakan dengan Jarh wa Ta’dil. Para Ulama menspesifikasikan ilmu ini untuk mengupas para perawi hadis, baik dari segi integritasnya (keadilannya) maupuan kecacatannya (jarh). Tulisan ini akan sedikit memberikan gambaran, bagaimana para ulama melekatkan status seorang perawi hadis.

Mengenal Jarh wa Ta’dil dan Argumentasi

Secara leksikal, Jarh bermakna melukai. Sementara Ta’dil bermakna menyamakan atau meluruskan sesuatu dan mempertimbangkannya dengan yang lain. Adapun secara terminologi, ilmu Jarh wa Ta’dil ialah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah Jarh dan Ta’dil terhadap para perawi {baca: Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil}.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan ilmu yang membahas mengenai kritikan akan adanya “aib” atau memberikan pujian adil kepada para perawi hadis.

Al-Quran memberikan landasan yang kuat untuk menepis segala berita bohong, terutama yang berkaitan dengan tempat merujukannya argumentasi agama – al-Quran dan Sunnah-. Allah memerintahkan kita untuk mencari kebenaran (bertabayun) tatkala datang sebuah berita dari orang yang fasik. (al-Hujurat: 6)

Sejalan dengan itu, Nabi pun dengan tegas menyampaikan, “Bahwa setiap orang yang berbohong atas namaku (Nabi) dengan sengaja, hendaknya ia bersiap-siap mengambil tempatnya di neraka.” (HR. al-Bukhari)

Pembahasan di atas cukup mudah dalam segi teori, tapi cukup sulit dalam penerapannya. Seseorang harus cermat ketika melakukan penilitian, baik dari segi ketersambungan perawi (ittishal), biografi perawi (tarajim), derajat perawi di mata ulama, yang semuanya dapat berimplikasi pada penerimaan dan penolakan sebuah hadis.

Pertentangan Jarh Wa Ta’dil

Terkadang terdapat pertentangan di kalangan ulama ketika menilai seorang perawi. Terdapat dua klasifikasi mengenai pertentangan ini. Pertama, ketika pertentangan Jarh wa Ta’dil ini terjadi antara ulama satu dengan yang lain. Kedua, ketika pertentangan ini terjadi pada satu orang ulama, artinya ia memberikan dua penilaian terhadap satu perawi.

Untuk mempermudah pembahasan di atas, saya mencoba memberikan contoh yang sederhana. Misalnya ulama A memberikan legitimasi Tsiqoh kepada seorang perawi, sedangkan ulama B (lain) malah mendhai’fkan perawi tersebut. Sehingga terjadilah pertentangan di kalangan para ulama dalam penilainnya.

Dalam kasus ini, mayoritas ulama mengedepankan Jarh al-Mufassar (kritik dengan alasan) dari pada Ta’dil (pujian). Penyebab hal itu karena ulama yang menjarh memiliki pengetahuan yang lebih (cermat) dalam melihat kekurangan perawi yang mungkin saja tak terlihat oleh ulama yang menta’dilnya.

Contoh sederhananya, seorang perawi mendapatkan predikat adil dari beberapa ulama karena -secara zhahir- mereka melihat perawi tersebut shaleh dalam beribadah (tidak fasik).

Ternyata di kemudian hari, ada ulama lain yang melihat perawi tersebutsedang membuang air seni secara sembarangan. Perilaku tersebut berdampak pada rusaknya muru’ah perawi –muru’ah termasuk dalam standarisasi Adil-. Dengan demikian, jelaslah bahwa ulama yang menjarh memiliki kelebihan pengetahuan yang menjadi argumennya dalam menjarh perawi tersebut.

Di atas adalah contoh mengedepankan kritik berargumen dari pada pujian terhadap perawi. Lain halnya jika kritikan tersebut Ghairu al-Mufassar (Tanpa alasan).

Dalam hal ini Imam al-Sakhawi berpendapat untuk mengedepankan Ta’dil dari pada Jarh. Hanya saja ketetapan itu tidak mutlak, karena label Adil/Tsiqoh yang ulama Mutasahil (gampangan/longgar) berikan tidak lebih kuat dari Jarh yang ulama yang adil/mutasyaddid (keras) berikan.

Pertentangan dalam satu orang Imam

Selain itu, terdapat pertentangan yang terjadi dari satu orang Imam. Dalam hal ini terdapat beberapa cara untuk menentukannya. Pertama, menjelaskan perubahan ijtihad Imam tersebut dalam memberikan Jarh wa Ta’dil.

Misalnya hari ini seorang Imam memberikan label Tsiqoh kepada seorang perawi, sedangkan beberapa bulan kemudian, ulama tersebut malah melabelkan Dha’if kepada perawi yang sama karena beberapa alasan, seperti perawi tersebut menjadi pikun, catatannya terbakar dll. Dalam kasus ini, maka perkataan terakhir dari Imam tersebutlah yang menjadi sandaran.

Kedua, ketika tidak ada penjelasan tentang perubahan ijtihad Imam tersebut dalam memberikan Jarh wa Ta’dil. Maka langkah selanjutnya adalah menggabungkan kedua perkataannya,

Dalam kasus ini, terkadang ulama memberikan label tsiqoh bukan berdasarkan bahwa perawi tersebut memang berintergritas, tapi karena membandingkan dia dengan perawi yang memang lebih lemah dari dirinya.

Contoh, seorang bertanya kepada Imam Usman al-Darimi tentang Ibn al-A’la dan Sa’id al-Maqburi. Usman mengatakan bahwa Sa’id lebih tsiqoh dari pada al-a’la. Alasan Sa’id lebih tsiqoh karena dia lebih unggul dan tsiqah daripada al-A’la yang kedudukannya lebih lemah.

Jika perkataan ulama tersebut tidak bisa dijamak (dikompromikan), maka hendaknya mentarjih (memilih) salah satu dari Ijtihad Imam tersebut. Misalnya dengan melihat jangka waktu hubungan antara murid dengan gurunya (Mulazamah). Seperti  mengedepankan riwayat Abbas al-Duuri dari Ibn Ma’in disebabkan lamanya ia berguru.

Jika semua langkah itu tidak menemukan hasil, maka hendaknya kita bertawaqquf.

Pembahasan di atas hanya sebagai pedoman atau panduan bagi kita sebagai penuntut ilmu hadis dalam mencari kedudukan seorang perawi.

Adapun ketentuan tersebut tidak bernilai mutlak. Sehingga mengharuskan kita untuk tetap meneliti dan mencari informasi mengenai perawi tersebut.

Similar Posts