Mengenal Khitob dalam Al-Quran

majalahnabawi.com – Ketika Allah Swt., berbicara dengan khitob tertentu kepada Nabi Saw., apakah pembicaraan itu hanya terkhusus untuk Nabi Saw., atau pembicaraan itu juga mengarah kepada umatnya?. Tulisan singkat ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

Muhammad Amin as-Syinqithi (w. 1394) mengatakan: “ketika ayat Al-Quran secara spesifik tertuju kepada Nabi Saw., maka ada tiga kemungkinan:

  1. Nabi Saw., tidak masuk dalam perintah ayat tersebut
    Allah Swt., berfirman:

    وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا

    Artinya: Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik“. (QS. Al-Isra 17:23)

    وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

    Artinya: Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil”. (QS. Al-Isra 17:24)

    Ayat ini menerangkan tentang sikap yang harus dilakukan seseorang kepada orang tuanya. Khitob pada ayat di atas semuanya ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., namun sejatinya Nabi Saw., tidak masuk dalam khitob ayat tersebut. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad Saw., sudah tidak lagi memiliki kedua orang tua saat ayat ini turun.

    Oleh karena itu, meskipun khitob pada ayat di atas hanya tertuju pada Nabi Saw., namun sejatinya itu bukan perintah kepada Nabi Saw., akan tetapi perintah untuk semua kaum Muslimin.
  2. Nabi Saw., secara khusus, tidak bagi selainnya
    Allah Swt., berfirman:

    وَامْرَاَةً مُّؤْمِنَةً اِنْ وَّهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ اِنْ اَرَادَ النَّبِيُّ اَنْ يَّسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۗ

    Artinya: “…dan perempuan mukminat yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin (yang lain).” (QS. Al-Ahzab 33:50)

    Ayat ini menjelaskan apabila ada seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Nabi Muhammad Saw., untuk dinikahi, maka Nabi Muhammad Saw., boleh menikahinya tanpa memberinya mahar.

    Ibnu Katsir (w. 774) mengutip dalam kitabnya perkataan Ikrimah, ia mengatakan: “ketentuan ini hanya berlaku untuk Nabi Muhammad Saw., saja, tidak bagi selainnya. Sehingga, apabila ada perempuan datang kepada seorang laki-laki di antara kita untuk dinikahi, dan laki-laki itu berkenan menikahinya, maka ia tetap diharuskan memberi mahar.
  3. Mencakup Nabi Saw., dan selainnya
    Allah Swt., berfirman:

    يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللّٰهَ وَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۙ

    Artinya: “Wahai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Alah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“. (QS. Al-Ahzab 33:1)

    Perintah untuk bertakwa kepada Allah Swt., dan tidak mengikuti ajakan kaum kafir dan munafik tentu harus dilakukan oleh semua kaum Muslim bukan hanya untuk seorang saja.

    Begitu juga Firman Allah :
    خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

    Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

    Ibnu Katsir (w. 774) menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini dijadikan hujjah bagi orang-orang yang menolak membayar zakat kepada pemimpin umat di masa kehalifahan Abu Bakar ra. Mereka mengatakan, kewajiban membayar zakat kepada pemimpin umat hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw., tidak bagi selainnya. Mereka berargumen, ayat di atas secara redaksional hanya tertuju pada Rasulullah Saw., (خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ). Pemahaman ini ditentang keras oleh Abu Bakar ra., dan banyak sahabat lainnya.

    Pemahaman yang benar terkait ayat ini menurut Abu Bakar ra., adalah perintah untuk mengambil harta zakat dari orang-orang kaya bukan hanya tertentu bagi Nabi Muhammad Saw., saja, melainkan kepada semua pemimpin umat islam setelahnya.

    Nantinya setelah harta zakat itu diambil, pemimpin umat akan membagikan harta itu kepada orang-orang yang berhak menerima zakat di wilayah kekuasaanya.

    Walaahu A’lam

Similar Posts