Mengenal Pemikiran R.A. Kartini
Majalahnabawi.com – Seandainya orang-orang telah membaca tulisan R.A Kartini yang tertuang dalam buku “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT”, saya rasa semua akan mengetahui mengapa Kartini memiliki hari khusus yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia. Pemikirannya masih relevan hingga saat ini, dan gagasan yang diperjuangkan olehnya pun sangatlah mendalam. Saya rasa tidaklah berlebihan jika mengatakan, bahwa pemikiran Kartini sudah jauh lebih maju dan modern melampaui masyarakat dan pada zamannya. Emansipasi yang dilakukan memang bukan dengan kekerasan, tapi senjata yang dibawa untuk mendobrak setreotip pada masa itu adalah kasih sayang.
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat lahir pada 21 April 1897, dari golongan bangsawan jawa yang beragama Islam. Dia memberikan sumbangsih terhadap bangsa, melalui pemikirannya terhadap fenomena yang ada. Bagaimana perempuan seolah tidak memiliki otoritas terhadap dirinya sendiri. Kesenjangan sosial dan pembedaan kelas kala itu sangat lah terasa. Meskipun ia dari kalangan atas, hebatnya ia tidak acuh terhadap kebudayaan yang bertentangan dengan kemanusiaan, bahkan memperhatikan golongan kelas bawah.
Dalam pengamatannya, tidak hanya budaya yang mengekang kebebasan perempuan saat itu, tapi agama pun dijadikan sebagai alat terjadinya perpecahan dan penindasan. Agama yang semula mengajarkan kasih sayang dan saling menghormati, berubah menjadi wajah seram lagi menyeramkan.
Agama Kasih
Agama diciptakan sebagai berkah bagi kemanusiaan, menyatukan manusia dari ras, bangsa dan suku yang berbeda-beda. Salah satu kritikan R.A Kartini terhadap pemeluk agama, “Alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya mempersatukan umat manusia, sejak berabad-abad lalu telah menjadi pangkal perpercahan dan perselisihan, pangkal pertumpahan darah. Tempat ibadah yang berbeda menjadi dinding antara dua hati yang saling mengasihi. Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia? Sebab agama yang menyuruh kita untuk menjauhkan diri dari dosa, justru menjadi alasan yang sah untuk kita berbuat dosa. Kiranya berapa banyak dosa yang dilakukan manusia atas nama agama?
Kartini sempat sedikit mengacuhkan agama, sebab banyak sekali hal-hal yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh orang-orang berkedok agama. Namun lambat laun ia mulai menyadari, bukanlah agama yang tidak memiliki kasih sayang, melainkan manusia lah yang mengubah sesuatu yang awalnya suci dan bersih menjadi kotor. Sepanjang pengamatannya, agama yang paling suci ialah agama kasih sayang. Menurut Kartini peradaban bukanlah dilihat dari warna kulit, bukan dengan bahasa yang dipakai, tapi peradaban yang sesungguhnya ialah akhlak dan keagungan jiwa. Keduanya harus diagungkan oleh semua negara yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan.
Perjuangan Hak Yang Sama
Ia mengkritik mengapa perempuan selalu diperlakukan berbeda dari laki-laki. Keinginan dan harapannya pun selamanya hanya menjadi angan-angan. Ia terkurung oleh budaya yang menuntutnya untuk tetap tunduk dan menurut seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekehendak orang-orang.
Kritikannya dalam perjuangan bukan bertujuan untuk mengambil alih dominasi laki-laki, buktinya ia pun tidak diam ketika sesama perempuan saling menjatuhkan. Dalam istilah saat ini dikenal dengan matriarki, pengelompokan sosial yang diambil alih oleh perempuan. Karena jika tujuan Kartini seperti itu, maka tidaklah berbeda dengan patriarki yang mengesampingkan perempuan. Tapi tujuan yang dia miliki adalah bagaimana keduanya memiliki hak yang sama.
Telinga kita tak asing lagi mendengar segala umpatan yang disampaikan oleh ibu, bibi dan saudara, “anak perempuan, ia cuma anak perempuan” atau perndapat yang lain “perempuan bukan apa-apa, perempuan diciptakan untuk laki-laki, untuk kesenangannya, mereka dapat membuat sekehendak hati terhadap perempuan” kalimat hinaan yang menghujam bagaikan petir di telingnya. Itu adalah salah satu peristiwa yang ditulis oleh Kartini dalam bukunya.
Peristiwa tersebut menyakiti jiwa Kartini dan saudara-saudaranya, bahwa ketika itu perempuan masih dianggap bukan makhluk yang memiliki kedudukan sama dengan laki-laki. tetapi lebih dari itu, seolah tidak memiliki peran untuk berkontribusi terhadap bangsa.
Istilah Ibu
Perjuangannya untuk mengangkat derajat perempuan sangat terlihat dari tema-tema yang ia bahas, kejadian yang ia lihat merupakan kerasahan yang mendalam dan hal-hal yang dianggap diskriminasi. salah satunya ialah istilah “ibu”, benarkah gerangan bahwa perempuan sempurna ketika ia sudah menikah? Apakah kemuliaan perempuan hanya dapat dinikmati ketika sudah menjadi ibu? Pengertian “Ibu” yang dipahami oleh kartini tidak lah sama dengan pengertian saat ini. Pada saat ini Ibu ialah perempuan yang telah bersuami, memiliki anak. Sedangkan dalam pemahaman kartini, ibu ialah makhluk yang berhati kasih dan berbakti.
Kartini memahami, jika kata ibu disematkan untuk perempuan yang memiliki anak saja, maka betapa kejamnya dunia yang beranggapan, bahwa hanya sebagian darah daging sendiri sajalah yang patut dikasihi, dengan mengorbankan diri sendiri sepenuhnya. Betapa banyak nama ibu hanya sebatas nama, tapi sebenarnya orang tersebut tidak patut memakai kata ibu. Menurutnya, semua perempuan yang mengorbankan dan menyerahkan seluruh jiwanya dengan segala cinta kasih, dan bakti kepada orang lain, itulah yang pantas menyandang kata ibu yang sebenarnya.
Dalam tulisannya, terlihat bagaimana ia menghargai kemanusiaan, keprihatinannya terhadap kondisi budaya yang ada dan segala fenomena yang terjadi atas nama agama ataupun yang lainnya. Ia menjadikan kasih sayang sebagai senjata untuk melawan itu semua. Setiap gerakan tidak harus dilakukan dengan kekerasan, tapi tulisan pun merupakan sebuah perlawanan. Ini merupakan contoh yang baik bagi kita yang membaca tulisannya, bahwa untuk melakukan perlawanan tidak harus menumpakan darah, menghina, menjatuhkan, tapi menjadikan kasih sayang sebagai senjata adalah perilaku yang amat tinggi bagi seseorang manusia untuk memahami makna kemanusiaan.
Rasanya tidak akan cukup jika membahas keseluruhan Kartini di sini, mungkin ini lah kisah singkat dari sang putri sejati. untuk menutup tulisan ini, saya megutip perkataan R.A Kartini “Saat suatu hubungan berakhir, bukan berarti orang berhenti saling mencintai. Mereka hanya berhenti saling menyakiti”
“HABIS GELAP TERBITLAH TERANG – DOOR DUISTERNIS TOT LICHT”