MENGENAL TAFSIR SUFI
Majalahnabawi.com-Dalam diskursus tafsir al-Qur’an kita mengenal berbagai macam corak penafsiran, salah satunya adalah tafsir dengan corak sufistik. Corak ini mempunyai karakteristik khusus, hal ini tidak terlepas dari epistemologi dari kaum sufi sendiri, yakni epistemologi irfani. Tafsir sufi berangkat dari asumsi bahwa al-Qur’an memiliki makna zahir dan batin. Menurut kalangan sufi, menafsirkan al-Qur’an berdasarkan analisis kebahasaan saja tidak cukup, dan hal itu dipandang baru memasuki tataran makna (eksoteris) saja. para sufi menilai hal itu sebagai tataran badan al-aqidah (tubuh akidah). Sementara model tafsir sufi menempati posisi ruhnya (esoteris). Untuk memperoleh pengetahuan tentang makna batin al-Qur’an seorang sufi terlebih dahulu harus melakukan latihan rohani (riyadah al-Ruhiyah) agar dapat menyingkap isyarat suci sebagai limpahan gaib, atau pengetahuan subhani yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Polarisasi Tasawuf
Dalam tasawuf terjadi polarisasi menjadi dua kelompok. Yakni Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi. Ada juga yang menyebut menjadi tiga, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi dan tasawuf ‘Irfani. Namun secara umum lebih kita kenal dengan dua saja, yaitu tasawuf sunni amali dan tasawuf-falsafi.
- Tasawuf sunni identik dengan mengedepankan ajaran keadaan seorang hamba (hal) tingakatan rohaniah (maqam) seperti zuhud, taubat, ridha’ tawakkal dll.
- Sedang tasawuf-falsafi identik dengan istilah-istilah atau ungkapan (shatahat) yang sulit dipahami kecuali orang yang mengalaminya sendiri seperti istilah ittihad, hulul, fana’ baqa’ dan wahda al-wujud.
Abū al-Wafā al-Taftazānī menjelaskan, ada dua orientasi dalam sufisme yang berkembang pada abad 3 dan 4 H. yaitu orientasi moderat dan semi filosofis.
- Menurutnya, sufisme yang berorientasi moderat melandaskan ajaran-ajarannya dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Arah aliran sufi ini lebih bersifat moralitas, sehingga kita sebut tasawuf akhlāqī. Tokoh utamanya adalah Junaid al-Baghdādī (w. 298 H), al-Qushairī (w. 465 H), dan AbūḤamid al-Ghazālī (w. 505 H)
- Sedangkan orientasi kedua adalah semi filosofis. Semi filosofis ini berawal dari teori fanā dalam dunia filsafat, yang menjelaskan antara hubungan manusia dengan Tuhan. Tokoh utama dari fanā (hulūl) ini adalah Abū Yazīd al-Busthāmī (w. 261 H) dan al-Ḥallāj (w. 301 H). Menurut al-Taftazānī, orientasi yang asalnya masih bersifat semi filosofis ini pada akhirnya kemudian lebih kental pada aspek filosofisnya, sehingga ulama menyebutnya sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menggunakan termonologi filsafat dalam ajaran-ajaran tasawufnya. Dua orientasi dalam tasawuf ini kemudian bersentuhan juga dengan tradisi penafsiran al-Qur‟an, sehingga al-Dhahabī menjelaskan adanya dua varian dalam tafsir sufistik, yaitu tafsir sufi naẓhārī dan sufi ishārī („amalī)
Klasifikasi Tafsir Sufi
al-Dhahabi mengklasifikasi penafsiran dari kedua kelompok tasawuf tersebut dengan tafsir nazari dan tafsir ishari atau faydi. Kedua varian tafsir Sufi tersebut dapat kita identifikasi dengan beberapa hal.
- Tafsir Sufi nazari, yang menitik beratkan penafsriannya berdasarkan penelitian, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur’an dengan sudut pandang yang sesuai dengan ideologi ajaran tasawuf mereka.
- Tafsir sufi Ishari atau faydi yakni menakwilkan al-Qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yang berupa isyarat-isyarat. hanya mereka yang sedang menjalankan suluk (perjalanan menuju Allah) yang dapat memahaminya, namun terdapat kemungkinan untuk menggabungkan antara penafsiran tekstual dan penafsiran isyarat.
Perbedaan yang mendasar dari kedua jenis tafsir sufi ini adalah, tafsir sufi nazari memiliki pondasi berupa dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang kemudian menafsirkan al-Qur’an sebagai landasan tasawufnya.
Sementara itu, tafsir sufi ishari tidak berdasar pada pengetahuan sebelumnya, tetapi berasal dari olah rasa jiwa dan kesucian hati seorang sufi yang mencapai tingkatan tertentu sehingga tersingkaplah baginya isyarat-isyarat yang terkandung dalam al-Qur’an.